Tania Bab 1

1125 Words
Kepala seorang wanita berambut sebahu berwarna maroon kecoklatan terkulai di atas meja bar.  Beberapa gelas vodka membuatnya kehilangan kesadaran. Bahkan dia seperti orang cegukan. Bibirnya mengerucut jari telunjuknya teracung dan bergumam, “Lagi.”  Si bartender mengangguk dan menuangkan vodka ke dalam gelas kecil. Wanita itu langsung menenggaknya. Dia berdiri kemudian berjalan terhuyung. Perutnya merasa mual. Beberapa kali dia hampir muntah, namun urung. Tiba-tiba tubuh rampingnya menabrak pria bertubuh tambun dengan perut menyembul ke depan.  “Hey Nona, mau habiskan malammu denganku?” Pria itu menjawil dagu, dan si wanita langsung menepisnya. “Jangan sentuh aku pak tua.” Bau alkohol menyeruak dari mulutnya. Pria tambun itu tertawa. “Tua-tua begini aku masih kuat, memuaskanmu.” Dia merangkul bahu mungil itu dan jari jemarinya bermain di punggung si wanita yang terekspos dengan indah. “Lepaskan!” Wanita itu menggoyangkan bahunya. “Aku nggak butuh aki-aki.” Dia mendorongnya pelan, karena tubuhnya dikuasai minuman beralkohol, sehingga dia tidak mempunyai banyak tenaga untuk melawan. “Ayolah, jangan sok jual mahal. Berapa sih? Heh ….” Pria itu kembali menjawil dagu runcing si wanita.  Tiba-tiba si Wanita ambruk ke lantai. Membuat si p****************g tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emasnya. Saat pria itu hendak membungkuk dan mencoba menarik tangan si wanita. Seorang pria berperawakan tinggi datang ke arahnya. “Ow ow ow Honey, kamu terlalu banyak minum,” ucapnya.  Dada bidang tercetak di balik kemeja birunya. Pria berambut gondrong terikat itu, membuka jas, dan berjongkok, kemudian membalutkan jasnya pada si wanita bergaun ketat hitam dengan aksen renda di bagian tangannya. Dia segera menggendong si wanita. “Pak Delon?”  “Dia milik saya,” seringainya pada si p****************g.  “Indra, tolong bawakan kopernya ke mobil saya.” Dia melirik koper cokelat milik wanita itu. “Honey, kamu kabur ke klub, bukan untuk disko, tapi malah nongkrong di Bar.” Delon menatapnya. “Iya, Pak.” Indra si bartender segera menyeret koper besar dan membawa serta tas kecil wanita itu yang tertinggal di meja.  Delon melajukan mobilnya dan berhenti di sebuah apartemen. Sepanjang perjalanan dari tempat parkir menuju lantai lima, dia tak lelah menggendong wanita cantik itu. Setelah pintu terbuka dia menidurkan si wanita berkulit putih di atas ranjang besar miliknya.  “Oke honey, sekarang kamu istirahat.” Dia membuka sepatu si wanita, kemudian menyelimutinya.  *** Delon meregangkan tubuhnya, tidur di sofa semalaman membuatnya merasa pegal. Dia membuka pintu kamar, gadis itu masih terlelap. Kemudian dia mandi agar si wanita terpesona, begitu dia membuka mata.  Setelah mandi dan bersiap. Kini dia sibuk membuat air perasan lemon. Konon katanya air lemon bisa meredakan mabuk alkohol.  Delon berjalan dan mendorong pintu. Namun, wanita itu masih terlelap. Dia curiga jangan-jangan si wanita mencampurkan obat tidur pada alkoholnya.  Delon meletakkan gelas di atas meja. Menatap wanita berbulu mata lebat dan lentik itu. “Cantik,” gumamnya. Wanita berkulit kuning langsat itu menggerakkan tubuhnya. Dia mengernyit memegangi kepalanya yang sakit akibat mabuk.  “Hey, Honey. Are you okay?” Perlahan matanya terbuka. Dia menggeleng pelan. Mengingat-ingat kejadian semalam membuat kepalanya semakin sakit.  “Kamu mabuk,” ungkapnya.  “Kamu siapa?” Wanita itu mendongak. “Aku Delon.” Dia menghempas b****g di atas ranjang, hingga ranjang terasa sedikit bergoyang. “Delon?” Dia baru mendengar nama itu. “Delon siapa?” Wajahnya persis seperti orang linglung. “Sudahlah tidak penting, sekarang kamu minum air lemon ini, agar kamu cepat membaik.” Delon memberikan gelas itu.  “Nama kamu siapa, Honey?” Dia terdiam menatap air dalam gelas. “Titania Saputri Diningrat,” gumamnya.  “Oh, aku kira kamu lupa namamu sendiri.”  Dia menggeleng. “Aku tak pernah lupa dengan apa yang menimpaku. Kecuali tadi malam setelah aku menenggak sebelas gelas vodka.” “Sebelas?” “Iya, sebelas. Sebelas kali untuk obat bius yang Vanessa suntikan di sini.” Dia menunjuk leher jenjangnya. Delon mengira Tania masih belum sadar sepenuhnya, karena tubuhnya oleng. “Honey, Honey. Sekarang kamu minum dulu.” Delon membantunya untuk menghabiskan air perasan lemon itu.  “Aku pikir aku akan mati,” ucapnya usai menenggak air itu sampai habis.   Delon tahu perempuan ini adalah pemabuk amatir, sebelas kecil saja tidak akan membuatnya mati. Mungkin saja dia baru menginjakkan kakinya di bar dan merasakan sensasi meminum minuman beralkohol. Delon meletakkan gelas. “Kamu mau mati? Jangan minum vodka. Mending kamu loncat dari sana.” Delon menunjuk jendela.   Tania mengerucutkan bibir. Matanya mengernyit. “Aku mau mati tanpa rasa sakit.” Bahunya turun. Satu alis Delon terangkat. Bibir bawahnya menganjur ke depan. “Kalau hanya patah hati, karena putus cinta, kamu tidak perlu seperti ini.”  Tania menggeleng. “Satu tahun enam bulan yang lalu.” Tania mengacungkan jari telunjuknya. “Aku mau menikah.” Dia menunjuk dadanya. “Tapi calon suamiku, mati dua hari sebelum kami menikah, dibunuh oleh Vanessa, temanku sendiri.” Tania mengangkat tangannya, kemudian melipat tiga jarinya ke bawah sehingga teracung ibu jari dan telunjuknya. “Dor, dia menembaknya di sini.” Tania menunjuk d**a kiri Delon. “Tepat di d**a kirinya.” Cerita Tania menarik perhatiannya. Dia mendekat. “Terus?”  Tenggorokannya mengeluarkan suara ceguk. “Aku tetap menikah, dan aku nggak tahu, ternyata pria yang bersanding denganku di pelaminan, adalah adik kembar calon suamiku.”  “Hah?! Parah. Terus malam pertama kamu?” Tania membasahi tenggorokannya. Dia baru mengenal Delon beberapa menit yang lalu, tapi dia sudah berani membagi kisahnya. Tania, tak peduli biarkan dia membuang toxic itu dengan segera agar dirinya cepat sembuh. Meski dia tidak tahu bahaya apa yang akan dihadapinya setelah ini. “Aku bodoh.” Tania bersendawa sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan. Bau alkohol begitu menyengat. Seumur hidup baru kali ini dia meminum minuman haram itu. “Aku mau saja, melanjutkan pernikahan pura-pura itu hanya untuk mencari siapa pelakunya. Tapi dari situ semuanya berawal. Aku diculik, disekap, tiga hari tiga malam, mereka menyatukan tangan dan kakiku, mengikatnya dalam satu ikatan. Seperti ini.” Dia menyepertikan apa yang dia katakan. “Astaga. Kamu tahu siapa pelakunya?”  “Si pembunuh, Vanessa. Dia menyuntikan obat bius, sebelas kali.” Dia menunjuk lehernya. “Ke sini.”  Delon meringis. “Apa yang terjadi setelah itu?” “Aku lumpuh.”  Delon mengangguk. Cerita macam apa yang menjadi sarapan paginya hari ini.  “Hidupku bergantung pada keluarga calon suamiku.” “Kenapa? kamu yatim piatu?” Tania menggeleng. “Aku hanya ingin mereka menepati janji untuk melindungiku.”  Delon mengernyit aneh. “Lalu?”  “Aku lemah.” “Kamu nggak lemah, kamu kuat, Honey. Buktinya kamu bisa menenggak sebelas gelas vodka, dan kamu baik-baik saja, malah bisa bercerita.”  Tania menurunkan bahu, sebari menghela napas “Itu karena aku tidak mencampurkan racun ke dalam minumanku.”  Delon mengangguk. “Itu, ‘kan sudah lama, kenapa kamu baru frustasi sekarang?” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD