Satu tahun lalu, Lena bertemu dengan Latif dan langsung jatuh cinta. Latif pemuda sederhana, baik hati dan menolongnya di tengah kerumunan kericuhan konser musik yang digelar di kota kabupaten. Sejak saat itulah, Lena tertarik pada pahlawan penolongnya. Sampai Lena rela mengikuti Latif dan meninggalkan kehidupan lamanya yang berkecukupan dan tidak kekurangan satu apapun juga. Lena rela tinggal di perkampungan, hidup sederhana menumpang pada mertua setelah resmi menikah dengan sosok Latif Hermawan.
Kini, ada sejumput kerinduan akan hidup mewah, meski kurang nyaman tapi dia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Kedua orangtuanya, para rekan kerjanya dan juga fans yang selalu berada di belakangnya. Mendukung karirnya hingga melejit sampai merambah dunia Internasional.
"Lena! Astaga, ini anak. Malah ngelamun di sini!"
Teriakan dengan suara lantang, mengagetkan Lena hingga perempuan itu terlonjak.
Ibu mertuanya sudah berkacak pinggang dengan mata melotot padanya.
Lena meringis, menggaruk rambut panjangnya yang diikat asal.
"Kamu ini ibu cari-cari ternyata malah ngelamun di sini. Lihat itu meja makan. Nggak ada makanan sama sekali. Kamu ini benar-benar keterlaluan."
Lena menghela napas lelah. "Aku capek, Bu. Istirahat sebentar. Tadi habis nyuci dua ember besar."
"Halah! Alasan saja."
"Kalau ibu nggak percaya lihat saja di luar. Jemuran baju kita sudah mirip kios di pasar."
Lilis berdecak. "Ibu nggak mau dengar alasan apapun. Ibu lapar."
"Kan ada nasi, Bu."
"Kamu pikir ibu doyan hanya makan nasi saja? Kurang ajar sekali kamu sama mertua."
"Aduh, Bu. Coba tadi makanannya nggak dihabisin Labib semua. Siang ini pasti masih ada sayur untuk makan siang kita," protes Lena akan kelakuan adik iparnya.
Sebenarnya, pagi tadi Lena sudah memasak. Bukan masakan mewah karena Lena sendiri pun tidak seberapa pandai memasak. Hanya penyet terong, telor dan tempe. Tapi bisa-bisanya dihabiskan oleh Labib. Katanya enak.
Ya, Tuhan. Sekarang malah mertuanya marah-marah karena sudah tidak ada lauk di atas meja. Dan Lena, harus memutar otak untuk memasak lagi yang sekiranya irit dan tidak menghabiskan sisa duit belanja.
"Kamu ini pelitnya kumat. Yang makan juga bukan orang lain, Lena! Labib itu adiknya Latif. Latif yang sudah capek mencari duit. Jadi kamu jangan banyak protes."
Lelah rasanya menghadapi mertua yang sesuka hati dan suka marah-marah. Namun, inilah jalan hidup yang diambil oleh Lena.
"Iya ... iya, Bu," jawab Lena pasrah. Menatap kedua tangan yang memerah terkena sabun cuci. Tangan yang dulu mulus hampir tidak pernah menyentuh cucian baju, kini mencuci adalah salah satu kegiatan rutin yang setiap hari harus dilakukan.
Lena beranjak dari duduknya. Mengikuti apa yang mertua perintahkan. Memasak lagi demi mengisi perut sang ibu mertua.
Namun, semua pengorbanan Lena sama sekali tidak terlihat di depan mata sang mertua. Bisa-bisanya ketika siang ini Lena yang keluar rumah untuk mengangkat jemuran bajunya, harus mendengar kasak kusuk suara mertua sedang bergosip dengan tetangga.
"Lah aku ini punya mantu malasnya kebangetan. Kerjaannya ngurung diri di dalam kamar kalau Latif kerja. Entah apa yang dikerjakan. Percuma cantik tapi tidak bisa diandalkan untuk dapat duit. Mending Mirna. Dia kerja bantu-bantu suaminya." Ucapan Lilis Karlina membuat Lena harus menghentikan langkah. Sungguh, Lena ingin sekali mendengar apalagi cemoohan mertua jika di belakangnya. Apalagi harus dibanding-bandingkan dengan Mirna, anak perempuan tetangganya yang bekerja sebagai seorang sales promotion girl.
"Bukannya Lena itu lebih rajin dari Mirna, Bu Lilis. Si Mirna itu malah nggak pernah ngurus rumah. Berangkat pagi pulang malam. Itu anaknya Mirna, kalau tidak ada saya entah bagaimana bentuknya." Bu Suharti malah ganti menjelek-jelekkan anaknya sendiri.
Lena sampai harus menghela napas berkali-kali. Itu ibu-ibu kenapa mulutnya pada tajam begitu.
Kali ini Bu Lilis tidak mau kalah. "Masih mendingan Mirna bisa punya anak. Jadi Yu Harti ada teman di rumah. Ada cucu. Lah saya? Lena itu mandul. Setahun nikah belum juga hamil."
"Baru satu tahun Bu Lilis. Sabar. Nanti giliran Lena punya anak, Bu Lilis ngomel-ngomel karena kalau punya anak kecil itu rumah jadi bising. Entah yang nangis, mainan di sana sini. Pokoknya bikin pusing." Lagi-lagi Bu Suharti malah mengeluh akan kondisinya.
Ini lah yang namanya kehidupan. Ibarat kata pepatah, rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri. Padahal aslinya sama saja. Orang jawa bilang Sawang Sinawang. Belum tentu apa yang kita lihat dari hidup seseorang di mana tampak luar bahagia, sejatinya sama saja.
Meski Lena mencoba untuk sabar, entah kenapa jika dituduh mandul rasanya sakit hatinya ini sulit diobati. Lena yakin dirinya sehat. Ingin rasanya Lena periksa ke dokter kandungan agar sang mertua tak lagi menuduh yang macam-macam. Namun, Lena mana mungkin pergi sendirian. Dia harus mengajak Latif.
Alasan itupula yang membuat Lena mantap membicarakan seputar anak pada Latif malam hari ini.
"Mas, aku mau bicara," ucap Lena ketika Latif baru saja merebahkan badan di atas ranjang.
Lelaki itu sangat lelah setelah seharian bekerja. Meski hanya bekerja jaga konter pulsa, tapi namanya kerja tetap saja capek. Apalagi jika kondisi toko pulsanya ramai. Pasti akan bertambah capeknya.
"Bicara apa, Dek. Besok saja, ya. Mas capek sekali ingin tidur."
"Sebentar saja, Mas. Ini penting."
Latif membuang napas pasrah. Melihat raut wajah istrinya, Latif jadi tidak enak hati menolak. "Ya sudah bicara lah."
"Mas, besok kita sempatkan waktu pergi ke dokter sebentar ya?"
Mendengar kata-kata Dokter meluncur dari bibir Lena, sontak Latif terkejut. Lelaki itu sampai bangun dari posisi berbaringnya. "Kamu sakit, Dek?"
Kepala Lena menggeleng. Latif lega mengetahuinya.
"Lalu kenapa kamu mau ke dokter?"
"Aku hanya ingin cek kesuburan, Mas?"
Kening Latif mengerut dalam. "Tes kesuburan dalam rangka apa, Dek? Kamu ini kok ya aneh-aneh saja."
"Ini demi untuk membuktikan bahwa aku tidak mandul, Mas!" Lena mulai kesal karena Latif menanggapi biasa saja.
"Mau kamu buktikan untuk siapa, Dek? Sudahlah, Dek. Namanya belum rejeki jadi kita belum dipercaya Tuhan untuk memiliki momongan. Kita menikah juga baru satu tahun. Kenapa harus buru-buru punya anak. Ambil hikmahnya saja. Mungkin kita memang disuruh pacaran dulu. Bukankah kita dulu kenal juga sebentar langsung nikah."
"Mas, aku tuh mikirnya juga sama kayak kamu. Tapi tidak dengan ibu."
"Memangnya kenapa dengan ibu?"
"Ibu nuduh aku mandul, Mas!"
"Masak, sih?"
"Mas nggak percaya?"
"Bukan nggak percaya, sayang. Tapi kalau ibu suka berkata yang bukan-bukan lebih baik kamu abaikan.. Dimaklumi saja. Namanya orang tua. Sudah jangan dipikirkan. Sebaiknya kita tidur sekarang. Mas sudah ngantuk."