Pagi itu, matahari bersembunyi di balik awan kelabu. Abizar duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela besar yang memandang taman belakang mansion. Hatinya diliputi kegelisahan, rasa frustrasi yang ia sendiri tak tahu bagaimana harus menyelesaikannya.
Ia memutar-mutar sebuah pena di tangannya, mencoba menyusun langkah berikutnya. Elsa semakin menjauh darinya, dan itu terasa seperti hukuman yang terus-menerus menghantui. Seolah jarak itu bukan hanya fisik, tetapi tembok besar yang tak mungkin ia panjat.
Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Masuk," katanya tanpa menoleh.
Maya melangkah masuk, membawa setumpuk dokumen yang tampak penting. Tapi alih-alih meletakkannya di meja, wanita itu justru mendekat dengan tatapan penuh perhatian.
"Abizar," panggil Maya lembut. "Kau terlihat semakin tertekan."
Abizar hanya tersenyum tipis, tidak benar-benar menanggapi. "Aku hanya mencoba mencari cara untuk mendekati Elsa lagi. Tapi dia terus menghindar."
Maya duduk di kursi di depannya. "Kau tahu, Elsa bukan seperti wanita lain. Luka yang dia bawa bukan sesuatu yang bisa sembuh hanya dengan kata-kata manis atau janji-janji kosong."
"Aku tahu itu," balas Abizar, suaranya pelan tapi penuh ketegangan. "Itulah kenapa aku harus tahu apa yang membuatnya seperti ini. Apa yang membuat dia takut untuk percaya padaku."
Maya menghela napas. "Elsa pernah mencintai seseorang dengan sepenuh hatinya, Abizar. Tapi orang itu meninggalkan luka yang terlalu dalam."
Abizar menatap Maya dengan mata penuh tanya. "Siapa dia?"
"Namanya Irfan," jawab Maya setelah beberapa detik hening. "Dia adalah cinta pertama Elsa. Seseorang yang membuat Elsa percaya pada cinta, lalu menghancurkannya tanpa ampun."
---
Hari itu, Abizar memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Ia mendatangi salah satu pelayan tua di mansion, seorang wanita bernama Bu Ratih yang telah bekerja untuk keluarga Darwin selama puluhan tahun.
"Bu Ratih," panggil Abizar dengan nada sopan. "Aku ingin tahu lebih banyak tentang masa lalu Elsa."
Wanita tua itu menatapnya ragu. "Tuan Abizar, saya tidak tahu apakah itu keputusan yang bijak. Nona Elsa tidak suka membicarakan masa lalunya."
"Tapi saya harus tahu," desak Abizar. "Jika saya ingin memenangkan hatinya, saya perlu memahami lukanya."
Bu Ratih menghela napas, akhirnya menyerah pada tekad Abizar. "Dulu, ketika Nona Elsa masih tinggal di rumah keluarganya, dia bertemu dengan seorang pria bernama Irfan. Dia pria muda yang baik, tapi kehidupannya tidak stabil. Mereka saling jatuh cinta, tapi hubungan itu tidak disetujui oleh orang tua Elsa."
Abizar mengernyit. "Kenapa?"
"Irfan bukan dari keluarga yang berada," lanjut Bu Ratih. "Dan ketika hubungan mereka semakin dalam, Irfan tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Beberapa bulan kemudian, Elsa menerima sebuah surat darinya, mengatakan bahwa dia tidak bisa lagi bersama Elsa karena tanggung jawab keluarga."
Hati Abizar terasa berat mendengar cerita itu. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya Elsa saat itu. "Apa surat itu masih ada?" tanyanya.
"Saya tidak tahu, Tuan. Tapi mungkin Nona Maya tahu," jawab Bu Ratih.
---
Malam itu, Abizar mendatangi Maya di ruang keluarga. Wanita itu sedang duduk di sofa, membaca sebuah buku. Ketika Abizar masuk, Maya menatapnya dengan tatapan penasaran.
"Kau tidak menyerah, ya?" tanyanya.
Abizar mengangguk. "Bu Ratih memberitahuku tentang Irfan. Aku perlu tahu lebih banyak."
Maya terdiam sejenak sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menuju lemari besar di sudut ruangan. Ia membuka salah satu laci dan mengeluarkan sebuah kotak kecil.
"Ini milik Elsa," kata Maya, menyerahkan kotak itu kepada Abizar. "Di dalamnya ada surat dari Irfan. Tapi hati-hati, Abizar. Apa yang kau temukan di sana bisa membuatmu semakin sulit mendekati Elsa."
Abizar membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada beberapa benda kecil yang tampaknya memiliki nilai sentimental—sebuah foto lama, selembar kain kecil yang dilipat rapi, dan sebuah amplop yang sudah kusam. Ia mengambil amplop itu dan membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.
Isi surat itu sederhana, tetapi setiap kata terasa seperti tusukan ke hati.
---
Kepada Elsa,
Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin dengan mengatakan bahwa aku mencintaimu, lebih dari apa pun di dunia ini. Tapi cinta saja tidak cukup, bukan? Aku tidak bisa memberikanmu kehidupan yang layak, Elsa. Aku tidak bisa menjadi orang yang kau butuhkan.
Keluargaku membutuhkan aku, dan aku tidak bisa meninggalkan mereka. Aku tahu ini akan menyakitimu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus pergi, Elsa. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena aku tidak cukup baik untukmu.
Aku harap suatu hari kau bisa menemukan seseorang yang benar-benar pantas untukmu. Seseorang yang bisa membuatmu bahagia dengan cara yang tidak pernah bisa kulakukan.
Selamat tinggal, Elsa.
Irfan
---
Abizar menutup surat itu dengan hati yang berat. Ia bisa merasakan setiap luka yang surat itu tinggalkan di hati Elsa. Irfan mungkin mencintainya, tapi ia juga meninggalkannya dengan alasan yang tidak akan pernah bisa diterima sepenuhnya.
Keesokan harinya, Abizar mencari Elsa di taman. Gadis itu duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandangi bunga-bunga yang mulai bermekaran. Wajahnya terlihat tenang, tapi Abizar tahu ada badai di dalam dirinya.
"Elsa," panggil Abizar lembut.
Elsa menoleh, sedikit terkejut melihat Abizar di sana. "Ada apa?"
Abizar duduk di sampingnya, menjaga jarak agar Elsa tidak merasa terpojok. Ia mengeluarkan surat Irfan dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka.
"Aku menemukan ini," katanya pelan.
Elsa menatap surat itu dengan mata membesar. Tangannya gemetar saat meraih amplop yang begitu familiar itu. "Kenapa kau membacanya?"
"Karena aku ingin mengerti," jawab Abizar jujur. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu menutup hatimu seperti ini."
Elsa menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Itu bukan urusanmu."
"Tapi aku ingin itu menjadi urusanku, Elsa," kata Abizar, suaranya penuh dengan ketulusan. "Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau percaya lagi. Aku ingin menjadi seseorang yang tidak akan pernah meninggalkanmu."
Elsa tertawa kecil, tapi nadanya pahit. "Kau tidak mengerti, Abizar. Surat itu adalah pengingat bahwa cinta itu hanya ilusi. Tidak peduli seberapa besar seseorang mencintaimu, mereka tetap bisa meninggalkanmu."
"Tidak semua orang seperti Irfan," balas Abizar. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Elsa. Tidak peduli apa yang terjadi."
Elsa berdiri tiba-tiba, memandang Abizar dengan mata yang penuh air mata. "Aku tidak bisa percaya itu, Abizar. Aku tidak bisa mempercayaimu."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Elsa berlari pergi, meninggalkan Abizar yang hanya bisa duduk di sana dengan hati yang hancur. Di tangannya, ia masih memegang amplop kusam itu, seolah menjadi simbol dari tembok besar yang harus ia hancurkan untuk mencapai hati Elsa.