Hujan masih membasahi aspal, meninggalkan aroma tanah yang khas. Abizar duduk di dalam mobil hitamnya yang terparkir di depan sebuah kafe kecil, tempat biasa ia menyendiri di kala pikirannya penuh. Hening memenuhi ruang sempit itu, hanya suara rintik hujan yang menemani. Matanya yang tajam memandang keluar, menembus kaca jendela yang sedikit berembun.
Di dalam hatinya, ia tahu keputusan yang baru saja ia ambil bukan tanpa konsekuensi. Pernikahannya dengan Natasya telah ia tinggalkan, meninggalkan luka yang dalam bagi wanita itu, keluarga mereka, dan dirinya sendiri. Tapi lebih dari semua itu, ia tahu bahwa ada satu hal yang tidak bisa lagi ia abaikan—Elsa.
---
“Abizar, kau mau pesan sesuatu?” pelayan kafe bertanya dengan sopan, membuyarkan lamunannya.
Abizar hanya mengangguk kecil. “Kopi hitam. Jangan terlalu manis.”
Wanita itu segera berlalu, membiarkannya kembali tenggelam dalam pikirannya. Ia teringat Elsa—gadis dengan senyum hangat yang tanpa sadar telah mencuri perhatiannya selama ini. Setiap momen kecil bersamanya kini terasa seperti serpihan memori yang sulit ia singkirkan. Suara tawanya, cara dia mengusap rambut yang tertiup angin, dan tatapan mata itu… tatapan yang dulu penuh kepercayaan pada dirinya.
Namun, Abizar juga tahu bahwa Elsa telah menjaga jarak. Ia bisa merasakannya sejak beberapa bulan lalu, ketika gadis itu perlahan berhenti menyapanya dengan ceria seperti biasa.
Dan itu menyakitinya lebih dari yang ia kira.
---
Sebuah getaran dari ponsel di saku jasnya membuatnya tersadar. Nama Darwin Luis tertera di layar. Abizar menarik napas dalam sebelum menjawab.
“Darwin,” ujarnya singkat.
“Abizar, kau di mana?” Suara Darwin terdengar dingin, seperti badai yang siap meledak.
“Di luar. Ada yang ingin aku pikirkan,” jawab Abizar, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
“Luar? Kau sadar apa yang baru saja kau lakukan? Kau meninggalkan pernikahan yang disiapkan selama berbulan-bulan! Kau tahu bagaimana reaksi keluarga Natasya?” Nada suara Darwin meninggi, penuh kemarahan yang tertahan.
“Aku tahu,” balas Abizar dengan nada rendah. “Tapi aku tidak bisa menikahinya, Darwin. Aku tidak mencintainya.”
Hening di ujung telepon. Abizar tahu, ucapan itu seperti tamparan keras bagi Darwin, yang selama ini menjadi perantara hubungan mereka.
“Kau tahu konsekuensinya, bukan? Keluargaku, keluargamu, keluarga mereka… semuanya akan terlibat dalam kekacauan ini.”
Abizar menutup matanya, menahan gelombang emosi yang mulai membanjirinya. “Aku akan menghadapi semuanya. Ini pilihanku.”
Darwin mendesah panjang. “Kalau begitu, Kau harus siap dengan apa pun yang akan terjadi. Termasuk jika Elsa tahu soal ini.”
Nama itu membuat d**a Abizar berdenyut. Ia ingin berkata sesuatu, tapi telepon sudah terputus lebih dulu.
---
Di tempat lain, Elsa sedang duduk di ruang tamu kecilnya, ditemani sahabatnya, Amira. Wajah Elsa terlihat lelah, seperti ada beban berat yang ia pendam sendirian. Matanya menatap cangkir teh yang ia pegang, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
“Elsa, aku dengar apa yang terjadi,” Amira memulai, memecah keheningan.
Elsa menoleh, meski tidak benar-benar ingin mendengar. “Tentang apa?”
“Abizar meninggalkan pernikahannya. Untukmu.”
Cangkir di tangan Elsa hampir terjatuh. Ia memandang Amira dengan mata melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa? Itu… tidak mungkin.”
Amira mengangguk. “Aku yakin. Semua orang membicarakannya. Dia tidak bisa melanjutkan pernikahan itu karena dia mencintaimu.”
Elsa menggelengkan kepalanya perlahan. “Tidak… tidak mungkin. Abizar… dia tidak pernah mengatakan apa-apa.”
“Tapi itu jelas, Elsa. Kau tahu dia tidak akan melakukan ini tanpa alasan.”
---
Abizar memutuskan untuk menemui Elsa. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi hatinya berkata bahwa ia harus melakukannya. Ia memarkir mobilnya di depan rumah Elsa, menatap pintu kayu cokelat tua itu dengan perasaan yang campur aduk.
Ia mengetuk pelan, dua kali. Langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu terbuka. Amira berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan tajam.
“Abizar,” katanya singkat.
“Amira. Aku ingin bicara dengan Elsa,” ujar Abizar langsung ke inti.
Amira menyilangkan tangan di depan d**a. “Aku rasa itu bukan ide yang bagus. Elsa tidak ingin bertemu denganmu.”
Kata-kata itu seperti pukulan di d**a Abizar. Tapi ia tetap berdiri tegak, meski sorot matanya menunjukkan luka yang mendalam. “Aku hanya ingin bicara. Tolong.”
Amira menggeleng. “Dia sudah cukup terluka, Abizar. Kehadiranmu hanya akan memperburuk segalanya.”
“Amira,” suara Abizar melemah. “Aku butuh bicara dengannya. Sekali saja.”
Namun, Amira tidak bergeming. “Jika kau benar-benar peduli padanya, biarkan dia tenang. Dia butuh waktu. Dan mungkin kau juga perlu berpikir ulang tentang perasaanmu.”
Pintu itu perlahan tertutup, meninggalkan Abizar berdiri di sana, didera rasa bersalah dan penyesalan. Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana, mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.
---
Di dalam rumah, Elsa berdiri di balik dinding, mendengar setiap kata yang diucapkan Abizar dan Amira. Hatinya bergemuruh, penuh emosi yang sulit ia kendalikan. Ia ingin keluar, ingin bertanya pada Abizar mengapa ia harus membuat segalanya menjadi lebih rumit.
Tapi langkah kakinya tertahan. Ada rasa takut yang begitu besar—takut bahwa ia akan terluka lagi, takut bahwa semua ini hanya permainan lain yang akan membuatnya kehilangan dirinya sendiri.
Amira mendekatinya, menatapnya dengan lembut. “Elsa, kau harus memutuskan. Jika kau masih memiliki perasaan padanya, kau harus memberinya kesempatan. Tapi jika tidak, katakan saja padanya untuk pergi.”
Elsa menatap Amira, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu, Amira. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
Amira menghela napas. “Kadang, kau tidak perlu tahu segalanya. Kau hanya perlu mendengarkan hatimu.”
---
Malam itu, Abizar kembali ke apartemennya dengan perasaan hampa. Ia membuka pintu, membiarkan dirinya jatuh di sofa tanpa melepas sepatu. Matanya memandang ke langit-langit, mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan yang menghantui pikirannya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia telah meninggalkan segalanya demi perasaan yang bahkan belum sempat ia ungkapkan. Dan kini, Elsa pun tidak ingin menemuinya.
Di atas meja, sebuah amplop cokelat kecil menarik perhatiannya. Ia membuka perlahan dan menemukan secarik kertas di dalamnya. Tulisan tangan yang rapi memenuhi halaman kecil itu. Surat dari Elsa.
"Abizar,
Aku tahu kau ingin bicara denganku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan atau bagaimana aku harus bersikap.
Yang aku tahu, aku lelah. Aku butuh waktu untuk berpikir, untuk mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan. Jangan datang lagi untuk sementara.
Elsa."
Membaca surat itu, Abizar merasakan dadanya sesak. Ia tahu bahwa ini bukan akhir, tapi rasa sakit yang ia rasakan malam itu begitu nyata. Ia menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan.
Di luar, hujan masih turun dengan deras, seolah-olah alam turut merasakan pergulatan yang sedang ia hadapi.