"Lena! Ya, Tuhan. Pantas saja duit putraku cepet habisnya. Kamu ini kalau masak kira-kira. Jangan menghambur-hamburkan uang Latif begitu saja." Lilis Karlina nyerocos mengomeli menantunya.
Lena Karisma yang sedang mencuci peralatan memasaknya, hanya menoleh sekilas sembari mengelap keringat di dahi dengan punggung tangan.
"Habisnya aku bingung, Bu, mau masak apa. Kemarin aku masak sederhana Mas Latif dan Ibu juga tidak mau memakannya dan malah beli di luar. Jadi ya hari ini aku masak daging sapi seperti yang di tivi-tivi sering dimasak oleh chef Juna dan chef Renata." Dengan berani Lena menjawab semua protes mertuanya.
Lena memang bukan wanita yang mudah ditindas sebenarnya. Setiap perkataan mertua yang nyelekit di hatinya, pasti akan dibalas. Namun, Lena juga bukan istri durhaka yang berani sama suami dan mertua. Dia masih tahu diri untuk menjaga sopan santunnya pada orang yang lebih tua.
Satu taun lalu, Lena menikah dengan sosok pemuda bernama Latif Hermawan, anak dari Bu Lilis Karlina. Semenjak menikah, Lena pun memilih ikut bersama sang suami untuk tinggal di rumah mertua. Sebenarnya Ayah dan mamanya tidak setuju waktu dia memutuskan untuk menikah secara mendadak, lalu memilih pindah ke perkampungan yang ada di pinggiran kota. Meski pun begitu, restu tetap Lena dapat sehingga setelahnya baik Ayah, Mama beserta kakak-kakaknya memilih lepas tangan membiarkan Lena menjalani hidup barunya.
"Kamu ini kalau dinasehati orang tua ngejawab saja. Kemarin ibu sama Latif pilih beli makan di luar karena kamu masak tempe lagi tempe lagi. Ibu sudah bosen makan tempe, tahu, ikan asin mulu yang kamu masak. Jadi istri itu harus kreatif. Harus pinter atur duit belanja. Pinter masak juga. Biar disayang suami. Lah, kamu? Masak tempe tiap hari. Padahal Latif itu setiap hari juga kasih uang belanja buat kamu."
"Aduh, Bu. Aku jadi pusing. Kemarin masak tempe, ibu bilang aku nggak kreatif. Giliran sekarang masak daging yang enak, ibu ngatain lagi aku suka ngabisin uang suami."
"Ya makanya itu kamu pinter dikit jadi istri. Gimana caranya biar bisa masak enak tanpa menghabiskan duit belanja." Setelah mengatakan itu Lilis memutar badan meninggalkan dapur dengan mulut tidak henti mendumel.
Lena hanya geleng-geleng kepala sembari menghela napas panjang. Dalam hati mencoba menanamkan pemikiran, jika begitu lah sifat seseorang yang sudah mulai beranjak tua. Kesabaran mulai menipis, cerewet, dan banyak maunya. Lena tidak boleh memasukkan ke dalam hati semua omelan mertua jika tidak ingin badannya kurus kering makan hati dikata-katai setiap hari oleh sang mertua. Bagi Lena, yang penting Latif masih bersikap baik dan menyayanginya. Itu sudah cukup bagi Lena untuk bertahan menjadi seorang istri yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Impiannya sejak dulu kala. Iya, Lena memang memiliki keinginan jika setelah menikah dia hanya akan mengabdikan diri menjadi seorang istri dan ibu untuk anaknya. Meski hingga satu taun usia pernikahan dia dan Latif belum juga dikaruniai momongan. Lena tetap bersabar dan tetap melakukan tugas sebagai seorang istri yang baik.
•••
Malam hari, Latif baru pulang ke rumah ketika jarum jam menunjuk di angka sepuluh. Lena sebenarnya sudah sangat lelah setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan rumah. Hampir tidak ada habisnya meski pun anggota keluarga di dalam rumah hanya empat orang, termasuk Lena sendiri. Adik lelaki Latif yang masih sekolah, namanya Labib, sangat pemalas dan suka mengotori rumah dengan kebiasaan buruk yang meletakkan barang asal di sembarang tempat. Belum lagi jika masuk ke dalam rumah terkadang suka lupa melepas sandal sehingga Lena harus mengepel ulang lantai rumah. Jika tidak maka Bu Lilis akan mengomel sepanjang masa.
"Mau makan dulu atau mandi, Mas?" Lena bertanya hal yang sama setiap kali sang suami pulang dari bekerja. Latif bukanlah seorang pekerja kantoran apalagi pengusaha. Lelaki itu hanya mengelola sebuah konter pengisian pulsa yang terletak di salah satu ruko yang terdapat di pasar tradisional dekat dengan kantor kecamatan.
"Aku mau langsung tidur saja. Capek."
"Memangnya Mas nggak lapar? Kok mau langsung tidur."
"Tadi aku sudah makan. Beli penyetan ayam."
Lena menghela napas panjang sembari memperhatikan sang suami yang mulai melepas baju yang dikenakan. Bukan Lena marah sebab Latif membeli makan sendiri tanpa mengingatnya. Tapi lebih ke arah dia kecewa. Sudah capek-capek masak enak yang bahkan menghabiskan uang belanja dua hari. Tujuannya agar suaminya tidak mengeluh dengan masakan sederhana yang selalu dia sajikan di atas meja makan. Bahkan demi berusaha memanjakan lidah suaminya, Lena tidak henti belajar entah itu dari internet sampai mencari-cari resep masakan yang simpel tapi enak tanpa harus menguras uang belanja. Sayangnya, Latif malah tidak menghargainya.
"Padahal aku sudah masak sapi lada hitam tadi. Kupikir Mas Latif akan suka. Eh, nggak tahunya malah makan diluar tanpa kasih tau sebelumnya. Tau gitu tadi aku nggak akan masak yang macam-macam sampai uang belanja tidak tersisa."
Latif duduk di tepi ranjang. Mengusap kasar wajahnya. Raut bersalah tergambar di wajah tampannya. "Mas minta maaf, Dek. Mas nggak tau kalau kamu masak daging. Lagian kenapa tadi nggak nge-wa Mas. Jadi kan Mas nggak akan makan dulu sebelum pulang."
"Ya aku pikir seperti biasanya jika Mas Latif pulang pasti belum makan."
Latif meringis sembari menggaruk telinga bagian belakang. "Habisnya Mas bosan makan di rumah. Sudah nahan lapar, eh ujung-ujungnya sampai rumah kamu hanya menyuguhkan oseng tempe sama sambel teri. Kalau enggak gitu tumis kangkung tempe goreng. Ya, maaf, Dek. Sesekali Mas juga ingin makan enak."
"Terus sapi lada hitam yang tadi aku masak mau diapakan?"
"Ya sudah simpan di kulkas saja. Besok tinggal di hangatkan. Sekalian kamu masak nasi tim biar besok pagi Mas bisa sarapan nasi tim sapi lada hitam. Kayak yang dijual di mall-mall itu."
Senyum Lena merekah. Inilah yang membuat Lena masih bertahan di sini. Selain ia malu pada keluarganya jika ketahuan hidup sengsara di rumah mertua, Latif suaminya begitu baik dan menyayanginya. Sangat berbanding terbalik dengan ibu mertuanya.
"Ya sudah. Kalau gitu aku ke dapur dulu. Mau nyimpan masakanku ke kulkas."
Latif mengangguk membiarkan Lena keluar kamar.
Namun, langkah kaki Lena terhenti di ambang ruang makan.
"Labib! Sapi lada hitamnya kenapa kamu habiskan semua?!" Dengan mata melebar menatap sang adik ipar makan dengan lahap, tubuh Lena berasa lemah seketika. Sungguh, antara menahan emosi dan juga amarah yang ingin meledak-ledak karena kelakuan sang adik ipar yang diluar dari nalar. Bagaimana mungkin daging satu mangkok telah raib semua tanpa sisa.
Dadaa Lena kembang kempis. Mencoba menahan emosi. Mencoba berdamai dengan hati. Tenang, Lena! Ini ujian.