#
Bik Darmi hanya bisa menarik napas panjang saat melihat Laras yang kini sibuk dengan ponselnya memeriksa sesuatu.
“Menyebalkan, kalau saja aku tidak pingsan, ini semua tidak perlu terjadi. Seharusnya aku berangkat tadi malam dan mengikuti meeting pagi ini secara langsung, bukan via aplikasi seperti ini,” keluh Laras.
Semua rencana profesionalnya berantakan hanya karena dia gagal mengendalikan diri setelah melihat Tuan Naratama dan juga Yudha Naratama.
Bik Darmi meletakkan segelas bubur kacang hijau di atas meja di samping Laras.
“Tuan besar sendiri yang menyiapkan bubur ini untuk Non Laras makan dan meminta orang mengantarkannya kemari. Jadi Non Laras harus menghabiskannya tanpa tersisa sedikit pun agar Tuan besar tidak sedih,” ucap Bik Darmi.
Laras menarik napas panjang. Dia sebenarnya ingin segera pulang dan bersiap untuk ke kantor. Namun saat mendengar ucapan Bik Darmi kalau Kakeknya yang menyiapkan sarapan khusus untuknya, dia akhirnya menurut dan mulai menyuapkan sesendok demi sesendok makanan itu ke mulutnya.
“Kakek seharusnya tidak perlu merepotkan diri sampai seperti itu. Aku hanya pingsan, bukannya kena kanker atau penyakit berat lainnya,” ujar Laras.
Bik Darmi tersenyum.
“Tuan besar memang seperti itu sejak dulu,” ucap Bik Darmi sambil tersenyum.
Tidak akan butuh waktu lama bagi Laras untuk menghabiskan makanannya meski dia juga tidak makan dengan terburu-buru.
Kakeknya mengajarkannya kalau etika di meja makan adalah yang terpenting dan setelah lewat beberapa waktu tinggal dengan sang Kakek, Laras perlahan menjadi terbiasa dengan semua kebiasaan Kakeknya. Bahkan tanpa sadar dia menjadikan hal itu sebagai kebiasaannya juga.
Baru saja Laras memasukkan suapan terakhir ke mulutnya dan meraih air mineral, seseorang mengetuk pintu ruang rawatnya.
Saat Laras menoleh, dilihatnya Yudha Naratama sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum ke arahnya seolah mereka adalah kawan dekat.
Di sisi Lain, Yudha sedikit terkesan dengan penampilan Laras yang polos tanpa riasan sama sekali. Semalam dia terlihat sangat elegan dengan riasan tipis dan sekarang dia terlihat menggemaskan meski dengan wajah polos.
Selain itu, Laras juga sudah tidak mengenakan gaun seperti semalam. Sekarang dia tampak seperti seorang gadis pada umumnya dengan celana jeans, jaket dan kaos polos berwarna putih.
“Aku datang untuk menjemputmu dan mengantarkanmu pulang,” ucap Yudha.
Laras mendengus.
“Maaf tapi sudah ada orang yang akan mengantarku pulang,” ucap Laras.
“Ya, akulah orang itu,” Yudha bersikeras.
Laras menengok ke arah Bik Darmi.
“Saya juga baru mendapat kabar dari Tuan besar kalau Tuan Yudha yang akan mengantarkan Non Laras pulang,” ucap Bik Darmi sambil tersenyum penuh makna. Dia sudah diberitahu siapa sebenarnya Yudha Naratama dan bahwa pria itu sendiri yang meminta untuk bisa menjemput dan mengantarkan Laras pulang.
“Baru itu kapan Bik? Aku tidak melihat Bik Darmi memegang ponsel sejak aku bersiap-siap dan selama aku sarapan,” ucap Laras.
“Oh astaga, saya harus membawa ini semua lebih dulu ke mobil,” ucap Bik Darmi sambil meraih tas yang berisi gaun dan sepatu yang Laras gunakan tadi malam. Dia juga dengan cepat membereskan tempat makanan yang dipakai Laras untuk sarapan beberapa saat lalu.
Bik Darmi tampak ingin menghindar tapi Laras tidak ingin melepaskannya.
“Jangan bilang, Bik Darmi sudah tahu sejak tadi malam,” ucap Laras.
Bik Darmi menepuk dahinya pelan.
“Astaga, salah saya karena lupa memberitahu Nona. Maafkan saya Non,” kelit Bik Darmi.
Tentu saja Laras tidak percaya ucapan Bik Darmi yang pura-pura lupa. Namun pada akhirnya dia membiarkan wanita paruh baya itu meninggalkan Laras dan Yudha di ruangan itu.
Yudha hanya tertawa memperhatikan apa yang terjadi sambil bersandar di pintu dan melipat tangannya di depan d**a.
Penampilan Yudha yang benar-benar seperti seorang pebisnis sejati ditambah wajahnya yang rupawan membuat beberapa perawat, dokter maupun pasien wanita yang melewatinya tersipu-sipu.
“Biar kutegaskan lagi, kita tidak berpacaran dan juga bukan tunangan karena perjodohan semalam dianggap invalid. Aku pingsan, jadi anggap saja semuanya batal,” ucap Laras.
Tapi Yudha menanggapi ringan ucapan Laras.
“Hei santai saja. Aku juga sejujurnya tidak suka dengan perjodohan ala-ala Siti Nur Baya yang dirancang oleh Papaku dan Paman Adi. Namun alasan aku datang ke perjodohan semalam adalah untuk berterima kasih kepadamu. Bisa dibilang, aku sudah lama berhutang budi kepadamu,” ucap Yudha.
Laras menarik napas panjang. Memang benar, jika bukan karena dirinya, saat ini Yudha Naratama sudah berbaring dengan tenang di peristirahatan terakhirnya. Bahkan mungkin pria itu hanya tersisa tulang belulang.
“Bagiku itu sudah impas. Kau menolongku saat itu dengan mengantarkanku ke rumah Kakek dan aku tanpa sengaja sudah membuatmu terlambat naik pesawat. Itu hanya takdir jadi kita tidak perlu berterima kasih pada satu sama lain,” balas Laras datar.
Diam-diam Laras merasa kalau sungguh sangat disayangkan pria setampan Yudha Naratama bisa mati muda di tengah puncak kejayaannya. Jika saja di kehidupan Laras yang sebelumnya Yudha masih hidup, maka Arkarna Naratama tidak akan menjadi pewaris satu-satunya keluarga Naratama dan Arsen tidak akan menjodohkan putri mereka, Kirana pada Arkarna yang gila itu.
“Apa aku memang setampan itu?”
Pertanyaan Yudha mendadak membawa Laras kembali pada kesadarannya.
“Apa?” tanya Laras tidak mengerti.
Yudha tersenyum.
“Saat pertemuan pertama kita kau mungkin tidak menyadarinya karena saat itu kondisimu sedang genting, lalu pada pertemuan kedua kita semalam dirimu pasti sedang kaget karena ternyata akulah pria yang dijodohkan denganmu. Aku yakin kau ingat denganku. Wajahku ini sangat sulit untuk dilupakan. Sekarang kau bahkan menatapku dengan tatapan seperti itu,” ucap Yudha.
“Hah?” Laras mengangkat sebelah alisnya.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau seorang Yudha Naratama yang sangat dibanggakan oleh keluarga Naratama bahkan setelah kematiannya di kehidupan pertama Laras, nyatanya adalah seorang pria narsis.
“Tunggu dulu, maksudnya apa?” tanya Laras kemudian.
Yudha mendekat dan menatap Laras lekat-lekat.
“Kita tidak perlu mengikuti perjodohan lagi. Itu hanya buang-buang waktu. Jadilah kekasihku. Ayo pacaran denganku Laras. Ah tidak. Abaikan itu. Ayo kita langsung menikah saja untuk menghemat waktu. Aku sudah terpesona kepadamu dan kau juga terpesona kepadaku, jadi pernikahan adalah jalan terbaik untuk kita berdua,” ujar Yudha dengan penuh percaya diri.
Laras melongo. Seumur hidupnya. Bahkan di kehidupannya yang pertama maupun di kehidupannya yang kedua ini tidak pernah terpikirkan olehnya kalau dia akan dilamar oleh seorang pria di Rumah Sakit, tepat di saat dia seharusnya keluar dari Rumah Sakit.
Selain itu, meski usianya tubuhnya sekarang masih dua puluh tiga tahun tapi tetap saja jiwa yang ada di dalam tubuhnya saat ini sudah berusia sekitar empat puluh tahunan. Jadi dari sudut pandang Laras, Yudha Naratama yang berdiri di hadapannya saat ini jelas terlihat seperti seorang anak muda yang usianya jauh di bawahnya dan dia bukan penyuka daun muda.
“Hei, anak muda. Bercanda pun ada batasnya,” balas Laras.
Dia tidak sadar menyebut Yudha sebagai anak muda padahal kenyataannya usia Yudha lebih tua sekitar dua atau tiga tahun di atasnya.
Yudha tampak mengerutkan alisnya melihat cara bicara Laras kepadanya yang aneh.
“Aku lebih tua beberapa tahun darimu Nona muda,” sindir Yudha.
Laras mendengus kesal.
“Kau boleh pergi. Aku akan pulang naik taksi,” ujar Laras. Dia baru ingat kalau dirinya harus segera pulang dan bersiap ke kantor. Siang nanti dia akan tetap berangkat ke luar negeri untuk mengejar jadwalnya yang lain.
“Tunggu dulu. Apa aku di tolak?” tanya Yudha.
Tapi Laras mengabaikan pertanyaan Yudha tersebut. Dia melangkah melewati Yudha dan bergegas menuju lobi Rumah Sakit.
Yudha terpaksa harus mengejar Laras yang berjalan dengan sangat cepat.
“Baiklah. Kalau begitu kita bisa mulai dari tunangan,” ucap Yudha. Dia menyamakan langkahnya dengan Laras tanpa kesulitan.
“Aku tidak tertarik,” balas Laras cepat.
“Kalau begitu kita mulai dari pacaran. Kau jelas tertarik kepadaku.” Yudha bersikeras.
“Aku sama sekali tidak tertarik kepadamu,” tegas Laras.
Yudha akhirnya meraih pergelangan tangan Laras dan menghalangi langkah Laras dengan berdiri di depan Laras.
“Tapi aku tertarik kepadamu,” balas Yudha. Dia menatap wajah Laras lekat-lekat.
Yudha berkata jujur. Seumur hidupnya hampir tidak ada wanita yang bisa membuatnya tertarik, karena itu dia tidak memiliki banyak kisah romantis dengan wanita. Laras adalah wanita pertama yang membuatnya benar-benar ingin mendapatkannya.
Laras menarik napas panjang.
“Kau bukan tipeku. Bagiku, kau hanya pria terbaik pilihan Kakek tapi tetap saja kau terlalu muda untuk menjadi tipeku,” ucap Laras dengan jujur. Menggelikan rasanya jika dia harus bersama dengan seorang pria yang jelas-jelas lebih muda dari usia mentalnya saat ini.
Maksudnya, jiwa yang ada di dalam tubuh Laras saat ini sudah tidak muda lagi dan sangat sulit untuk menganggap dirinya sendiri masih muda di saat dia memiliki semua ingatannya dari kehidupannya sendiri selama empat puluh tahun bahkan meskipun itu bukan jenis ingatan yang benar-benar ingin dia ingat. Terutama semua hal buruk yang sudah dia lalui.
“Kalau aku terlalu muda, memangnya tipemu itu yang seperti apa? Om-om usia tiga puluhan atau Kakek-kakek menjelang lima puluhan? Mereka terlalu tua untukmu,” ejek Yudha.
Tapi Laras bergeming menatapnya, seakan tidak ingin menyangkal tebakan Yudha saat itu.
Menyadari hal itu perlahan senyuman di wajah Yudha menghilang.
“Jangan bilang kalau seleramu memang seperti itu? Astaga.” Yudha terlihat syok.
“Aku akan pulang dengan taksi,” ucap Laras lagi. Dia melewati Yudha yang masih berdiri terpaku di tempatnya.
Tentu saja ini bukan sesuatu yang bisa diprediksi oleh Yudha sebelumnya meskipun dia sudah tahu kalau Laras akan menolaknya.
Gadis seperti Laras memang tidak terlihat seperti seorang yang mudah di dapatkan tapi memikirkan kalau gadis cantik seperti itu menyukai pria tua, bahkan sangat tua dibandingkan dengan dirinya, benar-benar menampar harga diri seorang Yudha Naratama.
Pada akhirnya Laras berhasil pulang dari Rumah Sakit dengan naik taksi.