Bab 5. First Talk

1942 Words
"Teman-teman, aku duluan ya." Jeremia membereskan barang-barangnya yang berserakan tergesa. Setelah itu setengah berlari keluar kantin. "Kenapa dia?" tanya Sharon. Gadis itu menatap Kimmy. "Apa?" tanya Kimmy tak terima tatapan menyudutkan Sharon. "Aku tidak sedang bertengkar dengannya lagi." "Aku tidak mengatakan seperti itu," bantah Sharon cuek. "Mulutmu memang tidak, tapi tatapan matamu itu menyudutkanku!" belalak Kimmy. Sharon tak menanggapi. Gadis itu hanya mengangkat bahu. "Jeremia sudah terlihat aneh sejak tadi." Brittany kembali menjadi penengah. "Kurasa dia sedang datang bulan." "Mungkin saja." Sharon lagi-lagi mengangkat bahu. Sementara Kimmy tak berkomentar. Terlaku malas membuka suara hanya untuk seorang Jeremia. Lebih baik dia memperhatikan Jordan, lebih bermanfaat untuk kesehatan mata dan jantungnya. Tapi hei, Jordan sudah tidak berada di mejanya. Begitu juga dengan teman-teman pemuda itu. Kemana mereka? Mata Kimmy liar mengawasi seluruh penjuru kantin, mencari keberadaan Jordan. Tapi nihil. Jordan tak nampak dimanapun, sepertinya Jordan dan teman-temannya sudah keluar kantin. Kimmy mendesah kecewa. "Mungkin sebaiknya kita biarkan saja dulu Jeremia sendiri," usul Brittany. "Yeah bisa saja kan dia merindukan si sombong itu." Menyebut kata si sombong, wajah Brittany menekuk. Tampak sekali kalau dia tidak menyukai orang yang dimaksud. "Yeah mungkin saja." Sharon menanggapi dengan cuek. Gadis itu lebih fokus pada ponselnya yang menampilkan gambar-gambar dari sebuah aplikasi media sosial. "Aku tak peduli!" Kimmy menggeleng. "Lebih menyenangkan kalau tanpa Jeremia." "Itu hanya pendapatmu, karena kau iri dengan Jeremia." Komentar Shanon membuat Kimmy meradang. Wajah Kimmy memerah dengan napas naik-turun. Kimmy berdiri dengan telunjuk mengacung di depan wajah Sharon yang tertutup ponsel. "Katakan sekali lagi, maka aku akan merobek mulutmu!" ancam Kimmy marah. Sharon menurunkan ponselnya, menyimpannya ke dalam tas. "Itu kenyataannya," sahutnya sambil memutar mata bosan. Kimmy terlalu berapi-api dan selalu membesar-besarkan masalah. Kimmy juga sangat menyukai kalau Jeremia tersudut. Bukan rahasia lagi kalau Kimmy selalu berusaha mengejar Jeremia yang selalu satu langkah di depannya. "Kau-!" Sharon berdiri. Sekarang dia berhadapan dengan Kimmy. Mereka hanya dibatasi oleh sebuah meja yang tidak terlalu besar. Seandainya Brittany tidak bertindak cepat melerai mereka, kemungkinan Sharon dan Kimmy akan saling mencakar. "Teman-teman, sudahlah." Brittany memijit pelipis. Kelakuan teman-temannya selalu membuat kepalanya berdenyut. "Aku tidak mau kita menjadi perhatian seluruh kantin. Sangat memalukan kalau kalian bertengkar di sini, hanya karena masalah iri dan tidak ini." Sharon lagi-lagi memutar mata. Pembawaannya yang selalu santai membuatnya terlihat seolah tak perduli dengan keadaan sekitar. Berbeda dengan Kimmy yang terlihat lebih bersemangat. Kimmy juga sangat mudah terbakar emosi, membuatnya selalu menanggapi sesuatu dengan tergesa-gesa. "Aku mau ke lapangan basket." Sharon menyampirkan ransel ke bahunya. "Aku ada janji dengan Jack. Ada yang mau ikut?" tawar Sharon. Kimmy mendengus jengkel. Kembali duduk dengan wajah menekuk. "Aku tidak!" jawabnya ketus. "Aku mau di sini saja." "Tak ada yang memaksamu untuk ikut." Sharon memakai topinya dan berbalik. "Ayo, Brit. Jack sudah menungguku." Brittany mengangguk. Memasukkan barang terakhirnya ke dalam ransel. "Kimmy, kami duluan ya," pamitnya. Tanpa menunggu Kimmy mengangguk, Brittany berlari kecil mengejar Sharon yang sudah beberapa kaki di depannya. *** Di lorong kelas yang ramai di lantai dua, Jeremia celingukan. Matanya liar mengawasi setiap kerumunan siswa, meneliti wajah-wajah mereka, terutama siswa berambut pirang. Dia harus menemukan Jordan sebelum bel masuk kembali berbunyi. Dia harus mengucapkan terima kasih atas pertolongan Jordan tadi pagi di kelas Miss Graham, dan mencegah Jordan untuk menemui Miss Graham pulang sekolah nanti. Tapi sampai sekarang dia belum menemukan di mana Jordan berada. Jeremia bisa saja bertanya pada siswa yang lain, namun diurungkan. Belum tentu siswa-siswa itu mengenal Jordan yang baru beberapa hari bersekolah di sekolah ini. Jeremia mendesah. Dia lelah. Kaki-kakinya rasanya sudah tak dapat diajak untuk melangkah lagi. Jeremia berhenti, menarik napas panjang dengan tangan berpegangan pada sebuah loker. Matanya madih berkeliaran, mungkin saja kan Jordan ada diantara para siswa yang berkeliaran ataupun bergerombol. Bukankah Jordan tadi bersama teman-temannya? Sekali lagi Jeremia menarik napas. Gadis itu berniat untuk melanjutkan mencari Jordan, sebelum sebuah suara baritone mengagetkannya. "Permisi, bisakah kau minggir sedikit? Aku ingin membuka lokerku." Suara bass itu terdengar sopan dan dalam. Cepat Jeremia berbalik dan terkejut. Pemuda yang dicarinya berdiri dengan jarak beberapa inchi darinya. Jeremia mengerjap beberapa kali dengan mulut setengah terbuka. Tergagap setelah Jordan menjentikkan jari di depan matanya. "Owh iya." Jeremia beranjak satu kaki dari tempatnya berdiri semula. "Ini lokermu?" tanyanya salah tingkah. Jordan mengangguk. "Yeah." Pemuda itu tersenyum untuk menyembunyikan kegugupannya . Sama seperti Jeremia, jantung Jordan juga berdetak kencang. Well, dia sedang berhadapan dengan gadis yang disukainya. "Maaf, aku tadi..." Jeremia mengibaskan tangan kacau. Sungguh dia tidak tahu harus berkata apa. Berhadapan dengan Jordan membuatnya kacau. Semua kata yang sudah dirancangnya untuk diucapkan pada Jordan buyar seketika. "Yeah aku hanya.. kau tahu..." Jordan mengangguk lagi. "Iya," sahutnya. "Aku tahu." "Sungguh?" "I don't think so." Jawaban ambigu Jordan terdengar lucu di telinga Jeremia. Gadis itu tertawa. Tawa kecil yang membuat Jordan terpesona dan ikut tertawa. "Kurasa kau tidak tahu," ucap Jeremia setelah tawanya reda. "Mungkin." Jordan mengangkat bahu. Senyum masih melekat di bibir merahnya. "Aku Jeremia." Jeremia mengulurkan tangannya. Jeremia tahu rasanya sangat konyol berkenalan setelah beberapa kali mereka 'berpapasan'. Tapi Jeremia rasa dia perlu memperkenalkan diri secara formal. "Aku sudah tahu." Jordan menyambut uluran tangan itu. "Jadi 'sudah tahu' adalah nama aslimu?" Jordan menaikkan alisnya. Otak pintarnya tak berfungsi di depan Jeremia. "Bukankah saat di kelas Miss Graham tadi kau memperkenalkan diri sebagai Jordan Alexiel?" Jordan menunduk sekilas, mengangkat kepala sambil tersenyum dan menggaruk pelipis menggunakan telunjuk tangan kirinya. "Khusus untukmu aku memberitahu nama asliku," jawab Jordan menanggapi lelucon gadis cantik di depannya ini. "Oohh begitu..." Jeremia mengangguk, senyum manis kembali menghiasi bibirnya. "Baiklah kalau begitu, tuan su-dah-ta-hu," ucap Jeremia dengan penekanan di setiap suku kata pada dua kata terakhirnya. Tawa kecil Jeremia kembali pecah setelahnya. Matanya mengawasi Jordan yang tampak berkeringat. "Aku tadi bermain basket sebentar." Jeremia membuang pandangan, menggigit bibir. Merutuk dalam hati, Jordan tahu kalau tadi dia mengawasi pemuda itu. Jeremia menundukkan wajahnya, sedikit tersentak melihat tautan tangan mereka yang belum terlepas. Astaga, kenapa dia bisa tidak sadar? Cepat Jeremia melepaskan jabatan tangan mereka. "Ah maaf." Jordan terkejut dengan gerakan tiba-tiba Jeremia, dan sadar kalau tangan mereka tadi masih saling menjabat. "Maafkan aku, aku..." "Tidak apa-apa," potong Jeremia sambil tersenyum kikuk. Gadis itu menyelipkan anak rambut yang menempel di pipinya ke telinga. "Aku juga salah." Jordan mengerutkan kening. Jeremia mengangguk. Menjilat bibir sebelum kembali bersuara. "By the way, aku tadi mencarimu, tuan sudah tahu." Lawakan Jeremia yang sangat tidak lucu mencairkan suasana yang tadi canggung. Mereka kembali tertawa kecil. "Oh ya?" Jeremia mengangguk. "Kau ada waktu sepulang sekolah nanti?" tanyanya. Jordan mengangkat bahu setelah terlihat serba salah selama beberapa detik. "Entahlah. Kau tahu aku ada janji untuk bertemu dengan Miss Graham sepulang sekolah." Jeremia mengangguk-angguk. Dia sudah tahu Jordan pasti akan menjawab seperti itu. Tapi dia tetap harus mencegahnya. Jordan tidak boleh menemui Miss Graham yang masih sendiri sampai sekarang. Dia takut kalau Miss Graham mengapa-apakan Jordan. "Kau tak boleh menemui Miss Graham!" "Kenapa?" tanya Jordan heran. Alisnya kembali mengerut. Jeremia gugup. Dia juga tidak tahu alasannya kenapa dia melarang Jordan untuk menemui guru galak mereka itu. Benarkah hanya karena dia tak ingin Jordan diapa-apakan saja atau karena alasan lain. Cemburu misalnya. Miss Graham masih sendiri dan tidak memiliki seorang pun yang dekat. Jeremia khawatir kalau Miss Graham menggoda Jordan. Karena dilihat dari gestur tubuhnya saat mengajar tadi sangat ketahuan kalau Miss Graham tertarik pada Jordan. "A-aku tidak tahu," jawab Jeremia terbata. "Aku mohon, don't." "Tapi aku sudah berjanji untuk bertemu sepulang sekolah nanti." "Aku tahu tapi kau bisa membatalkannya." "Aku tidak bisa," ucap Jordan menyesal. "Aku harus bertemu dengan Miss Graham sepulang sekolah nanti." Jeremia menggeleng. Jordan ternyata sangat keras kepala. "Jangan menemuinya kalau kau hanya ingin menolongku." Akhirnya Jeremia mengatakannya juga. Padahal dia tak ingin, tapi kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia tak peduli kalau Jordan menilainya terlalu percaya diri, dia hanya tak ingin berhutang budi kalau memang benar Jordan menolongnya. "Aku mohon..." Jeremia menatap Jordan dengan tatapan seekor anak anjing. Jordan tersenyum. "Maaf, tapi aku akan tetap menemui Miss Graham. Ada beberapa hal tentang pelajaran yang ingin kutanyakan. Jadi, kalau merasa tak enak karena berpikir tadi pagi aku hanya ingin menolongmu, buang saja pikiran itu." Jeremia menggeleng lagi. "Bukan hanya karena itu. Ada alasan lain lagi." "Dan kutebak kau tidak bisa mengatakan alasan lain itu." Jordan bersedekap. Menyenderkan bahu kirinya pada loker. Jeremia meringis kemudian mengangguk. Senyum kembali menghiasi bibir Jordan. Sekarang bahkan Jordan tertawa kecil melihat Jeremia yang tampak serba salah. Sangat menggemaskan di matanya. "Dengar..." Jordan menjilat bibir. "Anggap saja pertolonganku tadi pagi sebagai permintaan maaf karena aku sudah menabrakmu dua hari yang lalu. Bagaimana?" Jeremia tampak berpikir. Dahi putihnya berkerut. "Tapi kau tak sengaja menabrakku kan?" tanyanya setelah diam berpikir beberapa saat. "Yeah." Jordan mengangguk. "Tentu saja. Waktu itu aku terburu-buru mencari kantor kepala sekolah. Aku harus melapor secepatnya." Jordan meringis. Sangat memalukan kalau mengingat peristiwa itu. Meskipun tidak sengaja tetap saja. Bertabrakan di tengah orang banyak bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Jeremia mengangguk. "Aku mengerti," ucapnya. "Itu bukan salahmu." "Aku juga tidak mengatakan kalau itu salahku." Jeremia menatap Jordan cepat. Matanya memicing. "Apa?" tanya Jordan pura-pura tak paham. "Aku benar kan?" Jeremia memukul lengan Jordan pelan. Tak terima dengan perkataan pemuda itu yang berpura-pura polos. "Hei, aku hanya mengatakan yang sebenarnya." Jordan tertawa kecil. Menghindar ketika Jeremia memukul lengannya lagi. "Kau sangat tidak lucu!" ketus Jeremia. Gadis itu cemberut. "Baiklah." Jordan menghentikan tawanya. Pemuda itu mati-matian menahan tangannya agar tidak mencubit pipi yang menggembung itu. "Aku minta maaf karena sudah menabrakmu dua hari yang lalu." "Apa kau tulus meminta maaf?" tanya Jeremia menyelidik. Sebelah alisnya terangkat. "Tentu saja." Jordan mengangguk. Kembali menyenderkan bahu kirinya di loker. "Aku sungguh-sungguh minta maaf." "Hm?" "Kejadian itu sangat memalukan bagiku asal kau tahu." Alis Jeremia terangkat sebelah lagi. "Maksudmu?" tanyanya. Jordan buru-buru meralat ucapannya mendengar nada tak sedap dari pertanyaan Jeremia. "Maksudku..." Jordan menjilat bibirnya yang terasa kering. Tatapan mata biru Jeremia menghunjamnya. "Aku menabrakmu di hari pertamaku sekolah di sini. Itu sangat memalukan untukku, karena sebagai siswa baru tak seharusnya aku melakukan kesalahan di hari pertama aku di sekolah baru." Bibir peach jeremia mengerucut mendengar penjelasan panjang-lebar Jordan. Dia sudah salah paham, dia tadi mengira Jordan menganggapnya memalukan. Oh ayolah, Jeremia itu ratu di sekolah ini. Semua orang mengenalnya, semua orang ingin bertabrakan dengannya. Dan Jordan mengatakan dia memalukan? Are you kidding me? "Maaf." Sekali lagi kata maaf terlontar dari mulut Jordan. Sekali lagi Jeremia mendengar kata maaf dari bibir merah pemuda itu. Membuat Jeremia bertanya dalam hati, apakah Jordan sangat merasa bersalah padanya sampai-sampai Jordan selalu mengucapkan kata itu. "Sungguh.. aku..." "Aku tahu," potong Jeremia. Tak ingin keadaan menjadi lebih canggung lagi, Jeremia tersenyum. "Dan aku memaafkanmu." "Sungguh?" Jordan membenarkan posisinya. Sekarang Jordan berdiri tegak di depan Jeremia. Dan Jordan baru menyadari kalau Jeremia hanya sebatas dadanya saja. Benar-benar mungil. "Maksudku, kau benar-benar memaafkanmu?" Jeremia mengangguk, masih mempertahankan senyumnya. "Tentu saja," jawabnya. "Semua itu bukan kesalahanmu saja. Aku juga bersalah. Aku tidak melihatmu." "Sungguh kau tidak melihatku?" Mata biru Jordan membulat. "Padahal aku sebesar ini lho." Jordan mengangkat tangan sebatas kepala, mengukur tinggi badannya. Jeremia yang mengerti kalau Jordan menggodanya kembali menggembungkan pipi. "Lawakanmu sangat lucu." Jeremia menyipitkan mata. Mengangkat tangannya memukul bahu lebar Jordan yang terlihat sangat nyaman untuk disenderi. Eh, apa tadi? Jeremia menggeleng pelan. Pipinya terasa memanas. Jeremia membuang pandangan, tak ingin Jordan melihat pipinya yang sudah pasti merona. "Aku memang tidak pintar melawak." Jordan menyugar rambut pirangnya. "Maafkan aku ya, mungil." Jordan tersenyum, mengusap pucuk kepala Jeremia. "Hei!" Jeremia menggeliat, menjauhkan tangan Jordan dari kepalanya. Jeremia mendongak, membelalak garang menatap Jordan. "Aku tidak mungil!" protesnya. "Hanya kau saja yang terlalu besar." Bibir Jeremia mengerucut. Memang, di depan Jordan, Jeremia merasa kalau dirinya sangat mungil. Berbanding terbalik dengan Jordan yang bertubuh besar, seperti raksasa saja. Jordan itu seperti model majalah. Tampan, berotot dan... Jeremia menggigit bibir, dia memang belum melihatnya. Tapi Jeremia yakin, dibalik kaos yang dikenakannya itu terdapat pahatan enam kotak di perut Jordan. "Baiklah, kau tidak mungil. Hanya sedikit..." Jordan tidak melanjutkan ucapannya. Pemuda itu terkekeh kecil. Dan kekehan kecilnya berubah menjadi tawa saat melihat pipi Jeremia menggembung. "Terserah kau, raksasa!" Tawa Jordan semakin lebar mendengarnya. "Yang penting kau membatalkan niatmu untuk bertemu Miss Graham nanti." Jordan mengangkat bahu. "Entahlah," ucapnya. "Aku..." Ucapan Jordan terhenti. Bel masuk kelas berbunyi. Cepat Jordan membuka lokernya. Dia harus mengganti kaosnya yang basah. Atau sudah kering sekarang. "Well, sampai jumpa nanti." Jeremia melambai, setelahnya bergegas menuju tangga. Dia ada kelas kimia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD