Bab 2. Bercak Darah

1013 Words
Namira mengembuskan napas kecewa. Ia beranjak dari pangkuan suaminya. Menunggu Daniel selesai bicara di sambungan telepon. "Telepon dari siapa, Om?" tanya Namira setelah suaminya selesai menerima panggilan telepon. "Dari orang kantor. Aku harus ke kantor sekarang." "Aku gimana?" cegah Namira, mencondongkan tubuh ke depan. "Om harus cepat-cepat kantor, nanti aja, ya?" "C1um dulu!" Namira menarik lengan Daniel. Lelaki yang usianya hampir setengah baya itu, lagi-lagi menarik napas panjang. Daniel menghadap Namira yang tersenyum manis, lalu mendaratkan k3cupan pada kening. "Pipi kanannya belum." Namira mencondongkan pipinya tepat di depan bibir sang suami sambil berjinjit. Daniel meng3cup pipi kanan istrinya. "Yang kiri belum," kata Namira lagi. Daniel menggelengkan kepala, tapi tetap ia lakukan. "Udah, ya? Om harus cepat-cepat ke kantor, ada masalah besar." "Satu lagi. Yang ini belum!" Namira mengacuhkan ucapan Daniel. Ia menunjuk bib1r mungilnya. "Kalau ini nanti, ya?" "Gak mau! Maunya sekarang!" Daniel merunduk, lalu meng3cup singkat. Namira tersenyum bahagia. "Bentaran amat, Om? Lamaan dikit ke!" Protes Namira cemberut. "Nanti, ya? Sekarang Om buru-buru." "Iya deh." Namira dan Daniel keluar ruangan kerja. Mengantar sang suami sampai depan rumah. Lalu melambaikan tangan ketika kendaraan yang ditumpangi Daniel meninggalkan halaman rumah. Namira masuk ke dalam rumah. Perasaannya agak kecewa dan kesal. Ia tak menyangka kalau Daniel lebih mementingkan pekerjaan dari pada dirinya. Padahal ini malam pertama mereka, tapi masih saja kerja. "Mamih!" Panggilan Bianca membuat langkah kaki Namira terhenti. "Jangan panggil aku Mamih kalau enggak di depan papamu, Bi. Geli tau gak!" cibir Namira. Bianca terkekeh, mendengar protes yang diucapkan ibu sambungnya. "Ya maaf. Kamu kan emang Mamih-ku," ucap Bianca menjawil dagu Namira. Gadis berusia 19 tahun itu mengusap bekas jawilan anak sambungnya. "Tapi geli dengernya." "Eh, Papah kemana? Tadi aku lihat dari balkon kamar, Papah pergi ya?" tanya Bianca memastikan. Bibir Namira langsung mengerucut kesal. "Iya. Dia pergi pas terima telepon dari seseorang." "Hah? Seseorang? Jangan-jangan telepon dari janda expired?" Pekik Bianca, kedua matanya hampir saja melompat. Berbeda dengan Namira, gadis itu justru memicingkan kedua mata. Tidak mengerti istilah janda yang baru saja Bianca ucapkan. "Janda expired? Maksudmu Janda kadaluarsa?" "Iya. Janda yang udah kadaluarsa, udah alot." "Siapa?" "Tante Mutiara." Sangat santai, Bianca menyebut nama tante-tante yang usianya 45 tahun, yang rajin ngejar papanya, yang tak pernah bosan menggoda Daniel Bragastara. "Astaghfirullah, Bian ... kamu ini ada-ada aja. Masa ada janda kadaluarsa, janda expired, janda alot? Gak boleh gitu tau!" "Yeh bodo amat. Emang nyatanya gitu sih. Kamu belum pernah ketemu dia, Na. Kalau kamu dia, kayak Ulet bulu. Kegatelan." Namira terdiam, membayangkan Daniel yang kini pergi ke kantor, dan kemungkinan besar bertemu dengan janda alot, janda ulat bulu. "Na, apa iya, papahmu mau ketemu dia?" "Ya gak tau. Mudah-mudahan sih enggak. Tapi tenang, Na ... papahku imannya kuat kok. Enggak bakalan tergiur apalagi sama dia. Ya udah deh aku mau tidur, ngantuk. Mamih mau kelonin aku enggak?" goda Bianca bertingkah seperti anak kecil. "Idih, amit. Punya anak sambung manjanya nauzubillah. Tidur sana! Aku mau nunggu sang pangeran pulang dulu. Bye, anakku tersayang," ujar Namira melambaikan tangan pada Bianca yang tertawa lepas. *** Sudah pukul sebelas malam, Daniel belum juga pulang. Namira yang menunggu kepulangan sang suami, berdiri, menyibak gorden. Melihat gerbang, tidak ada tanda-tanda kendaraan suaminya datang. Hanya terlihat dua security yang duduk di pos jaga. Namira menghela napas berat. Pesan dan teleponnya diabaikan Daniel. "Apakah dia sesibuk itu?" gumam Namira sambil melihat deretan pesannya yang masih saja ceklis dua tanpa warna. "Duh, perut malah sakit lagi padahal tadi udah makan. Apa jangan-jangan masuk angin, ya? ya elah, baru aja begadang jam segini, udah masuk angin?" gerutu Namira mengelus-elus perutnya. Namira kembali duduk di sofa ruang tamu, ia menselonjorkan kedua kaki. Membuka beberapa aplikasi sosial media. Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan jam setengah satu malam. Namira mulai menguap. Ia mengucek kedua mata yang terasa perih dan gatal akibat melihat layar handphone terlalu lama. Namira duduk, merentangkan kedua tangan. Lalu, ia kembali berdiri, menyibak gorden. Masih belum ada tanda-tanda suaminya pulang. "Ck, Om-om itu kemana sih? Masa kerja sampe tengah malam begini? Payah banget. Nganten baru bukannya mesra-mesraan, malah ditinggal kerja. Ck, payah ...." Namira menghentak-hentakkan kedua kaki. Lalu, samar-samar ia mendengar suara derum mobil. Bibir Namira mengembangkan senyum. Raut wajahnya sumringah, menyambut kepulangan suami. Namira bergegas membuka kunci pintu, terlihatlah sosok yang dia tunggu beberapa jam lamanya. Namira langsung menghambur dalam pelukan Daniel hingga tubuh lelaki itu sedikit terhuyung. "Kamu belum tidur?" tanya Daniel. "Belum. Aku kan istri yang baik, yang cantik, yang menarik, yang soleha, yang setia menunggu kepulangan suami tercintanya," jawab Namira genit. Ia melepaskan pelukan, menggamit lengan Daniel. Namira sudah sangat yakin hatinya telah jatuh cinta pada Daniel meskipun usia lelaki itu jauh lebih tua darinya. Namira tidak peduli. Baginya, cinta Namira pada Daniel selayak cinta seorang gadis pada seorang pemuda. "Tapi, gak perlu kayak gini, Na. Kalau kamu ngantuk, tidur saja. Nanti kalau kamu kena angin malam, kamu jatuh sakit, gimana?" timpal Daniel mencubit ujung hidung istrinya. "Kenapa yang dicubit hidung mulu sih, Om?" tanya Namira mengulum senyum malu. Ia masih mengeratkan tangannya pada lengan Daniel. "Om mau kunci pintu dulu." Senyum Namira langsung mengerucut, mendengar Daniel yang tidak menimpali ucapannya. Daniel justru mengalihkan pembicaraan. Setelah pintu dikunci, Namira kembali menggamit lengan suaminya. "Om Ayang?" panggil Namira dengan senyum mengembang. "Iya?" "Tadi kenapa, pesanku gak dibalas? Teleponku gak diangkat? Emang sibuk banget ya? sampe telepon dan pesan dari istri enggak diangkat? Iya?" cecar Namira dengan beberapa pertanyaan. "Hapeku ketinggalan. Tadi kan buru-buru pergi. Ketinggalan di ruang kerja." "Oh pantesan ... duh, kirain aku, Om Ayang lupa." Masuk ke dalam kamar, Daniel membuka sepatu dan membuka kancing kemeja yang dikenakan. Namun, gerakan tangan Daniel dicegah Namira. "Aku aja yang bukain ya, Om?" pinta Namira, menunjukkan senyum termanisnya. Daniel langsung salah tingkah, ia tak bisa berkutik. Membiarkan istrinya melakukan apapun yang diinginkan. Sampai akhirnya mereka berdua terlena. Keduanya sudah berada di atas peraduan. Tiba-tiba Daniel terkejut. "Darah?" gumam Daniel, melihat darah di pakaian dalam Namira. Gadis itu terlonjak, langsung duduk. "Hah? Darah apa?" pekik Namira, menatap heran pada benda yang dipegang Daniel. Ia mengambil benda itu, memerhatikan lekat. Darah apa itu? Daniel berpikir sejenak lalu tercetus pertanyaan, "Kamu lagi menstruasi, Na?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD