GdL - 02

2206 Words
Bekerja sebagai salah satu pendidik di sekolah dasar—Rania Larasati menjalani hari-harinya seolah tanpa beban. Meski kadang melelahkan, ia tetap ingin menunjukkan pada dunia bahwa dirinya baik-baik saja. Seperti siang ini, seusai mengisi jam pelajaran di kelasnya sendiri. Laras memberikan jam tambahan di kelas enam yang sebentar lagi akan menjalani ujian. Sebenarnya itu bukan tugas Laras. Ia hanya menggantikan guru tambahan kelas enam yang tengah cuti karena hamil tua. Menikmati semilirnya angin yang berasal dari kipas angin yang ia nyalakan di kamarnya ini. Laras sesekali mengecek ponselnya. Siapa tahu ada kabar dari sang adik tiri yang merantau di kota orang.  Dan, benar saja. Saat hendak meletakkan ponselnya, tiba-tiba ponsel itu sudah lebih dulu berbunyi nyaring. Sederet nomor dan nama pemanggil yang ditunggunya akhirnya muncul juga siang ini. “..gimana Kak, sudah sampai barang yang kukirim?” “Kamu ngirim apa, Fandy?” “Adalah.. paling juga hari ini sudah sampai!” “Terima kasih ya, Dy. Semoga rezeki kamu lancar terus di sana.” “Aamiin, Kak. Makasih juga, aku titip Ibu.” Laras hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah laku sang adik tiri yang kini sudah bekerja di Jakarta. Ia tidak pernah memberi kabar pada Laras apabila hendak mengirimkan sebuah barang padanya. Kebiasaan sang adik kerap membuat Laras terharu karena merasa begitu disayangi oleh adik laki-lakinya itu. Ya, meski pun keduanya tidak terikat hubungan darah—tetap saja. Rasanya Fandy sudah Laras anggap seperti adik kandungnya sendiri. Beberapa tahun yang lalu, ibu Laras meninggal dunia karena sakit kanker yang dideritanya. Hingga pada akhirnya ayah Larasa menikah lagi dengan seorang wanita yang berstatus janda beranak satu yang juga telah tumbuh dewasa. Selisih dua tahun dengan Laras, namun ia sangat pandai mencari peluang dalam pekerjaan. Hingga di usianya yang masih muda—Fandy tidak seperti kebanyakan anak-anak muda lainnya yang suka menongkrong hingga pagi sana-sini, ia bekerja. Merantau di Jakarta untuk tabungan hidup ke depannya dan juga sesekali mengirim uang untuk ibunya di Surakarta. Tak jarang pula mengirimi barang pada sang kakak tiri—Larasati. Karena merasa kehausan, Laras pun berinisiatif untuk menuju dapur dan mencari minuman dingin di kulkas. Kota Surakarta panas sekali siang-siang seperti ini. Dengan dikawal seekor kucing kesayangannya—Momo, Laras berjalan sedikit tergesa-gesa ke dapur. Ia ingin segera meneguk kenikmatan surga dunia, mungkin ibunya juga menyediakan air kelapa muda di sana. Ah, pasti segar sekali! “PERMISI!! PAKETTT!!” Seruan itu diselingi dengan suara yang Laras yakini suara gerbang rumahnya yang dipukul dengan pengunci gerbang tersebut. Senyum sumringah Laras pun tercetak. Rasa haus pun seakan tertunda. Laras masih diikuti Momo pun menuju pintu utama rumahnya dan keluar untuk segera menerima paket dari sang adik tiri yang dikirim melalui perantara kurir itu. Rumahnya sepi siang ini. Mungkin saja sang ibu tengah membantu-bantu di rumah tetangga yang akan melaksanakan hajatan. Sedangkan ayahnya? Bekerja di kantor desa dan belum pulang. Mungkin sebentar lagi pulang. “Atas nama Mbak Rania Larasati?” “Iya, Pak. Saya sendiri.” Pria bermasker hitam dan masih mengenakan helm itu menyerahkan paket barang yang dibawanya pada Laras. “Silahkan tanda tangan di sini, Mbak.” Laras pun langsung menandatangani surat terima dari sang kurir. Seperti kurir-kurir pada umumnya. Namun, satu hal yang berhasil membuat Laras sedikit terkejut adalah mata serta alis tebalnya yang sangat mirip dengan seseorang yang selama ini belum bisa membuat Laras melupakannya. Gardapati. “Tunggu, Pak.” “I—iya Mbak?” “Ah..tidak jadi. Terima kasih, Pak.” Kemudian sang kurir pun mengangguk. Baru saja sang kurir naik ke atas motornya lagi. Laras semakin yakin saja bahwa kurir itu merupakan pria yang dikenalnya. Dengan keberaniannya Laras berdiri di samping sang kurir. Tak peduli bila setelah ini ia salah orang. “K—kamu Mas Garda ‘kan?” “G—garda siapa Mbak? Saya nggak kenal! Sudah dulu ya Mbak, saya buru-buru—“ “KAMU GARDAPATI. Apa kabar, Mas Garda?” Laras semakin yakin dengan apa yang diterkanya, buktinya..pria ini salah tingkah seketika saat Laras mengenalinya. Jujur saja, Laras sangat senang bertemu dengan Garda. Ia tak menyangka bahwa Garda menjadi seorang kurir antar barang sekarang ini. Benar-benar pekerjaan yang sangat mulia. Menyerah karena penyamarannya ternyata masih juga dikenali oleh Laras. Garda pun melepaskan helmnya dan menurunkan masker hitam yang dikenakannya. Ia menoleh pada Laras dengan tatapan dinginnya. “Ternyata kamu masih sangat hafal dengan mata saya?” “Hmm..” Laras mengangguk dan tersenyum lebar. Ia pun mengulurkan tangannya sebagai tanda berjumpa kembali setelah sekian lama tidak pernah bertemu. “……” Garda tak mengerti dengan maksud Laras. Ia hanya menaikkan sebelah alisnya tanpa mau menyambut uluran tangan Laras. Namun dengan gerakan cepat dan niat positifnya. Laras pun menyalimi tangan Garda yang masih setia memegang stir motor itu. “Lama nggak ketemu. Gimana kabar kamu, Mas?” Mas? Panggilan yang memang selalu Laras berikan untuk Garda mengingat keduanya dahulu merupakan kakak dan adik kelas. Sudah jelas, usia Garda lebih tua di atas Laras. “Ya gini-gini aja. Seperti yang kamu lihat. Iya, saya kurir antar barang. Beda sama kamu yang sudah menjadi guru sekolah.” Laras tak sadar dengan seragam keki yang masih dikenakannya itu. Sehingga Garda dengan mudahnya mengetahui profesinya saat ini. Dengan senyum tulusnya Laras menanggapi ucapan Garda barusan. “Mas, semua pekerjaan itu sama saja. Selagi halal ya dijalani saja. Lagi pula, tetap sawang-sinawang¬ Mas. Yang menurut Mas baik, belum tentu kenyataannya begitu.” “Terserahmulah. Ekhm! Ngajar di mana?” “Saya mengajar di SD 1 Bangun Negeri, Mas.” Meski pun sedikit terkejut dengan jawaban Garda. Tetap saja, pria itu berusaha menyembunyikan keterkejutannya. “Ngajar kelas berapa?” tanya Garda lagi. Dengan ragu Laras menjawabnya jujur, “Kelas dua.” Entah mengapa Garda sedetail ini sampai bertanya kelas berapa tempat Laras mengajar. Lagi. Garda menyadari bahwa selama ini keduanya memang sangat dekat. Dan banyak sekali peluang bertemunya apabila memang keduanya sama-sama saling mengetahui. Seperti ini contohnya, Garda yang selama ini kerap mengantar Naomi—anak panti Bu Laila yang masih duduk di bangku kelas dua itu. Ternyata, selama ini Laras-lah yang mengajar Naomi. Astaga..seakan percuma saja menghindar. Akan tetapi, Garda akan diam saja. Tidak mungkin bukan bila ia juga tiba-tiba bercerita tentang anak panti yang sering diantarnya itu. “Baguslah. Mengajar yang benar.” “Pasti. Oh ya, mampir dulu Mas..” tawar Laras pada sang mantan kekasih. “Nggak usah. Saya masih harus mengantar barang-barang ini. Kamu lihat ‘kan masih banyak sekali,” jawab Garda. Sedari tadi memang Garda seolah begitu sensi pada Laras. Apa karena kenangan masa SMA keduanya? Laras sedikit kecewa dengan perlakuan Garda padanya. Ia tak mengharap sebuah pertemuan dengan pria yang sikapnya sudah berbeda 180 derajat ini. Bila memang tidak suka dengan Laras, bukankah sebaiknya Garda tidak begitu kentara menunjukkannya. Benar-benar tidak memiliki perasaan. “Kenapa kamu bengong?” “Nggak apa—“ “Nggak usah kaget. Saya sebenarnya sudah hendak melempar paket ini pada teman saya. Tapi sayang sekali dengan label professional yang selama ini sudah melekat pada diri saya,” jelas Garda dengan sedikit bumbu kebohongan. Hanya anggukan dan senyum tipis yang dilihat oleh Garda. “Saya tahu. Terima kasih, dan maaf kalau ada sikap saya yang tidak mengenakkan di masa lalu. Sepertinya kamu tidak suka sekali dengan saya, Mas.” “……” Sebenarnya bukan tidak suka. Keduanya bahkan masih sama-sama belum bisa move on. Perasaan itu nyata dan masih sangat terasa. Tidak dapat dipungkiri, keduanya berpisah karena keadaan yang membuat Laras semakin hilang percaya pada Garda karena pria itu tampak playboy dan sangat rajin terbar pesona pada siswi lain. Sementara Garda sendiri merasa jika Laras belum paham dengan dirinya. Belum menerima Garda apa adanya. Selagi Garda tidak bermain api di belakang Laras, bukankah itu sudah cukup. Mereka sama-sama terjebak dalam ruang gengsinya masing-masing. Entah sampai kapan bertahan dengan perasaan saling membohongi satu sama lain dan mengubur cinta masing-masing seperti ini.. “Sekali lagi, terima kasih. Selamat bekerja kembali. Permisi..” Akhirnya Laras sendiri yang lebih dulu menjauh dari Garda. Ia masuk kembali melalui pintu gerbang rumahnya yang menjadi saksi di mana perasaannya sangat kecewa dengan sikap Garda yang sensi dan ketus. Sedangkan Garda sendiri tak peduli. Ia kembali mengenakan masker hitam dan juga helmnya. Kemudian mengendarai motornya meninggalkan depan rumah sang mantan. Panas-panas seperti ini bertemu dengan mantan. Semakin terbakar saja perasaannya yang sebelumnya sudah mencak-mencak. Kalau saja tadi Pak Tama tidak mendengar obrolannya dengan Ando. Sudah pasti pertemuannya dengan Laras tidak akan terjadi. Pasalnya, selama ini keduanya memang tidak pernah bertemu. Padahal, keduanya sudah sama-sama saling mengetahui alamat rumah masing-masing. Jarak tujuh kilometer sepertinya bukan alasan untuk sebuah silaturahmi yang tulus. Hanya satu titik masalahnya, gengsi masing-masing. Hal seperti ini memang wajarnya terjadi pada seseorang yang sudah berstatus sebagai mantan kekasih. Namun, tak jarang juga masih banyak yang terjebak berteman dengan mantan kekasih. Bahkan..banyak juga dari mereka yang tidak disangka-sangka juga berjodohnya justru dengan mantan kekasih. Intinya, tergantung pada garis jodoh yang sudah digariskan oleh Tuhan. Mau sebenci bagaimana pun mantanmu, kalau memang kalian berjodoh.. Tuhan akan senantiasa mempertemukan kalian kembali. Di dalam rumah. Laras langsung melanjutkan keinginannya. Semakin haus saja tenggorokannya setelah mengetahui sikap Garda. Ia sampai menghabiskan sebotol air putih dingin yang tersedia di dalam kulkas dengan sekali tegukan. “Ngapain juga tadi aku repot-repot nawarin dia mampir!?” “Malas juga mau kasih dia minum!” “Nyebelin banget sih Mas Garda sekarang tuh!” “Sejak kapan juga dia jadi nggak PD-an gitu?” “Pokoknya, Mas Garda yang sekarang tuh jauh lebih buruk sikapnya!” Cerocos Laras seorang diri itu hanya di dengar oleh Momo—kucing putih yang selama ini dipeliharanya. “Mo, aku salah nggak sih kalau protes sama sikap mantan? Nggak salah ‘kan ya, Mo?” “Meeongg..” Entah apa maksud dari suara Momo barusan. Laras kembali memasuki kamarnya. Setelah berganti baju, kini ia sedang duduk di hadapan paket yang telah dikirimkan oleh sang adik tiri. Ia penasaran dan langsung membuka paket tersebut. Betapa senangnya Laras saat Fandy mengirimkannya sepasang sepatu hitam berhak pendek. Sepatu ini tentu akan Laras gunakan untuk mengajar. Ternyata, curhatannya pada sang ibu yang mengeluhkan masalah sepatu, tersampaikan juga pada Fandy. “Ihh, Ibu. Kan jadi nggak enak sama Fandy..” “Assalamu’alaikum! Ras, sudah pulang? Kok pintu gerbang terbuka..” “Waalaikumsallam. Iya Bu, tadi Laras yang buka. Ada paket untuk laras dari Fandy.” Laras menghampiri sang ibu dan mencium tangan ibunya yang baru saja pulang itu. “Oh sudah sampai paketnya? Cepat sekali..” “Iya Bu.” “Semoga suka ya..” kata Ibu Laras dengan senyum lebarnya. Sang ibu pun menuju dapur, tentu saja Laras mengikuti langkah beliau. “Bu, tapi Laras nggak enak sama Fandy. Ibu juga sih, kenapa ngasih tahu Fandy soal sepatu kerjaku. Padahal besok sore niatnya aku mau beli lhoo Bu.” “Ya baguslah. Paketannya Fandy datang sebelum kamu beli sendiri. Uangmu, ditabung saja.” “Nggak enak sama Fandy, Bu.” “Kenapa nggak enak? Fandy ‘kan adik kamu, wajar dong dia bersikap seperti ini sama kamu. Dia itu kerja hanya untuk keluarga kecil kita. Dan, juga katanya buat tabungan nikahnya nanti.” “Lohh!? Memangnya Fandy mau nikah muda? Mau melangkahi Laras, Bu!?” “Ya nggaklah, Ras. Katanya sih, nunggu kamu nikah dulu.” “Berarti dia sudah ada calon?” Ibu mengangguk. “Sudah. Cantik deh, Ras.” “Kok Laras baru tahu? Kok Fandy nggak cerita sama Laras?” “……” Tak ada jawaban yang keluar dari bibir sang ibu. Beliau hanya menaikkan bahunya tanda tidak mengerti. Laras jadi berpikir, mungkinkah Fandy menghargai statusnya yang masih jomlo. Terlebih Laras merupakan kakaknya. Namun hingga kini Laras belum juga mengenalkan kekasihnya atau bahkan calon suaminya. Ia jadi merasa kasihan pada sang adik. Mungkinkah nantinya Laras bisa lebih dulu menikah dari pada Fandy? Kalau terlalu lama bagi Laras menemukan tambatan hatinya, maka Laras bersedia dilangkahi oleh Fandy. “Jangan banyak melamun, Ras..” “Laras jadi nggak enak sama Fandy, Bu. Kalau memang nantinya Fandy sudah siap menikah, biarlah Laras dilangkahi tidak apa-apa Bu.” “Siapa yang mau melangkahi Laras?” Suara berat itu milik bapak. Sedari tadi bapak sudah mengucapkan salam di depan sana, namun tidak ada yang mendengarnya. Ternyata, kedua wanita yang teramat sangat disayanginya itu tengah saling berbincang serius di dapur. “Ini putri bapak, sudah kepengen menikah sepertinya..” canda Ibu Tiri Laras yang sukses membuat kedua matanya membulat sempurna. “Ibu!!” “Ras, Mas Agung sepertinya cocok sama kamu. Dia sedang menjalani kuliah S2-nya saat ini. Barangkali kamu mau Bapak jodohkan dengan Mas Agung?” “Nggak, Pak. Bapak nggak perlu repot-repot..” “Benaran? Dia anaknya baik hloo, Ras. Bapaknya juga teman bapak di kantor desa.” Senyum bapak membuat Laras merinding. Sebenarnya sih para anak gadis juga tidak akan pernah menolak bila dijodohkan dengan Agung. Ia tampan, mapan, dan juga orang yang berpendidikan. Sungguh sempurna bukan? “Nggak usah, Pak. Nanti juga jodoh Laras datang-datang sendiri,” tolak Laras dengan halus. Ia sendiri tidak yakin Agung mau dengannya yang seperti ini. Wajah cantik yang dimilikinya sepertinya begitu pas-pas-an, sampai sang mantan pun eneg berjumpa dengannya. Dijodohkan? Dikiranya Laras nggak mampu cari jodoh sendiri, Pak. Hmm, oke. Mulai besok dan seterusnya, misi hidup Laras akan bertambah satu yakni mencari jodoh. ***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD