Udara malam menyelimuti apartemen kecil yang kini terasa begitu sunyi. Abizar duduk di tepi jendela, memandangi langit yang dipenuhi bintang, tapi pikirannya jauh melayang. Ia memegang sebuah gelang kecil di tangannya, gelang dengan liontin berbentuk hati yang pernah ia temukan di meja kerja Elsa. Ia tidak pernah bertanya asal gelang itu, tapi ia tahu itu penting bagi Elsa. Kini, benda itu terasa seperti penghubung kecil yang tersisa di antara mereka.
Abizar memejamkan mata. Dalam keheningan itu, kenangan mulai mengalir. Ia ingat senyuman Elsa—senyuman lembut yang selalu menyapanya setiap pagi. Ada momen sederhana yang dulunya ia abaikan, tapi kini menusuk hatinya dengan rasa sesal. Seperti hari ketika Elsa diam-diam membawakannya kopi saat ia sibuk bekerja di rumah Darwin.
“Aku tahu kamu suka kopi hitam tanpa gula,” kata Elsa saat itu, dengan suara malu-malu.
Abizar hanya mengangguk sambil meneguk kopi itu. Ia tidak pernah berkata terima kasih, tapi jauh di dalam hatinya, ia menyukai perhatian kecil itu. Kini, ia menyesali sikap dinginnya.
Abizar membuka matanya, mendesah pelan. Kenangan itu terasa seperti tusukan kecil yang menyakitkan. Elsa selalu ada untuknya—menghiburnya saat ia merasa lelah, mendengarkannya meskipun ia jarang bercerita, dan bahkan menghangatkan malam-malamnya dengan obrolan ringan tentang buku atau bunga favoritnya.
Di tempat lain, Elsa duduk di depan kanvas besar di kamarnya yang terang oleh lampu meja kecil. Ia memegang kuas di tangannya, tapi air mata perlahan mengalir di pipinya. Lukisan di depannya adalah potret dirinya dan Abizar. Ia melukis momen ketika mereka pernah tertawa bersama di taman belakang rumah Darwin. Meski saat itu tidak ada kata-kata romantis, Elsa merasa ada sesuatu yang menghubungkan mereka.
Gambaran itu tidak sempurna—wajah Abizar yang dilukisnya terlihat sedikit kabur, seperti hatinya yang penuh keraguan. "Kenapa kamu harus menyentuh hatiku, Abizar?" gumam Elsa pelan, suaranya bergetar.
Elsa memejamkan mata, membiarkan kenangan itu membanjirinya. Ia teringat saat Abizar pernah memayunginya dari hujan deras di jalanan kota, walaupun pria itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Saat itu, hati Elsa terasa hangat. Tapi di saat yang sama, ia juga teringat dinginnya Abizar saat ia berusaha mendekat. Perasaan itu kini menyiksanya.
Elsa menatap lukisannya lagi. Ia ingin menyelesaikannya, tapi hatinya terlalu berat. Tangannya gemetar, dan ia akhirnya meletakkan kuasnya. Dengan mata penuh air mata, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Aku harus melupakanmu, Abizar. Tapi kenapa ini begitu sulit?"
Sementara itu, Abizar berjalan perlahan ke meja di sudut apartemennya. Ia membuka laci, mengambil sebuah foto kecil yang tersembunyi di antara tumpukan kertas. Foto itu menunjukkan Elsa sedang tersenyum lebar, memegang setangkai bunga mawar putih. Ia tidak tahu kapan Elsa menyelipkan foto itu di jaketnya, tapi foto itu sudah ada di sana selama berbulan-bulan.
Tatapannya melembut. Hatinya menghangat, tapi juga terluka. “Kenapa aku begitu bodoh?” gumamnya. Ia menyentuh wajah Elsa di foto itu dengan ujung jarinya, seolah ingin merasakan kehangatannya. “Kenapa aku tidak menyadari semuanya lebih cepat?”
Abizar tahu dirinya telah membuat kesalahan besar. Ia telah menyia-nyiakan momen berharga bersama Elsa, dan kini gadis itu mulai menjauh darinya. Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia mungkin kehilangan Elsa untuk selamanya.
Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke sudut ruangan. Sebuah amplop kecil tergeletak di sana, berisi surat terakhir Elsa sebelum ia meninggalkan rumah Darwin beberapa hari lalu. Abizar belum membukanya, takut menghadapi kenyataan di dalamnya. Tapi malam ini, ia tahu ia harus melakukannya.
Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu dan mulai membaca.
_"Abizar,_
_"Aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikan ini tanpa membuat segalanya terasa sulit, tapi aku tahu aku harus pergi. Perasaan di antara kita terlalu rumit, dan aku merasa seperti beban bagimu. Kau selalu menjaga jarak, seolah aku hanyalah bayangan yang mengikutimu. Aku lelah mencoba mengerti hatimu yang tertutup rapat._
_"Jadi, aku memutuskan untuk berhenti berharap. Jangan khawatir tentang aku, karena aku akan baik-baik saja. Aku harap kau juga menemukan kebahagiaanmu, entah itu bersamaku atau tanpa aku._
_"Elsa.”_
Kertas itu bergetar di tangan Abizar. Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam dadanya. “Elsa…” suaranya serak, hampir tidak terdengar. Ia tidak menyangka betapa dalam luka yang telah ia tinggalkan di hati Elsa.
Elsa menatap kanvasnya yang belum selesai dengan tatapan hampa. Ia mengusap matanya, mencoba menghentikan air mata yang terus mengalir. Tapi suara ketukan pintu membuatnya terkejut. Elsa berjalan ke pintu, membuka sedikit, dan melihat Darwin berdiri di sana.
"Elsa, aku perlu bicara," kata Darwin dengan nada serius.
Elsa mengangguk, membiarkannya masuk. Darwin duduk di kursi di dekat kanvas Elsa dan memperhatikan lukisan itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kau masih memikirkannya," katanya pelan, tapi tegas.
Elsa terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Darwin melanjutkan, "Elsa, aku tahu kau mencintainya, tapi kau harus berpikir lebih jauh. Abizar bukan pria biasa. Dia membawa bahaya."
"Darwin, aku tahu siapa dia," jawab Elsa dengan suara rendah. "Tapi itu tidak mengubah perasaanku."
Darwin mendesah panjang. "Kau terlalu baik untuk terjebak dalam dunia seperti itu, Elsa. Jika kau ingin pergi, aku bisa membantumu. Aku sudah mengatur tempat di luar kota."
Elsa menatapnya dengan mata penuh air mata. "Pergi? Aku tidak bisa terus lari, Darwin. Itu hanya akan membuatku semakin terluka."
Darwin memegang tangannya. "Elsa, kadang keputusan sulit adalah yang terbaik. Percayalah, aku hanya ingin melindungimu."
Di sisi lain kota, Abizar berjalan melewati jalanan yang gelap. Ia menuju sebuah taman kecil yang dulu sering dikunjungi Elsa. Tempat itu menjadi saksi senyuman Elsa yang tulus dan tawanya yang menenangkan. Tapi malam ini, taman itu terasa kosong, seperti hatinya.
Abizar berhenti di bangku tempat Elsa pernah duduk bersamanya. Ia duduk di sana, memejamkan mata, membiarkan kenangan mengalir. Ia teringat tawa Elsa, suaranya yang lembut, dan sentuhan tangannya yang hangat. Semua itu kini terasa seperti mimpi.
Hingga akhirnya, sebuah detail kecil menarik perhatiannya. Di atas bangku, ada sebuah buku sketsa yang tertinggal. Dengan hati-hati, Abizar membuka halaman pertama, dan ia langsung tahu itu milik Elsa. Di dalamnya, ada banyak sketsa dirinya—wajah Abizar dalam berbagai ekspresi.
Abizar menatap salah satu sketsa, yang menggambarkan dirinya sedang menatap Elsa dengan lembut. Ia tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa pedih. “Kau benar-benar mencintaiku,” gumamnya.
Tapi senyuman itu tidak bertahan lama. Di halaman terakhir, ada kata-kata kecil yang tertulis dengan tinta hitam.
_"Kenapa kau harus menyentuh hatiku, Abizar? Aku hanya ingin melupakanmu."_
Kalimat itu menghantamnya seperti badai. Ia sadar bahwa luka Elsa jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan. Dengan buku sketsa itu di tangannya, ia tahu ia harus menemukan Elsa—tidak hanya untuk memperbaiki segalanya, tapi juga untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini tersembunyi.
Ia menutup buku itu dengan perlahan, matanya penuh tekad. “Aku akan menemukanmu, Elsa. Tidak peduli berapa jauh kau mencoba pergi.”
Tapi ketika ia melangkah pergi dari taman itu, sebuah bayangan muncul di kejauhan. Elsa berdiri di sana, di balik pohon besar, dengan mata yang penuh air mata. Tapi sebelum Abizar menyadari keberadaannya, Elsa berbalik dan menghilang dalam kegelapan.