Surat Hijau

1070 Words
“Andin? Kamu sudah pulang? Tumben sekali cepat begini,” ucap Bu Ranti membukakan pintu rumah. Bu Ranti memandang jam dinding, dalam hatinya heran karena Andin pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya. Andin merebahkan tubuhnya di atas sofa. Sepatu dan kaus kakinya masih terpasang di kedua kakinya. Tas slempangnya juga tidak dilepaskan. Tidak ada perkataan apapun yang diucapkan Andin, ia hanya menutup matanya sambil menarik napas sedalam-dalamnya. Bu Ranti menatap Andin dengan heran, ada apa gerangan? anak sulung yang biasanya berwajah ceria, kini pucat tanpa lukisan. “Nak, kamu kenapa? Cerita sama Mama, Nak,” Bu Ranti menggoyang-goyangkan paha Andin. “Gak kenapa-kenapa kok, Ma, hanya butuh ketenangan sesaat, pikiranmu sangat kacau,” ujar Andin. “Kamu belum mau cerita sama Mama, ya? Ya udah kamu ke kamar saja, istirahat,” pinta Bu Ranti. Andin tidak merespon, “Mama buatkan ayam goreng kesukaanmu setelah ini, jangan murung gitu terus dong, senyum,” Bu Ranti melebarkan bibirnya hingga menampakkan giginya. Andin yang terhipnotis akan senyuman Bu Ranti, refleks mengikuti gerakan bibir Bu Ranti, “aku cantik gak Ma kalau senyum begini?” tanya Andin. “Oh, anak Mama itu murung aja sudah cantik, apalagi senyum,” Bu Ranti mencubit ringan hidung anak tunggalnya itu. Andin mengikuti perintah Bu Ranti, dan setelah ini ayam goreng kesukaannya akan mampir ke usus-usus dalam perutnya, nyam.. nyam.. nyam.. *** Ayam goreng sudah diletakkan Bu Ranti di atas piring putih lengkap bersama nasi dan sambal terasi andalan. Andin menghirup aroma sedap yang akrab menusuk ke lubang hidungnya, “hmm, masakan Mama itu obat paling ampuh hilangan kesetresan, abisnya harum banget!” celetuk Andin. Bu Ranti senang sekali anaknya sudah bisa tersenyum, tidak seperti saat ia datang ke rumah. “Selamat siang, Andin,” ucap perempuan cantik yang berdiri di depan pintu. Pintu yang masih terbuka tadi membuat Andin cukup jelas menebak perempuan yang datang siang ini. “Mbak Kinan?” Andin tergugah. Kursi makan yang Andin duduki berdecit karena Andin mencoba melepasnya. Andin menyambut kedatangan Kinan dengan suka cita yang terlihat dari bibirnya yang tersenyum lebar. “Ada apa, Mbak? Silahkan masuk,” Andin mempersilahkan. Kinan melempar senyuman dan duduk di atas sofa bersebelahan dengan Andin. Sementara Bu Ranti masih nyaman menghabiskan makan siangnya. “Aku benar-benar ikut geram atas keputusan Pak Leon kemarin, aku baru tau kalau Pak Leon kurang menyukai isu sensitif seperti ini,” Kinan membuka pembicaraan. “Hmm, ya itu kesalahanku juga sih Mbak, aku kurang memperhatikan model berita yang dianjurkan Pak Leon,” balasnya Andin. “Sebenarnya untuk masalah berita, sepenuhnya diserahkan ke aku. Pak Leon bagian memantau saja, entahlah kenapa kebijakan dia berubah kayak gitu,” ucap Kinan. “Gakpapa deh Mbak, itu juga pelajaran bagiku untuk berhati-hati dalam menulis berita,” “Aku minta maaf ya Andin, aku harus menghapus beritamu. Akan tetapi, aku meminta satu permohonan padamu,” ujar Kinan. “Tidak masalah, lagian aku merasa gagal menulis berita itu ya lebih baik di take down saja. Permohonan apa, Mbak?” tanya Andin. “Kembalilah ke media Antasari,” jawab Kinan sambil menatap mata Andin. “Hah? Yang benar saja, Mbak? Baru aja dipecat kok mau masuk lagi? Ditolak mentah-mentah kali,” ledek Andin. “Tidak, Andin. Aku sudah bersekongkol dengan seluruh awak redaksi untuk menghasut Pak Leon agar menerimamu lagi. Kamu masih berminat bergabung dengan kami, kan?” kata Kinan. “Maaf, Mbak, kayaknya aku…..” “Andin, terima saja tawaran itu,” Bu Ranti sengaja memotong pembicaraan Andin. Bu Ranti mendekati Andin dan Kinan. Bu Ranti telah merekam seluruh percakapan mereka dari ruang makan. Ia juga terkejut ternyata Andin sudah dipecat dari media Antasari. Pemberhentian Andin sangat tidak dikehendari Bu Ranti saat ini. “Andin, Mama mau jujur sama kamu,” ucap Bu Ranti, matanya mulai sendu. “Iya, Ma?” Andin menoleh ke Bu Ranti. “Baru saja Mama diberhentikan kerja karena perusahaan tempat Mama bekerja itu bangkrut,” Bu Ranti berkata, terasa berat dan sesak di d**a Andin. “Ma? Mama serius?” Andin tak percaya. Bu Ranti mengangguk. Matanya seolah berkata untuk meminta maaf kepada Andin. “Dan kemungkinan, untuk hidup kedepannya pun Mama gak bisa janji akan terus tercukupi,” tutur Bu Ranti. Andin mendekat ke Bu Ranti, memeluk erat tubuh wanita yang satu-satunya paling dicinta. Bu Ranti tampak tegar, hal itu terlihat dari paras Bu Ranti yang tetap tersenyum tanpa mata yang berbinar. “Ma, maafkan Andin, Andin juga habis dipecat gara-gara masalah tulisan, dan sekarang gak bisa bahagiain Mama,” ujar Andin. Melihat potret yang mengharukan itu, Kinan sungguh iba. Kinan benar-benar ingin mengusahakan agar Andin kembali lagi bekerja, “Andin, ayolah bergabung bersama kami kembali, kami janji akan menyemangati kamu dalam hal apapun,” pungkas Kinan. Andin menatap ibunya, “iya, Mbak, kalaupun diberi kesempatan untuk bergabung kembali, aku bersedia. Uang gaji akan aku gunakan buat kelangsungan hidup bersama Mama,” ucap Andin. “Satu permohonan lagi, mau kah kamu melanjutkan menulis berita tentang pelaku pelecehan itu?” tanya Kinan. Andin terdiam, pikirannya yang menyalahkan diri sendiri mulai berkeliaran. Andin tampak canggung, ia merasa menulis berita itu hanya membawa petaka dan efek negatif bagi dirinya. “Aku masih pikir-pikir dulu, Mbak,” Andin gugup. “Apa keyakinanmu soal membantu terhadap sesame itu sudah pudar? Kamu bilang, kamu sangat membenci predator yang tidak bertanggungjawab seperti itu,” tutur Kinan. Andin kembali merekam perkataan Kinan, ucapan itu sangat jelas pernah ia ucapkan sebelum beritanya diterbitkan. Andin berpikir, kalimat apa yang pantas untuk menyanggah tuturan Kinan. Mengetahui Andin sedang dalam kondisi dilema, Kinan langsung mengalihkan pembicaraan. “Andin, surat berapa kali kamu mendapatkan surat misterius yang ditulis oleh orang berinisial KO?” tanya Kinan. “Loh? Kok Mbak Kinan tau aku selalu mendapatkan surat misterius itu? Kayaknya tiga deh,” jawab Kinan. “Apa kamu sudah tau siapa pengirim itu?” tanya Kinan lagi. “Belum, sih. Tapi aku sudah hapal ciri-ciri tulisan tangannya,” jawab Andin. Tiba-tiba, Kinan mengeluarkan secarik amplop berwarna hijau dan menyerahkan ke Andin. “Nih, bacalah, itu surat dari pengirim yang selalu mengirim surat untukmu, ” di depan amplop tertulis kata, “Semangat!” Andin menerka, tulisan ini sangat mirip dengan pengirim surat misterius itu. “Apa dugaanku dari awal adalah Mbak Kinan pengirim surat itu adalah benar?” batin Andin menggema. Tak ingin berburuk sangka, Andin langsung membacanya perlahan. Andin yang hebat, tolong kamu lanjutkan liputan mengenai kasus pelecehan seksual oleh dosen itu. Saya sebagai korban, ingin sekali pelaku dihukum seadil-adilnya. Trauma yang saya derita cukup dalam dan sulit untuk dilupakan. Andin, tolong bantu saya. Kinan Olivia. Kedua tangan Andin bergetar, surat itu terlepas dari genggaman tangannya dan mendarat di lantai. Bibirnya memutih dan tatapannya tampak kosong. Andin tidak menyangka bahwa narasumber yang selama ini ia cari adalah Kinan. “Mbak Kinan? Jadi?” Kinan refleks memeluk Andin, perempuan hebat itu. Air matanya jatuh tak tertahankan lagi. Pelukan erat yang dilakukan Kinan seolah memberi pertanda bahwa Kinan sedang butuh pertolongan lewat Andin. “Kamu mau kan tolong aku?” tanya Kinan dibalik tangisannya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD