#
Yudha Naratama menarik napas panjang.
“Papa, jangan bilang ini perjodohan lagi,” ucap Yudha.
Tuan Naratama tampak pura-pura fokus pada sinetron remaja yang sedang ditontonnya dan mengabaikan ucapan putranya sendiri.
Yudha mengambil remote TV dan mematikannya.
“Umur Papa sudah tidak cocok lagi untuk menonton sinetron untuk ABG,” ucap Yudha.
Tuan Naratama menarik napas panjang.
“Memangnya salah kalau Papa menonton acara tentang anak-anak usia belasan? Sekedar mengenang masa remaja Papa sendiri masa tidak boleh,” ucap Tuan Naratama. Dia sedang mencoba berkelit.
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Papa tahu aku tidak suka dijodohkan dan sudah beberapa kali aku menolaknya. Papa tidak mungkin lupa kan?” Kali ini Yudha tampak emosi pada ayahnya sendiri.
Dia benar-benar benci dijodohkan seakan dirinya tidak bisa mencari pasangan sendiri. Meskipun pada kenyataannya dia sebenarnya memang kesulitan mendapatkan pasangan karena terlalu tergila-gila dengan pekerjaan.
“Ini hanya makan malam dengan teman lama Papa dan cucu perempuannya. Lagi pula kau mengenal mereka. Jika kali ini pun kau juga tidak suka dengan gadis itu, Papa tidak akan memaksamu lagi,” ucap Tuan Naratama.
“Aku tidak punya waktu. Malam ini aku harus berangkat ke luar negeri dan ....”
“Papa sudah meminta sekretaris pribadimu untuk mengundur semua jadwal hingga dua hari ke depan,” potong Tuan Naratama sebelum Yudha menyelesaikan kalimatnya.
“Apa?!” Yudha tampak sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya akan benar-benar ikut campur tidak hanya dalam kehidupan pribadinya, bahkan sampai pada urusan pekerjaannya.
“Santai saja, perusahaan kita tidak akan bangkrut hanya karena kehilangan satu atau dua tender,” ucap Tuan Naratama.
“Papa!” Yudha menyela ucapan ayahnya.
“Kau akan menyukai gadis kali ini dan kalau ternyata tidak maka ini akan menjadi kali terakhir Papa ikut campur dalam urusan pribadimu dan juga pekerjaanmu,” ucap Tuan Naratama.
“Papa benar-benar keterlaluan. Baiklah, kalau begitu beri tahu padaku siapa wanita yang akan Papa jodohkan denganku kali ini?” tanya Yudha.
Tuan Naratama mengulum senyum mendengar pertanyaan anaknya itu. Tanda kalau putranya tersebut pada akhirnya menyerah dan bersedia menuruti keinginannya kali ini.
Dia mengambi remote TV yang tadinya dilemparkan Yudha asal ke atas sofa dan kemudian menekan saluran berita. Sebuah acara kini sedang menayangkan wawancara dengan seorang gadis muda yang menjadi pelopor sebuah perusahaan start up sukses.
Yudha tampak tidak mengerti dengan tindakan ayahnya.
“Apa hubungannya dengan acara ini?” tanya Yudha.
Tuan Naratama menunjuk ke arah gadis muda yang sedang di wawancara di TV itu.
“Dia yang akan menjadi calonmu kali ini. Kau pernah menolongnya lima tahun lalu kan? Karena dirinya, kau terlambat menaiki pesawat yang pada akhirnya menyelamatkan nyawamu. Papa rasa ini juga saat yang tepat bagi kita berdua untuk berterima kasih pada Larasati Erlangga karena telah membuatmu terlambat ke bandara hari itu,” ucap Tuan Naratama.
Yudha tertegun menatap bagaimana Larasati Erlangga menjawab dengan lancar dan penuh percaya diri setiap pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
Dia terlihat sangat berbeda dengan gadis muda yang hampir ditabraknya di jalan lima tahun lalu. Seakan waktu secara ajaib memolesnya sedemikian rupa hingga menjadi sosok yang penuh kharisma dibandingkan saat dia pertama melihatnya.
“Oh gadis dengan gaun pengantin tanpa alas kaki itu ya. Saat melihatnya waktu itu, aku sama sekali tidak menyangka kalau dia cucu Om Adiwilaga Bamantara,” ucap Yudha tanpa melepaskan pandangannya dari layar TV.
Lima tahun lalu dirinya terlambat ke bandara karena bertemu dengan seorang gadis muda yang berlarian di jalan raya dengan gaun pengantin dan tanpa alas kaki.
Dia merasa kasihan dan mengantarkan gadis itu ke tempat yang dituju oleh gadis tersebut dan tidak disangkanya kalau tempat yang dimaksud oleh gadis itu adalah kediaman dari seorang Adiwilaga Bamantara.
Berkat kejadian itu, Yudha kehilangan kesepakatan bisnis penting dengan petinggi perusahaan besar di luar negeri karena terlambat naik pesawat.
Namun siapa sangka kalau pesawat yang seharusnya dia tumpangi malah mengalami kecelakaan sesaat setelah lepas landas dan mengakibatkan semua penumpangnya tewas hari itu. Karena itulah, Yudha merasa kalau dia berhutang budi pada Larasati Erlangga.
“Bagaimana?” tanya Tuan Naratama.
Yudha menarik napas panjang.
“Kudengar dia melarikan diri dari pernikahan dengan pria yang dijodohkan dengannya oleh ayahnya. Aku yakin dia juga tidak akan dengan mudah setuju dengan perjodohan seperti ini,” ucap Yudha.
Tuan Naratama tertawa.
“Karena itulah kalian berdua cocok. Kakeknya hampir putus asa saat melihat bagaimana cucu satu-satunya itu sepertinya akan menikahi berkas dan saham dibandingkan dengan seorang pria. Mendengar hal itu, Papa juga berpikir kalau dirimu pasti akan segera menikah dengan perusahaan jika tidak dihentikan,” ucap Tuan Naratama.
“Sudah kuduga, perkumpulan pria tua yang Papa ikuti itu bukan perkumpulan yang normal,” ucap Yudha.
“Tanpa perkumpulan itu pun, aku dan si tua Bamantara sudah lama berteman. Lagi pula apa salahnya curhat di antara dua pria tua?” ucap Tuan Naratama.
Yudha hanya bisa melemparkan tubuhnya di samping ayahnya.
“Aku punya syarat,” ucap Yudha.
“Katakan saja,” balas Tuan Naratama.
“Jika ternyata Larasati Erlangga menolak perjodohan ini, maka biarkan aku mendekatinya dengan caraku sendiri tanpa campur tangan dari kalian berdua,” ucap Yudha tegas.
Tuan Naratama mengalihkan pandangannya pada putranya.
“Kau memutuskan untuk mendapatkannya?” tanya Tuan Naratama. Dia senang tentu saja, tapi sebagai orang tua, dia juga merasa kalau dirinya butuh memperjelas pendengarannya saat ini.
Yudha tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis sambil terus memperhatikan layar TV yang menampilkan Larasati Erlangga. Terlihat jelas kalau dirinya memang tertarik pada gadis itu dan perhatiannya yang tampak serius itu, sesungguhnya itu bukan karena acara TV yang diputar oleh ayahnya.
Dia memang sudah menunggu waktu yang tepat untuk mendekati gadis yang dulu sudah menyelamatkan nyawanya itu. Sepertinya, inilah waktu yang tepat itu.
#
Laras melangkah memasuki kantornya ketika sebuah berkas disodorkan kepadanya oleh sekretarisnya.
“Apa ini?” tanya Laras.
Kenny, sekretaris Laras membuka tablet di tangannya dan menunjukkannya pada Laras.
“Penawaran kerja sama dari JK, salah satu anak perusahaan yang ....”
“Tolak,” potong Laras tanpa membiarkan Kenny melanjutkan kalimatnya.
“Ini akan sulit Bu Laras, karena salah satu pemegang saham merekomendasikan JK secara langsung,” ucap Kenny terus terang.
Laras meletakkan tas kerjanya di atas meja dan kemudian meraih berkas yang tadi disodorkan Kenny. Bukannya membacanya, dia malah melemparkan berkas itu ke tempat sampah.
“Tidak ada kerja sama untuk tender apa pun yang akan berjalan dengan semua perusahaan terkait keluarga Erlangga maupun Bratajaya. Mereka pernah mendatangkan kerugian yang tidak sedikit saat mengerjakan tender bersama semasa perusahaan masih sepenuhnya dipegang oleh Kakek. Bukan tanpa alasan kakek memasukkan semua perusahaan di bawah kendali dua keluarga itu ke dalam daftar hitam. Lagi pula, semua pemegang saham seharusnya sudah mengetahui hal ini dengan jelas,” ucap Laras.
Baru saja Laras menyelesaikan kalimatnya ketika pintu kantornya terbuka dengan tiba-tiba.
Salah seorang staf yang berada di bawah Kenny tampak meminta maaf dengan suara pelan dan takut-takut ketika seorang pria gemuk dengan wajah yang terlihat arogan kini memasuki ruangan kantor Laras tanpa permisi.
“Kuharap kedatanganku yang tiba-tiba ini tidak mengganggu kesibukanmu Laras.”
Pria itu langsung duduk di hadapan Laras tanpa dipersilahkan.
Dia adalah Hartono Wibisono, salah satu pemegang saham yang memang selalu ingin ikut campur pada urusan operasional perusahaan, terlebih setelah Tuan Bamantara mengangkat Laras sebagai wakil CEO.
Usia Laras yang masih muda memang membuat beberapa pemegang saham sempat ragu dengan kemampuannya, begitu juga dengan jajaran dewan direksi yang lama. Namun Laras mampu membuktikan kemampuannya dalam waktu dua tahun sekaligus merombak habis seluruh jajaran direksi yang menentangnya.
Meski begitu, beberapa orang seperti Hartono Wibisono tetap berusaha ikut campur dan bertindak semaunya hanya karena memiliki jumlah saham yang lumayan dalam perusahaan.
Laras menarik napas panjang. Jika saja perjalanannya ke luar negeri tidak dibatalkan, dia tidak perlu meladeni Hartoni Wibisono yang menyebalkan dan bawel ini.
“Tentu tidak Om Har, mau minum apa?” tawar Laras.
Hartono menarik napas berat, perutnya yang buncit tampak menyembul di antara jas mahal yang dikenakannya, membuat jas rancangan khusus dengan bahan berkualitas tinggi itu terlihat seakan tengah teraniaya dengan menyedihkan saat ini.
“Aku ingin JK diloloskan,” ucap Hartono.
“Sayang sekali itu tidak bisa kulakukan,” balas Laras datar.
Hartono Wibisono menatap Laras dengan pandangan mengintimidasi. Sayangnya hal itu sama sekali tidak mempan pada Laras.
“Dengar Laras, hanya JK perusahaan yang mampu dan cocok untuk kerja sama tender kolaborasi pemerintah Singapura dan Indonesia, kakekmu akan mengerti. Kita tidak bisa melepas proyek besar hanya karena tidak ada perusahaan yang cocok sebagai partner,” ucap Hartono penuh penekanan.
“Aku tidak melepas proyek itu, tapi aku tidak bisa meloloskan JK. Ada banyak perusahaan besar yang akan bersedia bekerjasama dan Om Har tidak perlu khawatir tentang itu. Selain itu, pemegang saham pasif seharusnya tidak ikut campur pada urusan operasional perusahaan. Aku yakin Om Har seharusnya tahu sampai di mana batasannya,” ucap Laras.
Wajah Hartono tampak memerah kini.
“Aku hanya berusaha membimbingmu agar kau tidak salah jalan Laras. Kau tahu, kerugian karenamu akan menjadi tanggungan dan kerugian seluruh pemegang saham! Aku heran bagaimana bisa Adiwilaga mempercayai anak bau kencur seperti dirimu untuk menempati posisi di mana nasib dan masa depan perusahaan dipertaruhkan!”
“Aku belum pernah membawa kerugian bagi perusahaan semenjak aku mulai terjun ke dalam perusahaan ketika aku masih duduk di bangku kuliah Om Har,” ucap Laras.
“Jumawa! Kau hanya belum membuat kesalahan! Jangan karena kau batal menikah dengan Arsen Wira Bratajaya, kau membuat perusahaan menanggung akibatnya!” ucap Hartono dengan nada suara meninggi.
Laras kembali tersenyum, namun kali ini senyuman dan tatapannya terlihat dingin. Dia sudah kehabisan kesabaran dan pengertian yang dia miliki untuk semua tindakan merendahkan Hartono sudah di ujung tanduk.
“Sama sekali tidak ada hubungannya antara apa yang terjadi pada diriku dan Arsen lima tahun lalu dengan perusahaan ini. Sebaliknya, saya rasa Om Har yang kurang bisa membedakan antara urusan pribadi dengan urusan bisnis. Hanya karena adik perempuan Arsen menjadi anggota keluarga Wibisono bukan berarti itu memberi mereka hak untuk mempengaruhi Om Har agar bisa menekan saya sekarang. Saya rasa cukup sampai disini Om Har, ada rapat penting sepuluh menit lagi. Kalau Om Har, ingin meminta pertanggungjawaban saya terkait operasional dan manajemen perusahaan, saya dengan senang hati akan menyampaikannya nanti saat rapat pemegang saham yang dihadiri oleh komisaris utama,” ucap Laras.
Hartono Wibisono terdiam mendengar ucapan Laras. Dia melirik tempat sampah tempat berkas dari JK telah dicampakkan oleh Laras.
“Kau tahu Laras? Dalam bisnis seharusnya kau belajar menangkap semua peluang yang ada. Kau jelas-jelas memendam kebencian tanpa alasan pada keluarga Bratajaya dan itu sudah jelas ada kaitannya dengan Arsen. Seharusnya kau belajar menyelesaikan dulu masalah pribadimu sebelum belajar memimpin sebuah perusahaan besar,” ucapnya.
“Terima kasih atas nasehatnya Om Har. Saya akan mengingatnya dengan baik,” balas Laras masih dengan senyuman tipisnya yang terkesan dingin. Sikapnya dan cara menyebut Hartono kini menunjukkan kalau dia memberi batasan jelas pada pria itu.
Hartono Wibisono melangkah pergi dari ruangan itu dengan wajah yang ditekuk.
Laras terduduk selama beberapa saat di kursinya. Dia memejamkan mata mencoba menenangkan emosinya karena perkataan Hartono Wibisono barusan yang jelas-jelas membuatnya kesal. Dia benci ketika ada orang yang mengaitkan dirinya pada Arsen dalam bentuk apa pun.
Orang-orang selalu menyinggung mengenai masa lalunya dengan Arsen hanya karena lima tahun lalu dia melarikan diri dari pernikahannya dengan pria itu.
Banyak yang menilainya kekanak-kanakan karena mengacaukan pernikahan di hari yang sudah ditetapkan. Sebaliknya, dia sudah menerima semua kritik itu karena ia memiliki alasan sendiri yang tidak bisa dijelaskan pada siapapun.
“Bu Laras, rapatnya bisa kita tunda sekitar sepuluh menit,” tawar Kenny.
Laras membuka matanya dan menggeleng cepat.
“Tidak. Aku tidak apa-apa. Pastikan saja nanti proses akuisisi saham bernilai kecil dari pemegang saham yang akan menjual sahamnya berjalan mulus. Jangan sampai ada yang tahu siapa sebenarnya pembelinya. Aku ingin membuat sedikit kejutan di rapat pemegang saham berikutnya nanti,” ucap Laras.
“Baik Bu,” ucap Kenny.
Laras bangkit berdiri dan kemudian melangkah menuju ke ruang rapat dengan di ikuti oleh Kenny dan dua orang staf lainnya.