KESUNYIAN DALAM PANDANGAN

1156 Words
Abizar duduk di ruang tamu megah yang didekorasi dengan ornamen kayu jati dan lukisan antik, keheningan menyelimuti ruangan itu seperti kabut yang tak tersentuh. Di balik kaca jendela besar, pandangannya menerawang, namun pikirannya berkelana pada sosok yang akhir-akhir ini sering membayang di benaknya. Elsa. Gadis muda itu selalu hadir dalam hidupnya sebagai sosok yang penuh tawa dan kegembiraan, bagai sinar matahari yang menyusup melalui retakan tembok hatinya yang beku. Namun belakangan, sesuatu berubah. Elsa tidak lagi menyapa dengan senyum khasnya, dan tatapan jenaka yang biasa ia lihat dari balik matanya kini menghilang. Abizar menghela napas panjang. Entah kenapa, keheningan ini terasa menyesakkan. Padahal, ia adalah pria yang terbiasa dengan kesendirian, bahkan menganggapnya sebagai sahabat. Namun, seiring dengan jarak yang Elsa ciptakan, keheningan itu berubah menjadi beban yang tak bisa ia abaikan. "Kenapa harus merasa seperti ini?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Abizar menoleh dan melihat Elsa memasuki ruangan dengan langkah yang anggun. Wanita itu tampak tenang, nyaris terlalu tenang untuk seseorang yang biasanya ceria dan penuh canda. Tatapannya jatuh pada beberapa dokumen yang ia bawa, tanpa sedikit pun menatap Abizar. Hanya sekilas, lalu tatapan Elsa kembali tertunduk pada dokumen di tangannya, membuat Abizar merasa seperti ia adalah sekadar bagian dari ruangan ini. "Ini dokumen kontrak kerja yang Anda minta, Tuan Abizar," ujar Elsa dengan nada formal, suaranya jernih namun dingin. Abizar terdiam sesaat. Ia ingin membalas, sekadar menyapa atau mengajaknya bicara, tetapi mulutnya terasa terkunci. Hanya tatapannya yang mengikuti setiap gerakan Elsa dengan diam-diam, menelusuri wajahnya yang anggun dan ekspresi dingin yang kini menghiasi wajah yang biasanya lembut itu. "Terima kasih, Elsa," balas Abizar akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Elsa mengangguk tanpa kata, lantas berbalik. Abizar ingin menahannya, ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi, tetapi sesuatu menahannya—entah itu harga diri atau ketakutannya sendiri. Ia hanya bisa menatap punggung Elsa yang menjauh, meninggalkan ruangan dengan langkah ringan, namun membawa serta kehangatan yang dulu sempat menghuni ruangan itu. Setelah pintu tertutup, Abizar kembali tenggelam dalam keheningan, namun kali ini terasa lebih sunyi daripada sebelumnya. Perasaannya terasa berkelindan—ada kekosongan yang asing, menyusup dan menembus dinding-dinding tebal di hatinya. Sebagai pria yang tumbuh dalam lingkungan keluarga kaya dan terpandang, ia terbiasa hidup dengan kontrol penuh atas segalanya. Sepupunya Tomi Ebizawa, adalah seorang mafia ternama di Jepang, dan pengaruhnya memberinya status sosial tinggi. Namun, status dan kekayaan itu tak pernah benar-benar berarti baginya. Selama ini, ia menganggap Elsa sebagai sekedar Nona muda yang menjadi tanggung jawabnya. Tetapi kenapa kini kehadirannya menjadi penting? Kenapa kesunyian yang ditinggalkan Elsa membuatnya gelisah? "Apakah ini yang disebut... rindu?" pikirnya, merasakan sesuatu yang berdesir di dadanya, perasaan yang lama tak ia rasakan. --- Di dalam kamar sebelah ruangan Abizar, Elsa duduk dengan napas tertahan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap kosong pada salinan dokumen yang baru saja ia serahkan pada Abizar. Hatinya tak tenang, ada gejolak yang tak mampu ia kendalikan. Selama ini, ia selalu tersenyum dan berbicara dengan ceria kepada Abizar, meskipun pria itu selalu dingin dan formal. Ia tahu posisinya—sekadar nona muda yang harus menjaga jarak. Namun, ia selalu berusaha untuk menembus tembok dingin itu, berharap bisa merasakan sedikit hangat dari pria yang diam-diam selalu ia kagumi. Namun, perlahan Elsa sadar bahwa usahanya sia-sia. Abizar tak pernah benar-benar melihatnya, dan itu menyakitkan. Jadi, Elsa memutuskan untuk menjaga jarak, menjaga hatinya dari luka yang lebih dalam. Tapi kenapa, kenapa setiap kali ia melihat Abizar, ia merasa perasaan itu semakin sulit ia lupakan? “Elsa,” suara lembut kakaknya, Maya Agatha, terdengar dari ambang pintu. Maya memandang adiknya dengan tatapan penuh pengertian. “Kak Maya…” Elsa menunduk, menyembunyikan kerutan di keningnya. “Ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?” Maya duduk di samping Elsa, menyentuh bahunya lembut. Elsa menghela napas dan menggeleng pelan. “Tidak ada, Kak. Hanya saja… kadang aku merasa lelah.” “Lelah berusaha untuk orang yang tak melihatmu, mungkin?” tanya Maya dengan lembut, namun tepat sasaran. Elsa tertunduk, merasakan getar di dadanya. Kata-kata Maya menusuk tepat di lubuk hatinya yang terdalam. Tanpa sadar, ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan Abizar yang perlahan hadir kembali dalam benaknya. --- Sementara itu, di sisi lain rumah, Abizar masih terjebak dalam pikirannya. Ia berdiri dari kursi, berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman. Matanya menatap lurus ke arah luar, namun pikirannya masih tertuju pada Elsa. “Kenapa dia begitu berjarak sekarang?” tanyanya pada dirinya sendiri, merasa ada kekosongan yang semakin hari semakin dalam. Bayangan Elsa dengan senyumannya, caranya berbicara yang ceria, dan tatapan matanya yang tulus terlintas begitu saja. Setiap kenangan itu kembali, semakin membuatnya terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia definisikan. Hatinya terasa remuk, perasaan yang tak pernah ia izinkan untuk hadir tiba-tiba menyeruak, mendesaknya untuk mengakui sesuatu yang selama ini ia tolak. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. “Masuk,” ujar Abizar singkat. Darwin Luis, kakak ipar Elsa sekaligus mantan atasannya, melangkah masuk. Pria itu memandang Abizar dengan tatapan yang penuh sorotan tajam, seolah memahami sesuatu yang Abizar sendiri masih belum ingin akui. "Abizar," suara Darwin terdengar tegas. "Aku ingin kau ingat, Elsa adalah tanggung jawab kita. Jangan membuatnya terluka." Abizar terdiam, merasa tersentuh namun juga tertekan oleh kata-kata itu. Tanggung jawab, kata yang selama ini ia pegang teguh. Tapi apakah benar ia hanya ingin menjaga Elsa sebagai tanggung jawab? Ada perasaan yang lebih dalam dari sekadar tanggung jawab, sesuatu yang semakin sulit ia pungkiri. "Elsa bukan hanya tanggung jawabku, Darwin," balas Abizar dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Aku hanya… tak tahu bagaimana cara menghadapinya." Darwin menghela napas panjang, memahami bahwa di balik sikap dingin Abizar, tersembunyi rasa yang tak bisa diabaikan. Ia menepuk bahu Abizar, memberikan dukungan yang tak diungkapkan melalui kata-kata. "Selesaikan dengan baik, Abizar. Jangan sampai kau menyesal," ucap Darwin sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkan Abizar yang kembali terdiam. Kembali, keheningan menyelimuti Abizar, namun kali ini, keheningan itu berbicara banyak. Ia menyadari bahwa Elsa bukan hanya bagian dari rutinitasnya. Ada perasaan yang berbeda, perasaan yang selama ini ia tutup rapat. --- Sore itu, Elsa berjalan di taman belakang rumah, mencoba menenangkan diri. Angin sepoi-sepoi mengelus wajahnya, membawa ketenangan yang ia butuhkan. Namun, ketenangan itu pecah ketika ia melihat sosok Abizar berdiri tak jauh dari tempatnya. Abizar hanya memandanginya dari kejauhan, namun tatapan itu mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam. Elsa menghela napas, berusaha mengabaikan, namun hatinya terasa berat. Ia ingin bertanya, ingin tahu apakah Abizar pernah merasakan sedikit saja perasaan yang sama. Namun, sebelum ia sempat bertindak, Abizar berjalan mendekat, menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut daripada biasanya. “Elsa…” Abizar memanggil namanya dengan suara yang lembut, berbeda dari nada dingin yang biasa ia gunakan. Namun, Elsa memilih menoleh ke arah lain, menyembunyikan rasa yang mulai menyeruak di hatinya. Ia tahu, jika ia membiarkan perasaannya menguasai, ia akan kembali terluka. “Elsa, dengarkan aku…” Abizar mencoba lagi, namun Elsa melangkah menjauh, meninggalkannya tanpa sedikit pun menoleh, meninggalkan Abizar dalam kesunyian yang asing dan menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD