Lulus kuliah dengan nilai di atas rata-rata merupakan sebuah anugerah. Jalan ke depannya pasti tidak akan membuat Garda kesulitan mencari pekerjaan yang cocok dengan yang selama ini ia geluti di bangku perkuliahan. Namun sayangnya, takdir justru membuat Garda jatuh-bangun selama satu tahun belakangan ini. Ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga, kini sudah tidak bisa bekerja lagi di kantornya karena diPHK. Itu semua karena kantor tempat ayah Garda bekerja tengah mengalami penurunan penghasilan, sehingga banyak sekali karyawan di dalamnya yang dipecat massal. Tentu saja dengan pesangon.
Namun apakah pesangon ayah Garda cukup untuk kehidupan mereka seterusnya? Tidak bukan?
Maka dari itu, Garda melupakan mimpinya yang ingin sekali menjadi sekretaris pribadi bos di sebuah perusahaan. Selain gaji besar, incarannya ingin bekerja di dalam ruangan yang dingin ber-AC, terlihat gagah dengan mengenakan jas dan kemeja, dan selalu disibukkan dengan jadwal rapat yang padat. Haha! Tentu akan terlihat sangat keren bukan? Bisalah untuk membalaskan dendam pada mantan yang dahulu berpisah dengannya.
Berbicara soal mantan, seumur hidup seorang Natha Gardapati hanya mempunyai seorang mantan yang agaknya masih membekas di hatinya. Rania Larasati namanya. Cantik dan sangat pintar. Adik kelasnya di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dahulu. Mungkin saat ini Laras juga sudah lulus menjadi seorang sarjana. Terakhir kali Garda mendengar kabar bahwasannya mantannya itu telah lulus kuliah dengan gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan). Mungkin saat ini Laras sudah menjadi tenaga pendidik di sebuah sekolah.
Perpisahan keduanya dahulu memang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang lebih dahulu memutuskan. Keduanya seakan bersama-sama mengungkapkan keinginan mereka untuk berpisah dan tidak ingin lagi melanjutkan perjalanan asmara mereka yang baru berjalan setengah tahun itu. Dengan alasan ketidakcocokan dan Laras selalu menganggap Garda playboy, akhirnya mereka pun berpisah dan tidak pernah lagi bertegur sapa apalagi terlihat bersama!
Setelah putus dengan Laras pun sebenarnya banyak yang berusaha mendekati Garda. Garda pun juga kerap dekat dengan beberapa gadis. Namun hanya sebatas teman dekat atau teman mesra. Entahlah, belum ada yang bisa membuatnya mengutarakan perasaannya seperti yang pernah ia lakukan pada Laras.
“Garda!!”
“…….” Garda masih larut dalam lamunannya sembari membersihkan motornya dari debu jalanan. Ya, seperti inilah rutinitas pagi seorang Garda—kurir ekspedisi.
Bekerja di tempat pengiriman sudah Garda geluti selama satu tahun terakhir ini. Awalnya memang cukup sulit untuk menyesuaikan diri. Terlebih, pekerjaan sebagai kurir ini tidak pernah sama sekali terlintas dalam benak Garda sebelumnya. Ia hanya sedang mengikuti alur yang Tuhan berikan padanya. Motivasinya saat ini ialah, bersusah-susah terlebih dahulu dan menikmati bagaimana rasanya berada di bawah dan merintis karier untuk masa depan. Hitung-hitung..pekerjaannya yang sekarang ini hanyalah sementara. Sampai ia dapat menyisihkan uang sebagai modal usahanya sendiri kelak. Ya, nasib orang tidak ada yang tahu.
Selain itu, Garda juga sudah menjadi tulang punggung keluarga saat ini. Dapur yang mengebul merupakan jerih payahnya sendiri. Inilah saat-saat Garda mengabdi pada kedua orang tuanya. Sembari menunggu sang ayah yang baru saja merintis usaha barunya sebagai penjual nasi goreng pinggir jalan.
Tak jarang, Pak Tama—bos Garda juga turut memberikan beberapa nasihat padanya. Tentang jangan habiskan masa mudamu hanya dengan bersenang-senang. Karena ada masa tua yang menantimu nanti. Pak Tama merupakan panutan Garda saat ini. Usianya yang masih terbilang muda dan belum menikah—bisa berhasil mendirikan sebuah tempat jasa pengiriman barang ekspedisi—Pratama Express.
“Berangkat dulu, Bu..Pak..”
“Hati-hati, Le. Yang amanah,” pesan Ibu yang tidak pernah terlupa setiap paginya selalu saja terdengar oleh Garda. Pesan kecil itu nyatanya mampu membuat Garda menjadi salah seorang kurir yang sudah menjadi kepercayaan bosnya sendiri. Katakanlah, Garda ini merupakan karyawan terbaik di Pratama Express.
Kinerjanya baik, cepat, sudah pasti amanah. Satu komplain pun rasanya Pak Tama belum pernah mendengar ketika barang itu diantar oleh Garda. Kebanyakan para customer justru puas dengan kinerja Garda.
Sampai di kantor Pratama Express pun Garda selalu disuguhi dengan pemandangan rekan-rekannya yang tengah mengopi pagi itu. Biasalah..sebelum mulai mengirimkan barang yang dimulai pada pukul delapan pagi itu, Garda dan rekan-rekannya akan mendahulukan tradisi mengopi mereka. Tak jarang Pak Tama pun ikut di dalamnya—jikalau beliau berangkat pagi.
“Garda, saya titip satu barang di kamu ya? Sepertinya alamatnya ada yang berdekatan dengan kamu. Saya barusan cek list kamu.” Salah seorang rekan kerja Garda—Pak Roni menitipkan sebuah barang padanya. Biasalah, tukar menukar seperti ini.
“Memangnya kenapa sih, Pak?”
“Bapak sudah izin Pak Tama. Bapak pulang lebih awal nanti—“
“Anak Pak Roni masuk rumah sakit!?”
“Iya. Kamu tahulah bagaimana kondisi Bapak. Oh ya, mana barteran barangnya. Bapak mau berangkat antar barang sekarang saja.”
Garda menggeleng. “Tidak usah, Pak. Bapak antar barang-barang yang sudah masuk daftar list Bapak saja. Semoga anak Bapak segera sembuh..”
“Ah, jangan begitu Garda. Saya jadi nggak enak.”
“Ah Pak Roni, kayak baru kenal saya saja.”
“Terima kasih banyak ya, Garda. Gusti Allah yang balas,” ucap Pak Roni kemudian menepuk bahu Garda. Beliau pun segera memasukkan barang-barang yang hendak diantarkannya ke rumah penerima barang-barang tersebut. Sedangkan Garda mulai melihat alamat satu paket titipan Pak Roni ini.
Sepertinya Garda tidak asing dengan alamat tersebut. Dan, nama penerimanya..
“RANIA LARASATI!?”
Salah seorang rekan Garda sampai tersedak kopi yang diminumnya sendiri karena mendengar teriakan Garda yang tiba-tiba itu. “Buset! Keselek gue! Jangan kencang-kencang! Nggak bakal dengar juga itu orang yang punya barang—“
“Ndo, lo masih temen gue ‘kan?”
“K—kenapa lo tiba-tiba nanya? Perasaan gue nggak enak. Sosrry, gue nggak menerima—“
Tanpa menunggu Ando menyelesaikan ucapannya itu. Garda segera memberikan paket titipan Pak Roni tersebut pada Ando. “Titip. Paket atas nama mantan gue.”
“Loh!? Nggak bisa gitu dong, Garda! Katanya karyawan yang paling profesional di sini tuh lo. Nah, perkara antar paket mantan aja lo limpahin ke gue? Kebangetan lo!”
Belum berhenti di situ saja cerocos Ando yang memang selama ini terkenal aktif bibirnya itu. “Kan enak, Da. Sekalian silaturahmi sama para mantan! Mantan pacar, mantan adik atau kakak ipar, sampai mantan mertua!” Ando tertawa puas karena melihat ekspresi lemas Garda. Sebenarnya hari ini hari apa? Mengapa bisa tumben-tumbenan Garda yang terkena sial seperti ini?
Pertikaian kecil antar Ando dan Garda yang sebenarnya tidak serius itu terdengar oleh Pak Tama yang baru saja masuk ke kantor miliknya. Mereka berdua pun berpura-pura baik-baik saja. Catat, Ando sahabat baik Garda. Begitu pun sebaliknya. Tidak ada rasa saling menjatuhkan diantara mereka berdua.
“Gardapati, ikut saya ke ruangan pribadi saya,” titah bos muda itu dengan wajah tanpa senyum pagi ini.
Tamat sudah. Ceramah pagi ini bukan lagi berasal dari ibu atau bapaknya di rumah. Melainkan bosnya sendiri di kantor.
Pak Tama lebih dulu mengambil duduk di kursi kebesarannya setelah membuka beberapa kancing jas hitam yang dikenakannya. Ia menatap tajam Garda yang masih setia berdiri—enggan untuk duduk atau memang menunggu dipersilahkan duduk.
“A—ada apa ya, Pak?”
“Saya risih lihat kamu berdiri. Duduk. Pakai minta dipersilahkan. Kayak karyawan baru saja kamu, Da..”
“I—iya Pak, maaf.”
Ternyata benar dugaan dan segala firasat tak enak Garda sejak memasuki ruang pribadi bosnya ini. Diceramahi habis-habisan karena ia mengaku dan menceritakan semua yang terjadi tadi di ruang depan. Termasuk perbincangannya dengan Ando yang sebenarnya sudah didengar sedikit oleh Pak Tama. Garda mengaku bahwa dirinya malu untuk mengantarkan paket tersebut ke alamat penerima yang tak lain dan bukan atas nama mantannya semasa SMA. Pak Tama hanya bisa geleng-geleng kepala dengan ulah karyawan kebanggaannya itu. Ia tak menyangka, ternyata selama ini..Gardapati masih mempunyai rasa malu atas profesinya yang menjadi kurir barang ini. Padahal tidak ada yang salah dengan profesinya itu.
“…kalau kamu masih malu dengan pekerjaan kamu, saya persilahkan kamu untuk menyerahkan surat resign kamu besok pagi di atas meja saya, Garda. Saya tidak menyangka. Kamu sudah saya anggap seperti adik saya sendiri, tapi ternyata sekalinya kamu berulah dan jujur, itu justru mengecewakan saya.”
“Maafkan saya, Pak Tama. Saya tidak ingin resign Pak. Maaf atas ketidaknyamanan Bapak atas kejujuran saya. Ini masalah pribadi saya. Ke depannya, saya akan lebih belajar untuk bersikap professional lagi. Beri saya satu kesempatan lagi, Pak.”
“Saya sanggup memberikan kamu seribu kesempatan, asalkan kamu melaksanakan tugasmu dengan baik hari ini—termasuk mengantar sendiri paket yang kamu limpahkan pada Ando tadi.”
“…….”
Harga diri. Jelas seorang pria miskin sekali pun, ia masih tetap menjunjung harga dirinya sebagai seorang lelaki. Tak ingin rasanya bertemu dengan mantan kekasih dan menunjukkan pekerjaan yang dijalaninya kini. Mengapa? Karena para mantan justru akan semakin merasa menang, karena merasa kehidupannya lebih baik dari kita.
“Kenapa?”
Garda menggeleng. Dengan ragu ia mengangguk karena tak ingin mengecewakan Pak Tama. Pun juga, ia tidak siap bila harus meninggalkan kantor Pratama Express ini. Mungkin, untuk satu kali ini saja ia akan mengalah pada Larasati. Setelahnya, Garda berjanji akan menunjukkan pada Larasati bahwa dirinya mampu bangkit dari segala keterpurukan ini.
Senyum Pak Tama mulai muncul. “Garda, kamu harus berdamai dengan masa lalu kamu sendiri. Jangan pedulikan ia yang sudah memilih jalannya untuk pergi. Itu tandanya memang ia bukan merupakan teman berjuangmu. Saat ini, cukup fokus dengan masa depan yang hendak kamu perjuangkan ke depannya. Coba kamu turuti perkataan saya yang selama ini sudah menganggap kamu sebagai adik sendiri.”
Lagi-lagi Garda sukses dibuat Pak Tama bungkam dan hanya mengangguk-angguk saja.
“Mungkin boleh saja sekarang profesimu di bawah mantanmu itu, akan tetapi..kamu tidak akan pernah tahu apa yang terjadi ke depannya. Coba jangan besarkan rasa gengsimu, Garda. Lagipula, satu hal yang patut kamu banggakan. Pekerjaan kamu ini halal dan mulia. Lalu, dimana letak kamu menempatkan rasa malumu karena pekerjaan ini?”
“..apa kamu tidak pernah berpikir, bila mungkin saja Tuhan tengah mempertemukan kamu kembali dengan mantan kamu itu. Isi hati seseorang siapa yang tahu, Garda? Jangan-jangan, kalian berdua masih saling mencintai, dan pertemuan kalian yang tidak disengaja ini nanti merupakan sebuah jawaban atas do’a-do’a kalian setiap malamnya.”
“ITU TIDAK BENAR, PAK TAMA. SAYA SUDAH TIDAK MENCINTAI DIA. Amit-amit Pak..”
“Lhoo jodoh itu tidak disangka-sangka datangnya, Garda. Ya sudah sana, mulai bekerja.”
“Iya Pak, permisi. Mohon maaf sebelumnya, Pak Tama.”
“Iya sudah, lupakan. Jadikan sebagai pelajaran. Jangan diulangi lagi.”
“Siap, Pak.”
Keluar dari ruangan Pak Tama, Garda langsung bertemu dengan Ando yang ternyata sudah menguping di depan ruang pribadi bosnya itu. Sialan memang! Bukannya turut bersedih karena sang sahabat baru saja ditegur habis-habisan, Ando justru terkekeh dan menyerahkan kembali paket barang atas nama mantan Garda itu.
“Nih, barangnya. Sana dandan yang kerenan dikit. Siapa tahu setelah ini kalian berdua balikan. Kan lumayan gue bisa ditraktir makan enak!”
“Makan enak-makan enak. Nggak ada! Lo pikir gue mau balikan?”
“YA MAU-LAH! Siapa tahu bentukan mantan lo waktu SMA itu udah berubah. ‘Glow up’ kalau anak-anak zaman sekarang nyebutnya! Lagian, gue curiga sama lo, Da. Kok lo masih ingat alamat rumah sama nama lengkap mantan lo?”
“…….”
Benar juga tuduhan Ando barusan. Garda yang tak bisa menjawabinya pun segera menghindar dari Ando. Ia sendiri juga heran. Selama ini sudah dekat sana-sini dengan para wanita, akan tetapi nama Rania Larasati dan juga alamat rumahnya seakan masih tercatat dalam memori terdalam Gardapati.
“Lo belum move on ya!? Gue bagian nunggu pajak balikannya aja deh!”
“NGGAK ADA. LO KIRA ANAK SMA PAKAI PAJAK BALIKAN SEGALA!”
Ceklek..
Pintu ruang pribadi Pak Tama pun terbuka. Ekspresinya yang pertama kali dilihat oleh Ando tadi, kini justru semakin tidak enak dipandang. Ando meringis, ia tersenyum seakan menyapa.
“Mari Pak Tama..”
“Kamu jangan ngolokin Garda, Ando. Siapa tahu setelah ini giliran kamu yang ada di posisi Garda.”
“Sudah pernah, Pak. Berkali-kali malah. Di alamat yang berbeda-beda. Kan mantan saya banyak—“
“Ando!”
“Ampun Pak Tama. Permisi saya izin bekerja. Semoga Pratama Express semakin jaya!”
Sudah biasa Pak Tama dengan sikap Ando yang hobi melawak. Para karyawannya memang unik-unik. Dari yang muda hingga yang sudah bapak-bapak semua bersatu-padu guna membangun Pratama Express ini menjadi sebuah jasa pengiriman yang terpercaya dan amanah. Pak Tama merasa bersyukur karena mempunyai para karyawan yang berbeda-beda watak, sikap dan cara bekerja mereka. Sehingga betah saja berlama-lama berada di kantor karena selalu merasa terhibur dengan tingkah mereka ini.
“SEMANGAT PAGI, REKAN-REKANKU! SEMOGA TABUNGAN MENIKAH TERKUMPUL DAN TAHUN DEPAN MENIKAH MASSAL!” Lagi, Pak Tama mendengar seruan Ando menyemangati beberapa rekan-rekannya di ruang depan sana.
“OGAH!”
“Saya nggak minat menikah massal, Ando.”
“Gue juga nggak. Boro-boro nikah, pasangan aja belum ada. Yang ada mau ketemu mantan!” Garda curhat colongan.
“Saya sudah beristri dan beranak dua, Ando. Kalau kamu ajak saya menikah massal, saya mau-mau saja. Tapi istri saya bisa mengamuk dan mengadu sampai Kantor Kepala Desa!”
Pagi ini di kantor Pratama Express ada suka dan duka. Setiap hari memang selalu ada drama, tapi bersyukurnya mereka bisa bekerja tanpa tekanan di bawah pimpinan Pak Tama yang membebaskan para karyawannya saling bercanda seperti ini. Disediakan pula tempat mengopi dan aneka jajan gratis. Betah bukan?
Mungkin ada yang mau melamar bekerja sebagai kurir di Pratama Express? Terkhusus para wanita muda. Bosnya masih muda juga, belum beristri. Bisa dipepet. Sukses, dan tajir mlintir. Yuk, daftar..
***