Ken mencoba untuk membangunkan Cindy sekali lagi dengan menepuk lengannya.
“Kak, Kak. Bangunlah. Sudah sore,” serunya dengan suara yang tidak terlalu kencang.
Untuk kali ini, Cindy bergerak dan mendengar seruan adiknya. Ia duduk tegak perlahan dan mulai membuka matanya, serta menggerakkan tubuhnya ke kiri dan kanan sambil menguap lebar.
“Pukul berapa sekarang, Ken?” tanyanya sambil terus menguap.
“Pukul lima sore. Aku buatkan misoa, apa kakak mau?” tanya Ken seraya bangkit berdiri.
“Mau, kalau begitu Kakak mandi dulu ya.” Cindy ikut bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumahnya mengikuti langkah kaki Ken.
Ken masuk ke dalam dapur dan mulai bersiap untuk menyiapkan makan malam seadanya, sementara Cindy masuk ke dalam kamar mandi setelah sebelumnya mengambil handuk yang terletak di teras belakang ketika masuk ke dalam rumah tadi.
Gadis cantik berlesung pipi itu mulai bersiap-siap dengan cepat. Saat itu, sebuah pesan dari Jack masuk ke dalam ponsel-nya.
“Pucca, apa kau dan adikmu sudah makan? Sebentar lagi jam makan malam, jika kau belum makan, aku akan membelikanmu makanan,” tulis Jack pada pesan singkatnya.
Beberapa saat kemudian, gadis itu keluar dari kamar mandi dan bergegas masuk ke dalam kamar tidurnya setelah menutup rapat pintunya. Ia mengambil satu set pakaian yang terdiri dari celana panjang jeans berwarna gelap serta kemeja lengan pendek berwarna merah muda.
Setelah memakai pakaiannya, lalu ia pun merapikan rambutnya yang masih setengah basah. Untuk sore itu, ia sengaja membiarkan rambutnya tergerai. Untuk mempercantik rambut hitamnya yang panjang, ia menyelipkan jepit rambut berbentuk bulat dan berwarna merah muda.
Sambil memasukkan barang bawaannya ke dalam tas, Cindy meraih ponsel-nya yang terletak di atas meja belajarnya, lalu membuka pesan dari Jack.
“Ken sedang membuatkan makanan untukku. Terima kasih atas tawaranmu. Aku akan pergi melamar kerja sore ini, jadi jangan menghubungiku,” balas Cindy.
Tidak lama kemudian, pesan balasan dari Jack pun kembali masuk.
“Melamar kerja? Di mana? Dari mana kau dapat lowongan pekerjaan itu?” tanya Jack penuh rasa ingin tahu.
“Dari bibi dan sepupuku. Sepupuku akan ikut bekerja juga di sana, jadi aku tidak akan sendirian. Kalau tidak salah namanya Klub Dragonfly,” balasnya lagi.
“Hah? Klub? Apa kau yakin? Bekerja sebagai apa?” tanya Jack lagi.
Baru saja Cindy hendak membalas, tiba-tiba Ken memanggilnya dari arah meja makan.
“Kak, ayo makan malam dulu sebelum pergi,” serunya.
Lantas, Cindy memasukkan ponsel-nya ke dalam tas dan berjalan keluar dari kamar tidurnya. Gadis cantik berlesung pipi itu berjalan menghampiri sang adik dan duduk di kursi yang berada di sampingnya.
“Harum sekali masakanmu. Kakak tidak menyangka jika kau dapat memasak seharum ini,” pujinya pada sang adik.
“Di klub buku kami sering mengadakan acara memasak, jadi hal seperti ini sudah biasa,” jawab Ken.
“Kakak makan dulu ya sebelum bibi datang.”
“Ayo, Kak. Coba cicipi dan sampaikan pendapatmu.”
Cindy memasukkan satu sendok misoa ke dalam mulutnya dan dari raut wajahnya gadis itu tampak menikmati masakan Ken. Seulas senyum pun terukir di bibir, matanya sedikit menyipit kala tersenyum. Lalu, setelah ia mengunyah makanannya, ia pun berkata, “Enak, misoa buatanmu sangat enak. Lain kali buatkan satu seperti ini lagi ya.”
“Yeay, Habiskan makananmu cepat, Kak.”
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Ken berdiri dari kursinya dan berjalan menuju ke pintu masuk. Diputarnya kunci ke arah berlainan searah jarum jam, lalu kenop pintu ditekan ke arah bawah dan pintu ditarik ke arah dalam. Terlihatlah Bibi Wei dan Andy berdiri di ambang pintu.
“Sore, Bi dan Kak Andy. Silahkan masuk,” sapa Ken seraya mempersilahkan Bibi Wei dan Andy masuk ke dalam.
Keduanya pun bergegas masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi sederhana yang berada di ruang tamu. Lalu, Andy menawarkan minuman kepada mereka, namun tawaran itu ditolak dengan halus oleh keduanya. Kemudian, remaja laki-laki itu masuk ke dalam rumah untuk memeriksa keadaan sang kakak.
Sementara itu, Cindy telah siap. Gadis cantik berlesung pipi itu sedang menutup pintu kamar tidurnya saat Ken datang mendekat padanya.
“Kak, mereka sudah datang,” ujarnya.
“Ya, kalau begitu Kakak pergi dulu ya. Jangan tidur dulu sebelum—“
“Sebelum Kakak kembali. Aku sudah ingat kok,” jawab Ken sambil tersenyum.
Cindy pun tertawa, kemudian gadis itu berjalan keluar menuju ke ruang tamu. Sesampainya di sana, ia pun menyapa Bibi Wei dan Andy.
Saat Cindy menyapanya, Andy cukup tertegun melihat rupa gadis itu malam itu. Pria pemalas itu baru sadar jika ternyata sepupunya itu cantik dan manis. Pikiran serakahnya langsung berjalan dan memenuhi pikiran tidak baiknya. Namun, ia kembali mengingat sosok ayahnya yang tentunya akan membunuhnya jika sesuatu terjadi kepada sepupu cantiknya itu.
“Baiklah, apa kau sudah siap, Cindy?” tanya Bibi Wei.
“Sudah, Bi.”
“Oke, kalau begitu, ayo kita pergi.” Bibi Wei beranjak berdiri dan berjalan menuju ke pintu keluar seraya berseru, “Ken, kami pamit dulu.”
Ken kembali keluar dari dalam rumah dan menjawab sang bibi, “Iya, Bi. Kalian berhati-hatilah.”
Lantas, ketiganya keluar dari kediaman Cindy dan masuk ke dalam taksi yang telah dipesan oleh Andy sebelumnya. Perlahan taksi pun berjalan menjauh meninggalkan area rumah Cindy menuju ke jalan raya.
Di dalam taksi, Andy duduk di samping supir, sementara Bibi Wei dan Cindy duduk di kursi penumpang. Tidak banyak pembicaraan yang terjadi, hanya saja sesekali Andy menoleh ke belakang dan menatap ibunya juga Cindy. Hal itu rupanya sama dengan yang dilakukan oleh Bibi Wei.
Wanita paruh baya itu cukup terkesan dengan penampilan Cindy malam itu. Dia tidak pernah menyangka jika keponakannya ternyata cukup cantik. Seulas senyum penuh kepuasan pun berkembang di bibirnya.
Pikiran Bibi Wei melanglangbuana ke suatu hal, yakni wnaita itu berharap suatu saat dengan kecantikannya, Cindy dapat menarik seorang pria kaya raya. Dengan begitu, dia berharap dapat menikmati harta pria itu, sebab mau tidak mau, dirinya dan Paman Wei adalah wali dari gadis cantik berlesung pipi itu.
Sepanjang perjalanan, ponsel Cindy bergetar, pertanda beberapa pesan singkat masuk ke dalamnya. Tapi, ia mengabaikan semuanya untuk sementara waktu. Kini, fokusnya hanyalah mencari uang demi memenuhi biaya sekolah dirinya dan Ken, serta biaya hidup mereka berdua.
Perasaan tak menentu dan takut menghinggapinya. Sejujurnya, ia sangat takut, tapi tidak ada pilihan lain. Ada beberapa hal yang masih tampak kurang jelas baginya. Untuk mengusir tanda tanya itu, ia pun mencoba bertanya pada sang bibi.
“Bi, bolehkah aku tahu berapa gaji yang bisa kudapat?” tanyanya ingin tahu.
“Cukup besar pastinya, sebab pekerjaanmu ini berbeda dari pekerjaan lainnya, seperti karyawan toko atau supermarket yang digaji kecil. Tapi, gajimu di atas mereka. Apakah aku betul, Andy?” tanya Bibi Wei seraya melirik pada anak laki-lakinya.
To be continued ....