Kode (1)

1036 Words
Andin bergelayut manja di atas kasurnya sambil memainkan ponsel. Andin tersenyum senang jika mengingat perkataan Pak Leon, "ini khusus buat kamu." Kembali Andin men-scroll semua tulisan yang pernah ia buat di media sosialnya. "Masih banyak yang harus aku perbaiki tentang tulisan berita," ucapnya. Kring.. kring.. kring.. Sebuah pesan w******p dengan nomor baru muncul dinotifikasi Andin. Bunyi pesannya seperti ini: "Selamat pagi dan selamat weekend, Andin. Ini nomor saya, Leon Adi. Bagaimana dengan penawaran saya? Apakah sudah ada keputusan? Jika iya, besok kamu sudah bisa bergabung bersama media Antasari, terima kasih." Andin tambah tersenyum lagi membaca itu. Andin seperti mendapat sebuah kesempatan emas untuk belajar lagi, "ini harus aku manfaatkan, dengan masuk media Antasari, pasti aku bisa memperbaiki tulisan." Batin Andin. "Andin, ayo sarapan." Teriak Bu Ranti memanggil Andin. Andin berdiri dari kasurnya dan duduk di kursi makan menemani Bu Ranti menyantap masakannya. "Wah, masak apa hari ini, Ma?" tanya Andin. "Udang goreng tuh sama tumis kangkung, Mama ambilin ya," jawab Bu Ranti langsung menyentongkan nasi ke piring Andin. Sembari Bu Ranti mengambilkan nasi dan lauk, Andin memberi informasi perihal penawaran kerja yang ia dapatkan di media Antasari kemarin sore. "Ma, aku ditawari kerja sebagai reporter di media Antasari!" Ungkap Andin antusias. "Terus?" Balas Bu Ranti. "Aku sangat senang sekali dan ingin gabung kesana. Apakah Mama merestui?" Tanya Andin. "Hmm, pekerjaan reporter itu sulit, loh." Jawab Bu Ranti. "Ya justru sulit itu aku merasa tertantang, lagi pula aku berniat mengembangkan ilmu jurnalisku, Ma," ucap Andin. "Kamu yakin bisa? Apakah kamu sanggup sama semua resiko yang akan kamu terima nantinya?" Tanya Bu Ranti. Andin menganggukkan kepalanya. "Semua keputusan yang diambil, punya resiko masing-masing, Ma," jawab Andin. Bu Ranti tidak membalas jawaban Andin dan lebih memilih menyantap masakan yang ada di depan mata. Begitu juga Andin, Andin sergap mencicipi masakan terenak ibunya itu. Sekitar tiga puluh menit kemudian, seluruh makanan di atas meja sudah habis. Tidak ada sisa makanan di piring. Ya, Bu Ranti selalu memasak sebanyak dua porsi agar habis tidak tersisa. "Tolong kamu cuciin piring, ya," pinta Bu Ranti, masih duduk di kursinya dan mengelus perutnya yang sudah memenuh. Andin meraih piring dan gelas yang berada di atas meja makan. Satu per satu diangkatnya dan di bawa ke wastafel dapur. "Ma, gimana? Apakah aku boleh bergabung dengan media Antasari?" Tanya Andin untuk memastikan. "Nanti ya, Mama pikirkan dulu. Mama ada acara di rumah Tante Ira, kamu mau ikut?" Balas Andin. Andin menggelengkan kepalanya dan raut wajah cemas menghias di wajahnya, "kalau Mama gak merestui, aku benar-benar kehilangan kesempatan emas," batin Andin mencemas. *** Menunggu jawaban Bu Ranti setelah pulang dari acara Tante Ira, Andin mencoba menerka siapa orang yang mengirim surat kemarin. Kata-kata ancaman yang tertulis membuat Andin penasaran sekaligus takut. "Warna dan bentuk surat itu sama seperti surat yang diberikan oleh Pak Leon. Hanya saja tidak ada pita putihnya," ujar Andin. Andin kemudian menulis ciri-ciri amplop dan tulisan dalam surat itu. "Amplop oranye tanpa pita, dengan jenis tulisan miring," Andin menulis petunjuk itu agar bisa menemukan pengirimnya. "Lalu, apa yang akan diperbuat pengirim ketika aku menerima tawaran itu, ya?" Andin berpikir. Tok.. tok.. tok.. "Siapa?" Andin bertanya pada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Hingga sepuluh menit, tidak ada jawaban. "Aish, kebiasaan sekali orang-orang tidak menjawab pertanyaanku," kesal Andin. Andin membuka pintu rumahnya, dan tidak tampak satupun orang yang berada di sana. Andin berdecik, "pasti orang iseng aja, nih!" Kemudian Andin merasa menginjak sesuatu di kesetnya, "loh? Surat oranye tanpa pita ini datang lagi." Andin segera mengambilnya, kembali mengunci pintu dan masuk ke kamarnya. Andin menaruh surat oranye itu di atas meja belajarnya. Andin juga menyiapkan pulpen dan buku catatan kecilnya, "aku curiga ini dari pengirim kemarin. Aku harus mencatat petunjuk apa lagi yang aku dapatkan hari ini," ucapnya. Surat oranye itu dibuka, terketik hanya dua kalimat di sana. "Kalau kamu benar-benar menerima tawaran itu, kita akan bertemu secepatnya. Namun, jangan kaget kalau batinmu akan tersiksa, disini berat! Hahahaha," Andin memotret tulisan itu dan menyimpannya di dalam laci belajar. Andin mengerutkan dahinya, "Tawaran? Tawaran dari Pak Leon kah?" Pikir Andin. Andin kembali mengambil surat itu dan menilik baik-baik petunjuk apa yang akan ia dapatkan. Andin melebarkan surat itu, dan dinyalakan lampu belajarnya. Surat itu didekatkan ke lampu dan mulai dilihat tandanya. Terkejutnya Andin ketika mendapati satu petunjuk lagi, "ternyata surat ini memiliki bingkai," ucapnya. Andin mendekatkan lagi surat itu menuju cahaya lampu. Memang benar, semakin jelas bentuk bingkai yang muncul dalam surat itu, "bingkai ini membentuk huruf KO." Catatan kecil Andin kembali dibukanya dan menulis petunjuk lainnya. "Harus berhasil aku temukan, nih!" Ungkap Andin dalam hati. *** Kring.. kring.. kring.. Ponsel Andin berdering dan tertera nama Bu Della di sana. "Halo, Bu? Ada apa weekend gini menelpon?" Tanya Andin. "Wah Andin, ibu mau mengucapkan selamat atas bergabungnya kamu di media Antasari." Jawab Bu Della. "Terima kasih Bu, tapi saya belum menyetujui tawaran itu, Bu," ucap Andin, nadanya melemah. "Loh kenapa? Itu batu loncatan buat kamu mengembangkan ilmu jurnalistikmu. Ibu melihat kamu memiliki potensi di bidang itu," "Ibu saya belum memberikan jawaban perihal diperbolehkan atau tidak bergabung di media tersebut," "Kamu harus beritahu Ibumu kalau kamu sangat tertarik dan tujuan kamu apa untuk masuk ke sana," "Iya Bu, akan saya usahakan." "Baik, sudah dulu ya Din, Ibu mau promosi Ori*lame lagi, hihihi," pamit Bu Della. "Bentar, Bu. Saya mau bertanya, kenapa Ibu waktu itu tidak membalas pesan saya di i********:?" Tanya Andin penasaran. "Oh itu, maaf ya. Sebenarnya Ibu tidak marah, cuman lagi promosi Ori*lame juga soalnya banyak yang berminat. Namanya rejeki kan, saya mengutamakan konsumen, hehe. Maaf ya," jawab Bu Della. "Oh ya kira marah karena pertanyaan saya lancang," Andin merasa lega ternyata Bu Della tidak marah. "Tidaklah, sama Ibu santai aja," ucap Bu Della. "Oke Bu, silahkan lanjutkan saja promosinya!" Bu Della dan Andin mengakhiri teleponnya pada hari weekend itu. "Siang, Mama pulang!" Suara Bu Ranti terdengar dari luar. Andin bergegas keluar dan menyambut kedatangan Bu Ranti. "Hai, Ma. Pasti capek ya? Aku bikinin teh ya." Ucap Andin. "Hmm, tumben. Ada maunya ya?" Ledek Bu Della. "Hehehe," Andin segera menuju dapur dan membuatkan teh manis kesukaan Bu Ranti. Andin pun membatin, "gimana ya, apakah Mama merestui penawaran kerja itu? Semoga direstui lah, aku gak mau kehilangan kesempatan ini!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD