Setelah pemilihan struktur inti, bu Ambar langsung keluar dari kelas. Sebelum benar-benar keluar kelas, ia menegaskan penugasan struktur kelas kepada Bintang. Bu Ambar mau, setelah istirahat nanti semua sudah rapi dan struktur bisa dilaminating esok hari.
"Jadi bagaimana?" tanya Liodra ke arah Bintang, Andro, dan Milly. Sekarang mereka masih ada di depan.
"Bicara aja langsung, tanya siapa gitu yang mau jadi seksi ini, seksi itu," saran Andro yang disetujui oleh Milly.
"Menurut kamu bagaimana?" tanya Liodra kepada Bintang. Bintang ini ketua kelas, ia tidak bisa membuat keputusan tanpa kesepakatan ketua.
Bintang tidak langsung bicara, ia sedang berpikir bagaimana caranya. Setelah beberapa detik diam akhirnya Bintang pun menganggukkan kepalanya. "Iya, itu bagus," ucapnya.
"Ndro, bilang, gih," ucap Liodra.
"Takut enggak didengerin," sambar Andro cepat.
"Kamu, Milly?"
Milly langsung menggelengkan kepalanya. "Aku enggak berani ah, malu. Kamu aja, Lio."
Liodra terkekeh. "Sama, Mil, aku juga malu, soalnya ini pertemuan pertama di kelas, kayak canggung aja gitu. Bagaimana kalau kamu aja, Bintang?"
Bukannya menjawab Bintang malah menatap Liodra tepat pada manik matanya, dia tidak menampakkan ekspresi apa pun selain datar. Bintang memang seperti itu, dia akan melihat dulu siapa lawan bicaranya, dia memang ramah dengan siapa pun, tapi dengan orang baru tetap saja, tidak mudah bisa akrab dan bisa berkomunikasi baik dengannya.
"Kamu juga malu?" tanya Liodra lagi karena Bintang tak kunjung angkat suara.
Bintang menggeleng sambil tersenyum. "Oke, aku yang bakal bicara," ucap Bintang akhirnya. Bintang sudah biasa mengurus kelas dan bicara di depan umum. Dia tidak hanya mantan ketua kelas selama tiga tahun berturut-turut, tapi juga mantan ketua OSIS selam dua priode. Di SMP-nya dahulu, Bintang ini dikenal siapa saja.
"Halo, aku mau bicara, bisa menatap ke depan semuanya," ucap Bintang sambil mengulas senyuman ramah. Para kaum hawa yang sudah terkesima semakin menjadi-jadi.
"Bintang, kosong delapan berapa?" ucap seorang perempuan yang duduk di bagian belakang.
Bintang tersenyum ke arahnya. "Nanti juga kita bakal punya grup kelas, pasti pada akhirnya kita saling save kontak," ucap Bintang.
Anggara asyik menertawakan Azara yang memerah karena cemburu. Perempuan itu meremas-remas kertas tak bersalah yang ada di tangannya. Saat kertas sudah benar-benar tak berbentuk seperti awalnya, Azara langsung melemparnya ke arah Anggara yang masih setia menertawakannya.
"Jadi, seperti apa yang udah bu Ambar bilang tadi. Kita berempat diberikan kepercayaan untuk menentukan struktur kelas secara komplit dengan batas waktu sampai istirahat. Kelas kita masih butuh seksi keamanan dan seksi kebersihan. Rasanya itu aja udah cukup. Yuk yang bersedia bisa langsung acungkan tangannya. Tenang, kalian enggak perlu maju, kok, cukup angkat tangan dan sebut nama aja," ucap Bintang lagi.
Saat masih SMP, melihat Bintang seperti ini Azara merasa biasa-biasa saja, tapi sekarang, ia malah tidak suka. Bagaimana perempuan tidak kelepek-kelepek kalau Bintang-nya saja se-soft itu. Ingin rasanya Azara melarang, tapi saat mengingat kalau karakter Bintang memang seperti itu, ia jadi mengurungkan niatnya. Ia tidak boleh melarang orang lain untuk menjadi dirinya sendiri selagi diirinya itu baik-baik saja, seperti Bintang contohnya.
Dua orang laki-laki yang duduk di depan mengangkat tangannya bersamaan.
"Siapa namanya?" tanya Bintang.
"Awal, aku mau jadi seksi kebersihan."
"Oke, terima kasih, Awal. Dan kamu, nama kamu siapa?" tanya Bintang lagi.
"Mahen, aku mau jadi seksi keamana."
Bintang langsung mengulas senyum. "Oke, terima kasih, Mahen," ucapnya. Setelah Liodra menulis ulang apa yang sudah ditulis di papan tulis, Bintang pun angkat suara lagi, "Terima kasih atas perhatiannya. Semoga kami bisa menjaga kelas dengan baik dan kita semua satu kelas bisa akur satu sama lain." Berpapasan dengan itu suara bel langsung melengking-lengking.
Bintang dan yang lainnya pun kini sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Saat Bintang sudah duduk, Azara langsung memutar tubuh. Padahal sebelumnya Liodra mau mengajak Azara bicara, tapi karena Azara sudah lebih dulu membalikkan tubuh ke belakang, akhirnya ia mengurungkan niat dan memilih untuk merapikan ulang tulisannya lebih dulu sebelum ke kantin.
"Bi," panggil Azara.
"Hm?"
"Bi," panggil Azara lagi. Tadi Bintang masih belum menatap ke arahnya. Azara itu tidak akan berhenti memanggil kalau orang yang ia panggil belum menatapnya.
Bintang pun akhirnya mendongak. "Apa?" tanyanya.
"Ish!" Di saat itu juga Azara membalikkan tubuhnya kembali.
"Cemburu dia," ucap Anggara pelan seraya bangun dari duduknya.
Bintang menautkan kedua alisnya, akhirnya ia pun ikut bangkit dari duduk.
"Ayo, Za, mau ikut ke kantin, enggak? Nanti kalau ditinggal tersesat di jalan lagi," ucap Anggara.
Liodra yang sebelumnya sibuk menulis pun mendongak. Berpapasan dengan itu Anggara juga menoleh ke arahnya. Liodra mengulas senyum lebih dulu. Akhirnya Anggara ikut mengulas senyum. Setelahnya laki-laki itu langsung melangkahkan kaki ke depan, menunggu Azara dan Bintang di depan pintu.
"Kamu enggak istirahat, Lio?" tanya Azara.
Liodra menggelengkan kepalanya. "Aku mau ...."
Belum sempat Liodra melanjutkan ucapannya, Bintang sudah lebih dulu memotong, "Kamu kenapa, Za? Ayo ke kantin. Jangan marah dong, aku minta maaf, ya?" ucap Bintang yang tiba-tiba ada di samping Azara.
Tentu saja hal itu tidak hanya terdengar oleh Azara, orang-orang yang masih ada di kelas bisa mendengar apa yang Bintang katakan dengan jelas. Akhirnya teman-teman kelasnya tahu, Azara dan Bintang itu dekat—meski status mereka masih belum diketahui.
Liodra sampai mendongak ke arah Bintang saat mendengar itu. Andro yang ia kenal lembut pun masih kalah dengan Bintang. Sepertinya Azara dan Bintang bukan hanya sebatas teman.
"Ih, aku enggak mau istirahat ah, aku mau temani Lio aja di sini," ucap Azara tanpa menatap Bintang sama sekali.
Bintang tersenyum melihat tingkah Azara. "Kalau kamu enggak mau ke kantin, nanti aku bilangin mama kamu, biar sepulang sekolah nanti kamu dapat ceramahan yang panjangnya ngalahin Sungai Nil."
Azara langsung mencubit lengan Bintang sampai laki-laki itu mendesis kesakitan. "Ngeselin!" ucap Azara seraya melangkahkan kakinya lebih dulu.
Bintang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, tak lama kemudian dia langsung berlari agar bisa menyejajarkan langkahnya dengan langkah Azara.
"Aku tebak mereka pacaran," ucap Andro yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Liodra.
Liodra mengedikkan bahu. "Mungkin."
"Terus kita kapan jadian?"
Liodra langsung mendesis. "Ndro! Udah ah sana, kebiasaan banget suka bahas hal-hal yang enggak jelas."
Andro terbahak, menggoda Liodra merupakan kesenangan duniawi bagi Andro. Mereka ini sepupuan. Orangtua mereka adik-kakak. Sejak SD, SMP, sampai SMA Andro dan Liodra ini memang sudah sama-sama. Andro satu tahun lebih tua dari Liodra. Ibu Liodra selalu menitipkan anaknya itu kepada Andro. Mereka sudah sering disangka pacaran karena mereka itu memang apa-apa selalu bersama. Padahal kenyataannya, baik Andro ataupun Liodra tidak memiliki perasaan seperti itu. Justru Andro menyayangi Liodra seperti adiknya sendiri dan Liodra menyayangi Andro seperti kakaknya sendiri.
"By the way masih belum berani lihat hasil olimpiade? Ayo, lha, kita lihat, tapi selesain dulu tulisannya, nanti kita beli makanan di kantin dan makannya di balkon sekolah, cepetan!
"Iya-iya."