Truth (2)

1145 Words
Suasana kantor sama seperti biasanya, dipenuhi karyawan yang sedang mengerjakan tugasnya dan berlalu lalang. Tak sedikitpun karyawan yang membawa lembaran-lembaran kerja dan menelpon kliennya. Andin kembali mendatangi media Antasari dan langsung menuju ruang redaksi. Di depan Andin ada Pak Leon yang melangkahkan kakinya dengan cepat ke arah ruang redaksi. “Bagaimana, Kinan, apakah berita kemarin sudah diselesaikan?” tanya Pak Leon, mendatangi meja Kinan. “Maaf Pak, belum. Saya masih ada beberapa kesibukan acara lain,” jawab Kinan santai. “Apa kamu bilang? Kesibukan acara lain? Jadi kamu mengesampingkan tugas kamu sebagai pimpinan redaksi?” balas Pak Leon, nadanya meninggi. Suara Pak Leon terdengar hingga luar ruangan, Andin yang mendengar juga langsung mengurungkan niatnya memasuki ruang redaksi. “Aduh, pasti ada hal yang serius di dalam sana, lebih baik aku tunggu di luar dulu lah,” batin Andin. Andin pun berdiri tepat di samping pintu ruang redaksi, “gak ada kursi lagi, yaudah lah berdiri saja disini,” ucap Andin sambil menyenderkan diri. “Tenang, Pak. Saya bisa menyelesaikan itu secepatnya kok,” ucap Kinan. “Sudah berapa kali kamu berkata demikian? Sejak dua bulan terakhir ini kinerjamu buruk!” bentak Pak Leon. Namun, tidak ada sepatah kata pun ucapan balasan dari pihak Kinan. Pak Leon keluar dari ruang redaksi dan membanting pintunya. Andin yang berada tepat di samping pintu spontan terkejut. “Huft!” Andin mengelus dadanya. “Din, Andin!” bisik suara laki-laki dari samping kanan Andin. Laki-laki berkacamata melambaikan tangan ke Andin, “sini, jangan masuk!” ucap laki-laki tadi, Beni. Andin bingung, “kenapa?” balas Andin berbisik. “Sudah, sini aja!” cakap Beni berkali-kali. Andin melihat wajah Beni penuh keseriusan, berusaha menghampiri Beni. Andin menengok arah kiri dan kanannya, dan mendatangi Beni yang sedang duduk di sofa pojok kanan. “Ada apa, Kak?” tanya Andin penasaran. “Hari ini gak usah ke ruang redaksi, bahaya,” jawab Beni. “Loh, kenapa? Bukannya hari ini ada pembagian isu berita?” sambung Andin. “Iya, emang ada pembagian isu berita sih. Tapi, Kinan kayaknya lagi sumpek tuh, kamu dengar sendiri kan Pak Leon bentakin Kinan kayak gimana,” jelas Beni. Andin mengangguk paham. “Pak Leon serem juga ya kalau marah, padahal orangnya baik banget.” “Aku melihat Pak Leon marah besar itu sejak dua bulan terakhir ini, gara-gara kerjanya Kinan yang gak bener tuh!” wajah Beni seketika ikutan kesal. “Gak benar gimana, Kak? Aku liatnya malah Mbak Kinan itu orang yang fokus dan perfeksionis!” ungkap Andin. “Hahahahaha,” Beni ketawa keras memegangi perutnya mendengar ungkapan Andin itu. “Fokus dan perfeksionis? Kurang tepat sih, kamu baru liat dia sehari aja makanya ngomong begitu.” “Aku kasih tau ya, Kinan itu suka seenaknya potong tulisan awak redaksi lainnya, tanpa ijin dan alasan lagi.” Bisik Beni lagi. “Kalau tulisan dipotong, bisa jadi menurut Mbak Kinan tulisan itu tidak penting, Kak,” tutur Andin. “Gak penting gimana, perkataan narasumber yang berkaitan dengan isu berita itu, langsung dipotong!” gumam Beni. “Kamu bisa lihat juga kok jumlah pembaca berita media Antasari selama dua bulan terakhir, sangat menurun!” curhat Beni. “Emangnya biasanya berapa pembaca, Kak?” “Sehari bisa dua ribu orang, sekarang lima ratus aja gak nyampe. Padahal tuh ya, bikin ilustrasinya lama banget, revisi beberapa kali tuh sama Kinan,” decik Beni.   “Karena itu kah Kak Beni menyimpulkan bahwa kerjanya Mbak Kinan gak bener?” tanya Andin lagi. “Ya kamu bisa menyimpulkan sendiri lah,” ucap Beni. “Bukan itu saja, dia suka telat kasih isu berita, alhasil basi deh beritanya,” tambah Beni. Ceklek.. Kinan keluar dari ruang redaksi. Andin dan Beni spontan mengarahkan pandangan pada Kinan. Raut wajah Kinan terlihat murung, “coba lihat, matanya sayu banget, kosong!” bisik Beni. “Ssttttt,” balas Andin. “Kalian ngapain disini?” todong Kinan. “Istirahat sebentar, baru aja sampai,” ujar Beni. “Sudah jam berapa ini kok baru sampai?” balas Kinan. “Kamu Andin, kenapa telat juga? Baru awal masuk kerja udah telatan!” ucap Kinan, mendebarkan hati Andin. “Ngerti aja dong, ibukota disini kan macet,” balas Beni santai. Beni beranjak dari sofa dan menarik tangan Andin, Beni mengajak Andin masuk ke ruang redaksi. “Kalau dia sok-sok marah, langsung kabur aja, hihihi,” bisik Beni. Andin pun nyengir liat tingkah laku Beni siang ini. “Hummm, aroma-aroma menyan!” ucap Beni mendenguskan hidungnya. “Menyan gimana, Kak? Ini bau parfumnya Mbak Kinan,” ujar Andin. “Nah itu!” Beni menjentikkan jarinya. Andin yang paham apa maksud Beni, geleng-geleng kepala saja. “Mbak Naira sama Mas Wendi, gak masuk ya?” tanya Andin. “Kayaknya mereka lagi kesal gara-gara gagal selesaiin berita minggu ini,” jawab Beni. “Apa hubungannya dengan tidak masuk ke kantor?” “Ya mereka malas ketemu Kinan. Sudah tau kan kalau narasumber mereka tidak bisa ditemui karena Kinan belum mengirimkan surat permohonan narasumber?” “Oh, pembicaraan yang di kantin ya? Iya aku tau, maaf ya aku nguping, Kak,” Andin menyeringai. “Tidak masalah, biar kamu tau kelakuan Kinan dan gak kaget,” Ceklek, Kinan kembali masuk ke ruang redaksi. Andin dan Beni seketika menghentikan pembicaraannya. Beni sibuk dengan ilustrasi di depan laptopnya, Andin sibuk dengan ponselnya mencari isu berita. “Mana Naira dan Wendi?” tanya Kinan. Beni mengangkat kedua bahunya, “entah, coba dihubungi saja.” “Gak perlu, mereka sudah bukan anak kecil lagi yang harus ditelpon untuk melakukan kewajibannya,” balas Kinan cuek. Kinan kembali sibuk dengan laptop yang sedari hidup di depannya. “Oh, ya. Andin, kamu sudah tau kan tugas kamu disini?” tanya Kinan. “Meriset, meliput, dan menulis berita, Mbak. Kata Pak Leon seperti itu,” jawab Andin. “Bagus, tapi jangan asal ya kalau nulis berita. Saya tidak terima berita yang sensitif!” perintah Kinan. “Sensitif seperti apa maksudnya, Mbak?” tanya Andin. “Seperti beritamu yang viral itu,” jawab Kinan. Andin menyeritkan dahinya, “bukankah berita itu bisa ditulis dalam rangka mengedukasi masyarakat? Supaya tidak ada korban lainnya dan masyarakat lebih berhati-hati,” tambah Andin. “Tidak, buat saya itu tidak penting. Program kerja saya disini menulis hal-hal yang berbau inspiratif, bukan berbau emosi,” ungkap Kinan. “Tapi…” Beni pun menginjak pelan kaki Andin. Beni mengisyaratkan untuk tidak membalas perkataan Kinan. “Gak usah tapi-tapian, tugas kamu seminggu ini menulis tiga berita. Saya bebaskan temanya, dan ingat! Memilih narasumber harus ijin ke saya,” jelas Kinan. *** “Selamat siang, Pak!” sapa Andin yang bertemu Pak Leon di ruang kedatangan kantor. Pak Leon yang saat itu sedang santai membaca koran, mengajak Andin ngobrol sebentar. “Bagaimana hari ini? Apa yang kamu kerjakan di ruang redaksi?” tanya Pak Leon pada Andin yang sudah duduk di sampingnya. “Meriset isu berita, Pak. Seminggu ini saya ditugaskan Mbak Kinan untuk menulis tiga berita,” jawab Andin santun. “Baik, kamu sudah mahir dalam meriset berita. Saya rasa menulis tiga berita dalam seminggu itu hal yang gampang!” Pak Leon mengacungkan jempol tangannya pada Andin. Andin pun menyeringai. Rupanya, percakapan Andin dan Pak Leon didengar Kinan yang sedang melintasi area ruang tunggu. Andin melemparkan senyum pada Kinan, tapi Kinan malah mempercepat langkahnya keluar kantor. “Abaikan saja, orangnya memang begitu,” ucap Pak Leon. “Baik, Pak. Oh ya, apakah Pak Leon punya isu berita untuk minggu ini? Kali aja bisa saya tulis, Pak,” ungkap Andin. “Ah! Saya baru ingat, minggu ini kan ada ospek perkuliahan serentak di kota ini. Kamu bisa meliput hal ini, isu sudah saya list,” Pak Leon mengeluarkan catatan dari saku celananya, dibukanya lembaran pertama yang berjudul, “Isu kampus selama ospek perkuliahan berlangsung.”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD