"Nad..."
"Nadine harus ke Shere!"
Ditya bisa menangkap kepanikan yang dirasakan Nadine. Kegelisahan gadis itu terasa begitu pekat. Nadine memasukkan ponselnya ke dalam handbag yang dibawanya. Mengenakan scarf dan long sweater yang tadi dilepaskannya begitu masuk ke mobil Ditya. Ditya meraih tangan kanan Nadine, menggenggamnya hangat, membuat Nadine mengalihkan pandangannya – menatap Ditya lekat.
"Dia butuh waktu, Nad."
"Nathan ga akan datang ke Vienna, Ditya. Tadi Nathan bohong," lirih Nadine, sendu.
Ditya mendengus.
"I know," ujarnya seraya menatap lekat kedua netra pekat milik Nadine.
Nadine tergugu. Air matanya mulai mengalir karena ucapan Ditya. Sungguh ia ingin ada orang yang menyangkal prasangkanya.
"Ditya tau, dan Ditya ngelarang Nadine menemui Nathan? Ditya pikir Ditya siapa? Setelah apa yang terjadi pada Ditya, Nadine pikir Ditya bisa mengerti apa yang Nadine rasa!"
Ditya masih menatap Nadine lekat. Genggamannya di pergelangan tangan Nadine tak ia longgarkan.
"Rossie yang mengambil Nathan dari Nadine! Nathan yang selalu meyakinkan Nadine bahwa Nathan akan kembali pada Nadine. Nathan memilih Nadine!"
Ditya tetap tak bersuara, ia menarik tubuh Nadine, membawanya dalam rengkuhannya. Membiarkan Nadine menangis pilu. Ditya paham, dalam situasi seperti ini, tak ada satu kalimatpun yang mampu menghibur Nadine. Ditya pernah di posisinya, denial, menampik semua pertanda bahwa ia telah kalah telak, memilih hidup dalam dunia ilusi yang dulu diciptakan Viona – bahwa Viona mencintainya, bahwa selalu dirinyalah tempat Viona kembali, bahwa tak akan ada yang mampu mencintai Viona sepertinya, bahwa pada akhirnya Viona akan memilih bersamanya. Halusinasi dan kebohongan, ya semuanya hanya halusinasi dan kebohongan.
Begitu isakan Nadine mulai menghilang dan gadis itu lebih tenang dalam pelukannya, Ditya mengambil ponsel yang ia letakkan di dashboard mobilnya, men-dial nomor Wisnu, lalu menunggu sang Ayah menjawab panggilannya.
"Ya."
"Dad, Daddy keberatan ga kalau Ditya solo trip?"
"Mendadak banget, nak?"
"Mmm..."
"Ada masalah?"
"Mau nemenin Nadine aja."
"Itu sih bukan solo trip!"
Ditya terkekeh mendengar penyangkalan Wisnu.
"Sekalian mau ketemu Granny dulu. Kan belum pernah ketemu, selama ini komunikasi dan tawar menawar via video call aja."
"Lalu?"
"Main ke Hallstatt."
"Ooooh..." sinis Wisnu.
"Sendiri kok kalau Nadine ga mau. Café-nya juga udah lumayan lama ga buka. Kalau Nadine mau ikut ya baru batal solo trip-nya."
"Jadinya romance trip?"
Nadine terkekeh di d**a Ditya mendengar ocehan Wisnu.
"Daddy nih kadang bawelnya kayak cewek!"
"Daddy bawel aja kamu mengenaskan begini! Apalagi Daddy ga bawel?"
"Iya, nanti pulang bawa cewek Hallstatt deh biar ga menyedihkan lagi."
"Udah meluk-meluk anak gadis orang masih mau nyari cewek Hallstatt?" sindir Wisnu lagi.
Ditya mendehem, salah tingkah dengan pertanyaan Wisnu. Sementara Nadine mendongakkan wajahnya, menatap Ditya bingung.
"Jadi diijinin ga, Dad?"
"Lima hari, ga lebih."
"Kalau lebih?"
"Dicoret dari daftar ahli waris!"
"Astaghfirullah."
"Giliran harta aja istighfar!"
"Ya udah, Ditya berangkat ya, Dad. Nanti Ditya infoin posisi parkir, minta tolong Widi yang ambil ke sini oke Dad?"
"Oke. Hati-hati, nak."
"Ok. Love you, Dad!"
"Love you, boy."
Ditya menatap Nadine yang menarik diri dari pelukannya, mengatupkan bibirnya, mendelik, isyarat agar Nadine memahami ocehan Wisnu tadi.
"Ga apa-apa," ujar Nadine.
"Ditya biasa bilang sayang gitu ya ke Om?"
"Iya. Kenapa emangnya?"
"Ga biasa aja. Apalagi Ditya cowok."
"Apalagi Daddy garang, Mommy orang batak. Makin aneh kan?" ujar Ditya seraya terkekeh geli.
"Oh, Tante orang batak?"
"Iya. Dan logatnya batak banget, kalau Daddy lagi kesal suka nyolotin Mommy 'inang-inang!'."
Nadine ikut terkekeh mendengar cerita Ditya.
"Tapi dari kecil mereka membiasakan kami ngungkapin kasih sayang."
"Kayak bilang sayang sebelum nutup telpon?"
Ditya mengangguk.
"Mommy manggil aku 'amang', manggil Widi 'inang'. Kamu tau artinya?"
"Tau... panggilan sayang yang lembut banget itu."
Ditya tersenyum seraya mengangguk, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke layar ponsel.
"Sebentar aku cek dulu bisa dapet penerbangan yang sama dengan kamu ga ya..."
"Ditya..."
"Coba aku lihat nomor penerbangan kamu, Nad."
Nadine mengulurkan e-ticket yang sudah di-printnya. Memberikannya pada Ditya.
"Oh, ada nih, masih ada beberapa seat kosong. Tapi yang terdekat sama kamu beda beberapa baris, Nad. Ga apa-apa ya?"
"Ditya..."
Ditya pura-pura tak mendengar. Ia fokus saja memesan tiket dari ponselnya.
"Ok. Selesai. Yuk kita check in sekarang."
"Ditya..."
"Nad, dengar! Kalaupun kamu pergi sekarang, masalah kamu ga akan selesai. Kamu pun butuh waktu memikirkan segalanya. Kalau nanti kamu sudah tenang dan tau apa keputusan terbaik yang mau kamu ambil, baru kamu temui Nathan.”
"Kalau sekarang kamu menemui dia, kalian hanya akan bertengkar, bahkan mungkin berpisah dengan tidak baik-baik. Dan itu akan menjadi penyesalan kamu nantinya," lanjut Ditya lagi.
"Tapi..."
Ditya mematikan mesin mobilnya, mengambil paspor di laci dashboard dan memasukkan ke dalam sling bag-nya, membuka pintu mobil, memakai jaket kulit yang tadi disampirkannya di sandaran kursi, menyilangkan sling bag di depan dadanya, lalu beranjak ke bagasi mobil – menurunkan koper Nadine dan koper kecil miliknya yang berisi cadangan baju yang selalu Ditya siapkan jikalau ia tiba-tiba harus melakukan perjalanan seperti ini.
"Yuk, Nad," ajak Ditya lembut setelah membuka pintu mobil di samping Nadine.
Nadine mendengus, ia tahu apa yang tadi Ditya katakan benar adanya. Belakangan sikap Nathan memang semakin dingin, cenderung menghindar jika Nadine ingin membicarakan kelanjutan hubungan mereka.
Nadine akhirnya menggerakkan kakinya, turun dari mobil, mengikuti langkah kaki Ditya masuk ke bandara.
***
Setelah sekitar dua jam di udara, akhirnya pesawat yang membawa keduanya tiba di Vienna International Airport. Karena tak ada di antara mereka yang menunggu bagasi, Ditya dan Nadine langsung melangkahkan kakinya keluar dari bandara.
"Kita langsung ke Landstraße? Atau Ditya ada yang mau dikunjungi dulu?"
"Langsung aja, Nad. Nanti temenin aku cari hotel dulu ya? Atau aku cek online aja?"
"Langsung ke hotelnya aja, biar ga jauh dari tempat Nadine."
"Ok."
"Ditya mau hotel yang gimana?"
"Yang simple aja, Nad. Minimalis, murah meriah."
Nadine terkekeh.
"Kok ketawa?"
"Ya kirain mau hotel yang mewah atau boutique hotel gitu."
"Nanti aja sama isteri aku, biar ga usah keluar-keluar kamar."
"Iiiish dasar cowok!"
Kali ini Ditya yang terkekeh.
Dua puluh menit menumpang sebuah taksi, kini keduanya sampai di depan sebuat hotel di Landstraße. Hotel itu berada tak jauh dari sebuah taman besar yang begitu indah. Gedung hotel menjulang tinggi dengan gaya modern yang didominasi warna putih di setiap sisi bangunan. Ditya melangkahkan kaki, hendak masuk ke dalam lobby, tetapi langkahnya terhenti kala tak mendengar langkah Nadine mengiringinya. Nadine justru terlihat tertegun menatap hamparan hijau di depan hotel tersebut.
"Nadine?" tegur Ditya.
"Ya?"
Ditya kembali melangkah mendekati Nadine.
"Tunggu aku di dalam aja. Nanti aku taruh koper dulu, abis itu kita makan, aku lapar."
"Oke... Ditya mau makan apa?"
"Di resto hotel aja."
"Lho kenapa? Di sini banyak yang enak-enak."
"Kebiasaanku kalau trip. Begitu sampai, makan dulu di resto hotelnya. Habis itu baru muter-muter."
"Oh."
"Aku traktir."
"Ngga ah. Split bill aja," ujar Nadine.
Ditya menggeleng.
"Yang sekarang aku yang bayar. Nanti makan malam kamu bawa aku ke tempat yang enak. Kamu yang traktir," usul Ditya.
"Ok."
Karena paksaan Ditya, Nadine pun akhirnya mengekorinya ke kamar hotel yang Ditya pesan. Nadine duduk di atas single sofa berwarna teal di samping jendela kamar. Pandangannya tertuju pada keindahan pemandangan nan hijau yang terhampar bak permadani di hadapannya.
"Koper kamu taruh di sini dulu aja, Nad. Nanti habis makan kita ambil lagi."
"Ih bolak balik."
"Emang mau kemana sih? Buru-buru? Atau ga nyaman sama aku?"
Nadine mendengus.
"Bukan itu..." lirihnya.
"Kenapa?"
Nadine hanya menggeleng pelan.
"Takut aku naksir?" tanya Ditya seraya mendudukkan dirinya di single sofa berhadapan dengan Nadine. Sebenarnya Ditya hanya jahil menanyakan itu. Bukan pertanyaan yang perlu dibahas, apalagi dijawab.
"Mana mau Ditya sama Nadine."
Ditya mengerutkan keningnya. Menatap Nadine lekat.
"Nadine kacau ya Ditya?"
"Aku pun ga kalah kacau, Nad," kekeh Ditya.
"Tapi Ditya kelihatan baik-baik saja."
"Ada yang bilang, cowok agak lama mencerna kehilangan. Aku ga baik-baik aja, Nad. Tapi aku berusaha. Berusaha menerima yang sudah terjadi."
"Ditya masih cinta Viona?"
Ditya terkekeh kembali mendengar pertanyaan Nadine.
"Entahlah."
"Kenapa?"
"Mungkin karena sudah dua mingguan kami ga ketemu."
"Jadi Ditya ngajak Nadine pergi supaya ga ketemu Nathan?"
"Iya, kayak yang aku bilang tadi, kalian perlu space, untuk berfikir."
"Nadine tau Rossie sakit apa?" tanya Ditya lagi.
"Jantung," jawab Nadine pelan.
"Autoimun," koreksi Ditya.
Nadine menolehkan wajahnya dari menatap taman di hadapannya, kini menatap Ditya lekat. Ditya bisa menerka, Nadine tak tahu apa yang sebenarnya diderita Rossie.
"Dulu Rossie pernah cerita, sejak lulus SMA dia keluar dari rumah. Sekitar tingkat dua, mereka mulai tinggal berdua. Dan hubungan mereka less conflict, Nathan dan Rossie bukan tipe yang frontal ketika marah. Dan begitu lulus, mereka kerja. Satu ketika Rossie sakit di kantor, ga bisa bangun."
Nadine masih menatap Ditya, tanpa suara.
"Rossie didiagnosa autoimun setelah melalui beberapa pemeriksaan. Stage-nya agak berat. Waktu itu yang duluan kena syaraf kakinya. Rossie masih kerja, masih ngajar waktu itu, walaupun pakai kursi roda."
"Ternyata pengobatan yang dia jalani nyaris ga memberikan hasil. Rossie nyaris lumpuh, jantungnya pun ikut melemah, juga beberapa organnya seperti fungsi ginjal ikut turun," lanjut Ditya lagi.
"Lalu?"
"Ada rumah sakit yang ngadain uji klinis untuk penderita autoimun. Waktu itu, Rossie ga berani cerita tentang kondisinya ke Nathan. Saat tau Rossie autoimun aja Nathan panik katanya, apalagi kalau tau kondisinya yang terus menurun sampai di acc untuk ikut uji klinis. Itulah akhirnya Rossie pergi begitu aja."
"Jadi Nathan bohongin Nadine soal sakit Rossie?"
"Ga salah juga sih kalau Nathan bilang jantung. Karena stage lanjutnya salah satunya merusak jantung."
Nadine terdiam. Nathan tak pernah menceritakan kondisi Rossie yang separah itu.
"Waktu Nathan mau jadi wali Rossie, Nathan bilang apa ke kamu?"
"Rossie lagi jalanin pengobatan, dan perlu wali. Keluarganya jauh, ga bisa dampingin."
"Keluarganya ngebuang dia, Nad. Itu cerita Rossie ke aku. Aku ga tau masalahnya, tapi itu alasan Rossie keluar dari rumahnya begitu diterima kuliah. Untuk makan sehari-hari itu Rossie melukis. Dia tinggal di asrama selama setahun, tahun kedua kuliah dia mengiyakan ajakan Nathan untuk tinggal bersama."
"Dan waktu Rossie datang ke sini, itu karena Rossie daftarin diri untuk jadi sukarelawan uji klinis. Uji klinisnya diperkirakan setahun. Waktu itu kondisinya udah semakin berat. Dokter bilang batasnya Rossie paling hanya enam bulan. Ternyata Rossie bisa menyelesaikan uji klinis itu, dan masih ada sampai sekarang," jelas Ditya lagi.
"Obatnya berhasil?"
"Ngga."
"Hah?"
"Ngga, Nad. Kondisi Rossie masih begitu-begitu aja. Bahkan perlahan menurun. Mungkin karena Nathan di sampingnya..."
"Dia berusaha hidup lebih lama," lirih Nadine.
Ditya terdiam. Tak ada yang salah dari perkataan Nadine kan?
"So, this is the end."
"Nad..."
"Nathan ga pernah mencintai Nadine."
"Aku rasa dia mencintaimu, saat Rossie pergi. Dari cerita Rossie dulu waktu kami masih kerja bersama, Nathan bukan orang yang mudah untuk mengungkapkan perasaan dia. Jadi ketika memilih seseorang, artinya Nathan memiliki perasaan yang dalam untuk orang itu."
"Maksud Ditya?"
"Nad, sekarang kamu yang harus menentukan pilihan. Kemungkinan Rossie bertahan hampir ga ada, tapi kapan Rossie akan pergi, kita ga ada yang tau. Apa kamu mau menunggu? Apa ini yang kamu mau, Nad? Mungkin aja kamu akan melewatkan banyak kesempatan untuk lebih bahagia selagi menunggu Nathan."
Nadine menggeleng pelan. Lagi-lagi air matanya kembali turun.
'Happier without him? Bullshit!'
"Dan pada akhirnya, apa Nathan benar-benar akan kembali?" lirih Ditya, pelan.