Malam tragedi

1059 Words
“Apa kamu dengar sesuatu?” tanya Anna pada suaminya. Kedua matanya membulat ketika indera pendengarannya mendengar hal yang tidak beres. “Suara ...?” tanya Bram berbalik. Anna menganggukkan kepalanya pelan. “Iya aku mendengar suara berisik yang menggedor jendela tadi,” jawabnya sembari menunjuk ke arah pintu kamar. “Sepertinya jendela di bawah atau jendela di kamar lainnya?” “Tidak ada apa-apa. Itu hanya suara angin yang bertiup dan dahan pohon mengenai jendela,” jawab Bram menenangkan istrinya. “Bagaimana jika ternyata itu adalah suara orang jahat yang ingin berusaha masuk lewat jendela?” tanya Anna sekali lagi. “Tidak sayang ...,” jawab Bram sembari mengusap rambut Anna dengan lembut. “Istirahat saja ... Kamu kelelahan. Mungkin di rumah sakit kamu mendapatkan pasien yang menyebalkan makanya jadi memikirkan hal yang tidak-tidak.” Anna, menarik nafas panjang dan kemudian kembali berusaha tenang. Apa yang dikatakan Bram memang ada benarnya. Tadi saat di rumah sakit, Anna mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari keluarga pasien. Seorang ibu yang anaknya meninggal karena kecelakaan marah-marah pada Anna. Menuduh Anna adalah dokter buruk dan berbuat mal praktik. Hingga anaknya itu keluar dari ruang operasi dan meninggal dunia. Padahal Anna sudah berusaha membantu dan menolong sekuat tenaga pada pasien yang baru saja mengalami kecelakaan itu. Tapi memang takdir berkata lain, pasien pun tidak dapat di tolong. Bram menggenggam tangan Anna. Mengecup punggung tangan Anna dan kemudian tersenyum simpul. “Tidurlah hari sudah malam. Jangan sampai kamu sakit. Besok harus bangun pagi dan kembali berkerja kan ....” Anna menganggukkan kepalanya dan kembali menenggelamkan kepalanya di dalam bantal. Memejamkan matanya perlahan dan kembali tidur. Bram memandangi Anna yang kini sudah menuju alam mimpi. Jari-jarinya perlahan membelai lembut rambut istrinya itu dan setelah memastikan Anna sudah benar-benar terlelap Bram turun dari ranjangnya tapi ternyata Anna belum terlelap betul. Anna mencengkeram lengan Bram, tidak ingin ditinggalkan. “Mau ke mana?” tanyanya lirih. “Jangan tinggalkan aku ....” Bram kembali menoleh dan tersenyum simpul. “Aku ingin mengecek suara gaduh di bawah,” jawabnya. “Bukannya tadi kamu bilang itu adalah suara dahan pohon yang mengenai kaca jendela,” jawab Anna mengingatkan apa yang sudah diucapkan Bram tadi. “Tidak salahnya kan jika aku mengeceknya. Tapi kamu tetap di sin saja, tidak usah ikut ke bawah,” jawab Bram sembari mengambil tongkat pemukul kasti yang ada di sudut kamar. Anna mengerenyitkan dahinya. Ia beranjak dari tidurnya dan kemudian duduk di atas ranjang. Menatap Bram dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kenapa pakai bawa tongkat pemukul kasti?” “Tidak apa-apa ... Aku hanya ingin membawanya saja,” jawab Bram yang berusaha menenangkan perasaan Anna agar tidak ikut cemas. Padahal di dalam hati, sejak tadi ia memikirkan tentang suara tidak wajar yang ada di bawah. “Aku ikut,” kata Anna dengan suara yang sedikit lebih tinggi. Bram langsung menaruh ujung telunjuknya di depan mulutnya. “Stt ... Jangan berisik. Pelankan suaramu,” katanya dengan wajah tegang. “Sudah diam di sini dan peganglah ponselmu. Jika ada hal yang tidak wajar, jangan turun, kunci pintu dan segera telepon kepolisian.” Anna menelan ludahnya. Perasaannya menjadi tidak nyaman. “Mak-masksudnya?” tanyanya lirih. Perasaan di dalam hatinya langsung ikut berubah kalut. “Tidak ada apa-apa ini hanya berjaga-jaga saja. Aku takut jika ada pencuri masuk ke rumah kita. Makanya kamu jangan ikut turun ke bawah. Tetaplah di kamar!” seru Bram memerintah dengan suara lirih. Anna menganggukkan kepalanya mengerti. Bram pun keluar kamar dan menutup pintu perlahan. Berjalan menyusuri koridor yang tidak terlalu panjang dan kemudian menuruni anak-anak tangga dengan perlahan. Berusaha sedemikian rupa agar suara langkah kakinya tidak terdengar. Insting Bram menuju ke arah dapur. Suara gaduh semakin terdengar jelas saat ia sudah amat dekat dengan dapur. Dari celah pintu dapur yang sedikit terbuka, terlihat dua orang pria tidak dikenal memakai topeng ala rampok berwarna hitam. Sepasang mata Bram mendelik dan bola matanya nyaris keluar. Ia ingin menerobos masuk ke dalam dapur dan menghajar dua perampok itu. Tapi ada hal lain yang harus dipikirkannya, yaitu Anna. Lebih baik ia kembali ke kamar dan kemudian menghubungi polisi, pikirnya dan hendak memutar. Tapi saat langkah kakinya ingin memutar dan tubuhnya berbalik. Satu balok besar langsung mengayun tepat di kepalanya. “Braaak!” Ternyata ada satu orang perampok lain yang ternyata menanti di balik belakang punggungnya sejak tadi. Bram langsung tumbang karena balok tersebut. Pandangannya menjadi samar dan berkunang-kunang. Bahkan pemukul kasti yang sejak tadi dipegangnya, malah terjatuh dan direbut oleh pria yang baru saja memukulnya. Pelepis Bram juga langsung robek dan mengalir darah segar. Mendengar suara ribut di balik pintu, dua perampok lainnya yang ada di dalam dapur langsung keluar dan ikut menghajar Bram. Bram ingin kambali bangun dan membalas tapi karena ia dikeroyok, tidak memungkinkan membuatnya melawan. Beberapa pukulan menyerangnya. Hingga Bram tidak bisa lagi bangkit dari jatuhnya itu. Samar-samar salah satu perampok itu mengucapkan satu kalimat yang tidak dimengerti olehnya. “Herman, apa kabar? Apa kamu mulai ingat sekarang?” Perampok yang memakai pakaian berwarna abu-abu itu mencondongkan tubuhnya mendekat pada Bram yang tersungkur tidak berdaya di atas lantai yang dingin. Karena pria itu mendekat, Bram langsung menarik kerah bajunya dan mencengkeramnya. Pria berkaos abu-abu itu dijadikan tumpuan untuk ia berdiri. Lalu dengan siku yang menekan punggung belakang pria tadi, Bram berhasil bangkit dari tumbangnya. Ia pun merampas kembali pemukul kasti miliknya. Dua rekan perampok lainnya terkejut saat melihat Bram kembali bangkit. Tadinya mereka mengira, Bram telah tumbang dan tidak mampu melawan. Tapi nyatanya perkiraan mereka salah. Setelah puas membalas si pria misterius bertopeng yang tadi memukulinya dengan balok, kini giliran dua perampok lainnya yang saat ini sedang menatap nanar ke arah Bram. Kini mereka mulai menyerang Bram. Ada yang memukul dan menendang. Tapi ternyata ilmu bela diri Bram sangat bagus. Bram mampu menangkis dan melawan setiap pukulan yang menyerang ke arahnya. Si perampok yang mengenakan kaos abu-abu yang sudah tumbang tadi ternyata masih bisa bangkit. Dia menyeka darah yang mengalir dari kedua lubang hidungnya. Dan kemudian melirik ke arah pemukul kasti yang kini kembali tergeletak begitu saja di atas lantai. Si parampok berkaos abu-abu itu menatap tajam punggung Bram yang membelakanginya. Dan dengan gerakan cepat ia mengambil pemukul kasti tersebut, lalu mengayunkannya dengan kencang di bagian belakang kepala Bram. “Brak!” Pukulan keras mengenai Bram. Ia kembali terhuyung dan jatuh kembali ke permukaan lantai yang dingin. Pandangannya langsung gelap dan kemudian ia tidak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD