“Menantu model opo kamu ini, Rangga? Berani kamu sama, Ibu?” Di saat ketegangan sedang berada di puncaknya, Widya datang membawa koper di tangannya. Wajahnya terlihat tegas dan tatapan matanya begitu menantang.
“Ada apa ini? Berani kamu mengatai anak saya? Mertua macam apa, Anda ini? Seharusnya Anda didik baik-baik anak perempuan Anda, agar tidak berani sama suami. Selama ini Rangga diam saja dengan sikap istrinya, tapi saya sebagai ibunya sangat keberatan. Rangga menikah lagi, itu atas perintah saya. Makanya kamu berubah, Ven! Suami kamu itu bukan sekedar suami yang harus memenuhi nafkah lahir dan batin kamu, tapi dia juga pemimpin rumah tangga yang seharusnya kamu hormati.”
“Loh, Ibu bawa koper segala, Ibu juga mau tinggal di sini?” tanya Veni bingung. Ia justru mengalihkan pembicaraan Ibu mertuanya.
“Iya, kenapa? Memangnya ibumu saja yang bisa tinggal di sini? Satu lagi, jangan kebiasaan mengalihkan pembicaraan, tidak baik.”
“Iya, Bu, maaf. Tapi kalau Ibu mau menginap, mau tidur di mana? Kamar di rumah ini, hanya ada tiga.”
“Terus? Maksud kamu saya harus tidur di sofa? Kamu tidur sama ibumulah. Biar kamarmu, Ibu yang tempati.”
Walaupun wajah Veni menandakan ke tidak setujuan, namun, Widya tetap masuk membawa kopernya.
Kokom pun tampak tak berkutik. Kali ini ia hanya diam tanpa banyak bertanya pada sang besan. Ia sadar posisinya hanya menumpang, bukan pemilik.
Veni mengikuti langkah ibu mertuanya yang memasuki kamarnya.
“Ambil dan bawa Nazira keluar. Ibu mau istirahat. Cepat Veni!” Veni yang terdiam pun tersentak kaget.
“Iya, Bu.” Dengan perasaan sedih, Veni menggendong Nazira dan membawanya keluar.
“Mas, ibu kamu itu benar-benar enggak punya hati. Kalian ini sebenarnya kebagian perasaan tidak sih, waktu lahir? Menjengkelkan!” Veni menggerutu kesal. Sedang Rangga dan Kumala hanya senyum-senyum sembari menonton televisi.
“Ini, tolong jaga Nazira. Biar kamu sudah punya istri lagi, bukan berarti kamu lepas tangan menjaga anak kita.”
“Mbak tidak lihat kita sedang apa?” ucap Kumala sembari menggenggam erat tangan Rangga.
“Kalian lagi pamer kemesraan. Jangan harap aku akan cemburu.”
“Kenapa marah-marah kalau tidak cemburu? Jangan mengenakan, Mbak. Sini biar Nazira aku jaga. Mbak Veni mau ke mana?”
“Mau menyusul Ibu. Ibu tadi keluar, paling ke rumah sebelah.”
“Oh ya sudah. Yang penting bukan mau nyinyirin orang Mbak.”
Veni langsung melengos pergi, setelah Nazira berpindah tangan.
******
“Mau ke mana, Veni tadi?” tanya bu Widya saat menantunya baru saja keluar.
“Katanya ke tetangga sebelah sih, Bu. Mencari ibunya,” sahut Kumala yang saat ini tengah hati-hati menjaga keponakannya yang tengah ia baringkan di sofa.
“Bu, biarkan saja Veni tidur di kamarnya. Ibu tidur saja sama bu Kokom,” usul Rangga yang mengerti akan kegelisahan istrinya. Veni paling tidak bisa jika tidak tidur di kamarnya. Dia akan susah sekali terpejam, jika bukan berada di kamarnya.
“Oke. Biar Ibu tidur sama ibunya Veni. Tidak masalah. Tidur sama nenek lampir, semoga tidak membuat Ibu strok mendadak.”
“Sampai kapan kita bermain peran seperti ini, Bu? Kumala kasihan sama mbak Veni. Biar sejahat apa pun dia, dia sedang mengasuh Nazira. Kumala tidak mau sampai mbak Veni terkena sindrom babybluse nantinya.”
“Setidaknya sampai dia sadar kalau ibunya itu tidak pantas dia tiru. Ibu tidak mau menantu Ibu julid seumur hidup.”
“Tapi enggak harus begini juga, Bu. Kita bisa menegur mbak Veni pelan-pelan. Memang mbak Veni selama ini cuek, bahkan tidak mau tahu dan tidak pernah tahu tentang Kumala, tapi bukan berarti kita sejahat ini untuk membohonginya, Bu.”
“Tidak ada cara lain. Kalau hanya ditegur lewat mulut, yang ada hanya kisruh berkepanjangan. Sudah jangan mendebat Ibu! Ibu yakin dengan cara ini, kita akan berhasil membuat Veni menjadi lebih baik.”
“Rangga menurut Ibu saja. Selama itu demi kebaikan Veni dan juga rumah tangga kami, Rangga ikuti saja Bu.”
Nah bagus. Iya sudah, ayo pada istirahat siang. Sana bawa Nazira ke kamar kalian. Ibu mau ke kamar Kokom. Ibu mengantuk.”
“Iya, Bu. Kumala tidur sama Nazira siang ini. Hitung-hitung mengurangi stresnya mbak Veni.”
*****
“Mau apa lagi Bude kesini? Tari lagi enggak mau ribut sama Bude.”
“Enggak usah kegeeran kamu. Aku kesini cuman mau kenalan sama tetangga baruku.”
“Siapa, Bude?”
“Yang tadi baca buku di teras.”
“Oh, Ibu. Nanti ya, Ibu masih mandi. Bude mau menunggu, atau mau pulang dulu?”
“Ya menunggu dong, masa mau pulang? Cuman mandi kok, bukan cuci piring setumpuk. Sebentar lagi, paling juga sudah selesai. Sana kamu buatkan minum. Masa tamu dianggurkan saja. Jangan makan gaji buta jadi pembantu,” sahut Veni kesal.
“Iya sudah kalian tunggu saja sampai Ibu selesai. Tari buatkan teh dulu.” Tari pun ke belakang untuk membuat teh. Di pintu dapur, ia melihat ibu mertuanya selesai mandi dan melepas handuk yang melilit rambutnya yang basah.
“Ibu ada tamu di depan. Katanya mau kenalan,” ucap Tari pada Ajeng yang tengah menjemur handuk.
“Siapa, Nduk? Memangnya di sini ada yang kenal sama Ibu? Baru juga semalam Ibu sampai.”
“Bude Kokom dan anaknya Bu. Ibu temui saja. Tari mau membuatkan teh dulu.”
“Oh, iya Nduk. Budemu yang jahat itu toh tamunya? Iya sudah, Ibu temui dulu.”
Ajeng pun menuju ruang tamu dengan tergesa.
“Eh, ada tamu. Maaf saya baru selesai mandi, Bu. Ada perlu apa kemari?” tanya Ajeng yang sudah duduk di sofa dengan rambut tergerai basah. Perempuan yang sudah berumur, namun kulit tetap kencang dan awet muda itu, duduk dengan tenang di hadapan Kokom dan Veni.
“Kami hanya mau kenalan dengan tetangga baru, Bu. Kebetulan rumah kita bersebelahan,” sahut Kokom dengan percaya dirinya.
“Oh, iya salam kenal Bu. Saya Ajeng,” ucap Ajeng sembari mengulurkan tangan pada Kokom yang matanya sudah berbinar sejak tadi. Manusia seperti Kokom sangat menyukai orang kaya. Berjabat tangan dengan orang kaya, sudah membuat hatinya bahagia.
“Saya Kokom Bu. Kokom Syarifah lengkapnya,” sahut Kokom sembari membalas ukuran tangan Ajeng dengan menjabat dan menciumnya.
“Ngomong-ngomong pembantu Ibu lele sekali. Tenggorokan saya sudah kering ini,” celetuk Kokom.
“Pembantu? Pembantu yang mana, ya? Anak dan menantu saya tidak memiliki Pembantu,” sahut Ajeng bingung.
“Oh lupakan saja, Bu. Ibu saya hanya tidak sabar mau minum.”
“Apa, Ibu akan tinggal di sini? Yang saya tahu, rumah Ibu sangat besar bak istana di Semarang,” ucap Veni.
“Maaf, tapi saya ke sini hanya untuk menginap beberapa pekan saja. Ini rumah milik anak dan menantu saya,” sahut Ajeng sembari membenarkan posisi duduknya.
“Anak dan menantu Ibu? Saya belum pernah melihat mereka,” sahut Kokom.
“Firman sama Lestari. Mereka anak dan menantuku. Yakin kalian tidak pernah melihat mereka? Kata Tari kalian masih keluarga. Keluarga kok begitu?”
“Apa? Jadi benar rumah ini milik mereka?” tanya Veni kaget.
“Iya. Ada apa memangnya? Ada yang salah?”
“Maaf, Bu. Tidak ada. Ya sudah kami permisi pulang, Bu. Salam kenal,” ucap Kokom dengan tangan yang sedikit bergetar, hendak berpamitan pada Ajeng. Rupanya Kokom syok berat. Jadi suami Lestari yang selama ini ia hina, adalah anak orang kaya?
“Kok buru-buru, Bude? Tari baru selesai membuat tehnya loh. Ini spesial untuk Bude. Bude!"
Kokom dan Veni tidak menghiraukan teriakan Tari. Mereka pulang dengan menanggung rasa malu.