Setelah menghela napasnya berkali-kali, Rinjani memutuskan untuk merebahkan dirinya ke atas kasur, kemudian menatap langit-langit kamarnya lelah. Tidak peduli pada handphone yang terlalu berisik karena notifikasi, ia hanya menfokuskan matanya kepada platform putih yang selama ini telah melindunginya dari terik matahari juga hujan badai.
Mungkin sudah hampir satu jam, tetapi Rinjani pikir kepalanya masih sangat ramai. Kekakuan mulai merambat naik sampai ke pundaknya dan ia memutuskan untuk masuk ke kamar mandi. Tanpa melepaskan pakaiannya Rinjani langsung memasukkan kepalanya ke dalam bak. Ia berteriak sekencang-kencangnya, menciptakan gelembung-gelembung air. Menghabiskan napasnya di dalam air, lalu menyalakan shower untuk kemudian berdiam diri di bawah pancuran air dingin tersebut.
Sudah hampir satu minggu ia menjadi pengangguran, tapi tak sekali pun waktu ia lalui dengan penuh kedamaian. Rinjani sadar betul kalau ia harus segera mendapatkan uang, tetapi dari semua lamaran pekerjaan yang sudah ia berikan kepada berbagai sekolah juga tempat bimbel belum ada yang mendapatkan respon baik.
Sama sekali tidak ada yang membutuhkan guru, sementara Rinjani tidak bisa berbuat banyak lantaran ijazahnya berlatar belakang Pendidikan. Pernah ia coba untuk pergi ke perusahaan, namun ditolak karena usianya yang sudah terlajur matang.
Selama satu jam Rinjani berada di bawah guyuran air dingin, bibirnya sudah membiru dan bahkan matanya membengkak merah. Layaknya seekor zombie, Rinjani keluar dari kamar mandi dengan terhuyung. Ia mengabaikan air yang menetes dari keseluruhan tubuhnya, lalu meraih handuk yang kebetulan ia tempatkan di atas sofa.
Suara deringan telepon masuk membuat Rinjani bergerak ke kamarnya. Laptopnya masih menyala di atas kasur, menampilkan CV yang siap untuk dikirim melalui email.
“Ya,” sapa Rinjani santai setelah mengetahui kalau Akila adalah orang yang menghubunginya.
“Lo nggak lupa kalau minggu ini harus ke sini, kan?”
Rinjani terdiam. Ia sudah sepenuhnya lupa tentang wacana untuk mengunjungi temannya tersebut. Kekacauan yang terjadi pada dirinya baru-baru ini sudah pasti menjadi penyebab dari kealpaan itu.
“Ya,” jawab Rinjani.
Giliran Akila, sahabatnya yang terdiam di seberang sana. Entahlah, Rinjani tidak mau terlalu memikirkannya. Lalu percakapan mereka berakhir begitu saja, tanpa basa-basi. Hanya berakhir dengan tiga kalimat tersebut.
*
Akila mengerutkan kening seolah ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya. Mata perempuan itu bahkan tidak berkedip selama beberapa detik dan Rinjani tidak peduli. Lebih tepatnya, ia sudah memprediksi reaksi sahabatnya itu selama dalam perjalanan tadi.
“Lo nggak kerja?”
Rinjani menggeleng.
Kerutan pada dahi Akila semakin menjadi. Jawaban Rinjani barangkali menjadi sesuatu yang paling tidak masuk akal untuk diketahuinya.
“Ini hari Rabu, kan?” Akila bertanya lagi.
“Karena kemarin hari Selasa, iya,” jawab Rinjani. “Ini hari Rabu.”
“Terus ngapain lo ke sini?” tanya Akila dengan suara tinggi. Sahabatnya itu memiliki darah rendah, tetapi jika bersama dengan Rinjani, Akila mudah sekali mendidih hanya karena hal-hal kecil. “Kantor lo bangkrut?”
Rinjani mengabaikan pertanyaan Akila. Sebaliknya ia justru fokus kepada penampilan Akila yang terlihat seperti orang bangun tidur. Bisa jadi perempuan itu memang baru bangun tidur, karena bangun siang bukan lagi sebuah aib bagi masyarakat sekarang. Rinjani sendiri bahkan baru membuka mata tepat sebelum memutuskan untuk mengunjungi Akila. Setelah mendapatkan telepon dari Akila, ia langsung memutuskan ke sini tanpa perlu menunggu hari Sabtu.
Rinjani memutuskan untuk merebahkan diri, ia masih belum menjawab pertanyaan Akila karena sibuk mengurus punggungnya yang berteriak lelah. Perjalanan empat jam hampir menguras semua energi kehidupan yang ia miliki.
“Rin!”
“Gue resign!”
“Oh.” Akila mengangguk. Lalu seolah baru sadar ia langsung melotot hebat. “What?”
“Dipecat sih sebenernya.”
“Hah!”
Rinjani hanya menatap kedua mata Akila, lalu pertanyaan sahabatnya itu tidak meleset dari apa yang dibayangkan oleh Rinjani.
“Terus utang, Lo?”
Dua belas tahun menjalin pertemanan membuat Rinjani tahu bahwa ia tidak akan mungkin ditodong dengan pertanyaan ‘kenapa bisa dipecat’ oleh Akila. Pertanyaan itu terlalu umum dan banyak orang lain menggunakannya pada kesempatan seperti ini.
“Tanggungan? Cicilan?” Akila bersuara lagi.
“Nanti gue cari kerja lagi.”
Rinjani mengalihkan tatapannya ke jendela. Mendadak rongga dadanya sesak dan ia kembali merasakan lelah yang luar biasa. Kehidupan semakin lama semakin membuatnya terkubur, sementara utang membuat kepalanya tetap terjaga.
“Udah makan?” tanya Akila. Perempuan itu mengerti jika membahas utang dan pekerjaan akan membuat Rinjani semakin terluka. “Gue nggak ada makanan.”
Rinjani mendengus. Ia melihat layar laptop Akila yang terbagi menjadi empat bagian. Sebelah kiri atas adalah word tempat ia menulis tesis, sementara di bawahnya terbuka beberapa jurnal penelitian. Untuk bagian kanan atas ia isi dengan jendela google dan terakhir di bagian kanan sebelah bawah adalah aplikasi untuk membuat kurva dan sejenisnya. Sahabatnya itu memang sedang dalam pembuatan tesis, tugas akhir untuk pendidikan S2-nya.
“Lo belum makan juga?”
Akila mengangguk.
“Ayo keluar,” ajak Rinjani. “Gue belum makan dari kemarin.” Dan mereka tersenyum bersama. Mungkin karena berteman lama, mungkin juga karena tengah menghadapi rumitnya isi kepala, keduanya sudah tidak pernah lagi peduli akan pola hidup.
*
Jam dua pagi, Rinjani terbangun bersamaan dengan suara alarm-nya yang memekakkan telinga. Suara rekaman dirinya sendiri itu menjerit dan mengingatkan dirinya untuk bekerja. Tidur terlalu mewah untuk Rinjani yang memiliki utang tiada jeda.
“Alarm yang baik.”
Rinjani menolah dan baru tersadar kalau ia berada di dalam kamar Akila. Perempuan yang bahkan belum tidur itu sibuk memainkan sebuah game di ponsel pintarnya. Menilik dari layar laptop yang masih menyala, Rinjani tahu bahwa sahabatnya itu begadang karena harus menyelesaikan tesis.
“Udah selesai belum?” tanya Rinjani tanpa menjawab pertanyaan Akila.
“Apa?”
Rinjani mengedikkan dagunya ke arah laptop, lalu berkata pelan. “Kerja?”
Akila mengangguk, kemudian menggeleng. Dan Rinjani tidak bersuara lagi, ia harus ke kamar mandi untuk kemudian bersiap-siap. Pekerjaan sudah menunggunya.
“Seharusnya gue tahu kalau resign nggak resign, lo tetap punya pekerjaan.”
Rinjani tersenyum, kemudian mengamati penampilannya yang baru saja ia sempurnakan dengan polesan lipstiks.
“Gimana?” tanya Rinjani sembari memamerkan bibirnya.
“Good. Bisalah buat nyenangin sugar daddy,” jawab Akila yang membuat tawa Rinjani mengudara.
*