“Wah, serius?” tanya Miss Gita membulatkan matanya tidak percaya. “Dalam minggu ini harus dapat lima siswa?”
Rinjani mengangguk pelan sembari mengunyah makan siangnya yang tidak lagi terasa nikmat.
“Gila.” Miss Nana selaku bagian administrasi di tempat Rinjani menjadi pengajar, ikut menimpali.
“Ibu memang seperti itu.” Bu Lusi berkomentar. “Dia tidak suka kesalahan-kesalahan kecil, apalagi kesalahan fatal seperti yang Miss Rinjani lakukan.”
Rinjani tidak memberikan tanggapan apapun.
“Menolak siswa itu artinya menolak uang masuk.”
“Iya.” Miss Hanum, kepala administrasi di kantor mereka akhirnya membenarkan. “Nyonya sangat sensitif kalau udah tentang uang.”
Diantara semua orang yang bekerja di bawah pimpinan Jia Li, Miss Hanum adalah satu-satunya yang bisa menyematkan panggilan aneh terhadap Jia Li. Selain karena janda anak satu itu merupakan orang kepercayaan Jia Li, Miss Hanum merupakan satu-satunya orang yang bekerja di sini karena ia merupakan kenalan Jia Li di luar pekerjaan.
“Tapi saya menolak bukan karena nggak ingin mengajarnya, Bu,” jawab Rinjani setelah hanya mendengarkan teman satu tempat kerjanya berbicara. “Anak itu nggak berbicara sama sekali, dia juga nggak menanggapi pembicaraan saya. Terlihat seperti anak yang berkebutuhan khusus, tetapi dia normal.”
“Saya paham,” ujar Bu Lusi. “Dulu saya juga pernah mendapatkan siswa yang seperti itu.”
“Terus Bu Lusi tetap ngajarin?” tanya Miss Nana. Sebagai karyawan yang paling baru bekerja di tempat les mereka, perempuan itu selalu bertanya setiap Bu Lusi memulai pembicaraannya dengan kata ‘dulu’.
“Iya,” ujar Bu Lusi menjawab perkataan Miss Nana. “Justru dia sampai lulus kelas enam dengan saya.”
Rinjani langsung menolehkan kepalanya kepada Bu Lusi. “Ibu dulu kuliah di jurusan pendidikan luar biasa?”
Bu Lusi menggeleng. “Saya kuliah jurusan pendidikan dasar.”
Rinjani terlihat bingung sehingga Bu Lusi mengulum senyumnya. “Saya juga nggak pernah punya latar pendidikan untuk anak-anak seperti itu. Tapi kalau bekerja di sini harus bisa apa saja, Miss Rinjani.”
Rinjani hampir mendengus, tetapi ia berhasil menutupinya dengan sebuah senyum tipis. “Tapi kasihan anak orang.”
“Nyonya nggak mengenal kata kasihan, Miss Rinjani.”
Lalu semua orang tertawa kecil setelah mendengar ucapan Miss Hanum.
“Tadi itu siapa?” Miss Gita tiba-tiba bertanya.
“Oh iya,” ujar Miss Hanum seolah baru tersadar. “Gimana tadi?” tanyanya sembari menatap wajah Rinjani. “Bapaknya ganteng tapi terlihat menakutkan.”
“Bener,” kata Miss Nana. “Aku sampe merinding lho tadi waktu dia nanya tentang Miss Rinjani?”
“Oh, itu papanya Himalaya yang Miss Rinjani tolak itu?” tanya Miss Gita menebak.
Rinjani mengangguk, kemudian menggeleng. “Nggak gimana-gimana, dia bertanya alasan saya menolak anaknya. Jadi saya jelaskan kalau tempat les kita memang nggak punya divisi yang khusus menangani anak-anak seperti Himalaya.”
“Papanya mengerti?” tanya Bu Lusi.
Rinjani tidak yakin akan hal itu, tetapi ia tetap mengangguk pelan. Lagi pula Adam terlihat sangat pintar, pria tersebut tidak mungkin membiarkan anaknya belajar di tempat ini setelah Rinjani mengatakan dengan jelas kalau Himalaya tidak akan mendapatkan kemajuan yang berarti di bawah bimbingannya.
*
Barangkali penglihatannya menipu Rinjani, tetapi setelah beberapa kali mengerjapkan mata Himalaya memang berdiri di sana, di depan pintu kelasnya bersama dengan Miss Nana. Gadis kecil itu terlihat cantik sebagaimana ingatan Rinjani, rambut panjang sepunggung Himalaya diikat sebagian, sementara sebagian lainnya dibiarkan lepas terurai.
“Miss,” sapa Miss Nana. “Himalaya jadi join sama kita dan papanya minta kelasnya dimulai per hari ini.”
Rinjani hanya bisa mengangguk pelan. Tubuhnya masih membatu kaku, seolah seluruh selnya dibekukan paksa. Bahkan setelah Miss Nana meninggalkan mereka berdua, Rinjani masih belum bisa menemukan reaksi tubuhnya yang lain. Seolah-olah ia memang telah menjelma menjadi sebuah patung di hadapan seorang anak kecil yang terlihat tidak peduli sama sekali dengan keberadaan Rinjani.
Lalu bersamaan dengan langkah ringan Himalaya saat memasuki kelasnya, seluruh darah Rinjani mengaliri semua organ dalam tubuhnya. Kesadarannya kini kembali dan Rinjani spontan mengembangkan senyum saat menyapa Himalaya.
“Hai, Cantik.”
Kalau Rinjani mengharapkan Himalaya menjawab sapaannya, maka sudah jelas ia salah besar. Sebagaimana hari pertama pertemuan mereka, Himalaya masih tetap gadis kecil cantik yang menderita speech delay. Perempuan dengan baju kaus bergambar kucing tersebut bahkan tidak menoleh ketika disapa Rinjani.
“Mau duduk di mana, Sayang?” Rinjani kembali mengajak bicara. Karena ia benar-benar belum tahu cara berkomunikasi dengan Himalaya. Berita buruknya, Rinjani justru tidak bisa memastikan apakah Himalaya mengerti dengan kata yang ia ucapkan. Kendati demikian, sebagai seorang guru ia merasa bertanggungjawab atas Himalaya semenjak anak tersebut memasuki kelasnya.
“Himalaya duduk di sini ya,” pinta Rinjani lembut ketika Himalaya belum menentukan tempat duduknya. “Tasnya dilepas dulu, Sayang.”
Himalaya menatap Rinjani, gadis kecil itu melihat Himalaya tanpa berkedip. Mungkin merasa asing atau bisa jadi terganggu oleh Rinjani yang selalu mengajaknya bicara.
“Miss bantu lepasin tasnya dari punggung Himalaya, ya,” ujar Rinjani dengan senyum lembut. Biasanya senyum Rinjani mampu membuat siswa luluh, lalu menyukai perempuan dewasa tersebut pada detik pertama. Tapi tentu saja hal itu tidak berlaku untuk Himalaya dan Rinjani tahu bahwa selama lima puluh menit berikutnya akan menjadi lima puluh menit terpanjang dalam hidupnya.
*
“Isteriku melihat anakmu di tempat les.” Diego berbicara santai sembari menyeruput soda dingin di ruang kerja milik Adam. Mereka baru kembali dari ruang meeting setelah menghabiskan waktu selama hampir empat jam di dalam sana.
“Aku hanya ingin membuktikan perkataanmu.”
Diego menaikkan sebelah alisnya tinggi. Sudut bibirnya berkedut samar, tapi suaranya masih terdengar santai ketika bertanya, “Lalu?”
Sekarang giliran Adam yang menaikkan sebelah alisnya untuk merespons pertanyaan Diego.
Diego terkekeh. “Aku benar,” katanya. “Dia yang terbaik.”
“Aku tidak yakin,” jawab Adam akhirnya. “Tempat itu hanya tempat les biasa. Tidak ada yang istimewa. Bahkan dia terang-terangan menolak anakku.”
“Tunggu sebentar,” kata Diego. “Dia menolak anakmu?”
Adam mengangguk kesal. “Perempuan itu mengatakan kalau anakku tidak bisa diajak untuk berkomunikasi.”
Kening Diego sudah tidak segan memperlihatkan lipatan penuh kebingungannya. “Gita?” Diego bertanya. “Maksudku Miss Gita?”
“Rinjani.”
“Aku tidak ingat menyarankan nama itu kepadamu, Adam.”
“Apa maksudmu?” tanya Adam cepat.
“Gita sangat profesional di bidangnya. Aku tidak mengatakan tempat itu istimewa. Seperti yang kau katakan, tempat itu hanya tempat les biasa. Sama seperti yang lain, tapi perempuan itu benar-benar yang terbaik yang pernah aku temukan. Sejauh ini anakku menunjukkan kemajuan yang pesat dalam pelajarannya.”
Adam tidak sempat membalas ucapan Diego karena ponselnya bergetar dan deretan nomor tidak dikenal memberinya sebuah pesan. Orang itu tidak harus mengenalkan diri secara formal, karena Adam langsung tahu pengirimnya hanya dengan membaca pesan singkat tersebut.
“Kurasa yang satu ini tidak buruk juga.”
Oleh ucapan Adam yang tiba-tiba, kedua alis Diego menyatu selama sepersekian detik untuk kemudian bahunya terangkat acuh. “Well,” katanya. “Mungkin tempat itu sedikit istimewa.”
*
Adam belum sepenuhnya mencari tahu, jadi ia belum bisa menarik kesimpulan. Langkahnya semata-mata hanya berdasarkan ucapan Diego, di mana pada akhirnya ia sampai pada orang yang berbeda.
Dirinya bahkan mengerutkan kening begitu melihat tempat les yang direkomendasikan oleh Diego. Tempat itu hanya berupa ruko kecil tiga lantai, kemudian disekat gypsum untuk menciptakan beberapa ruang kelas. Benar-benar hanya tempat les biasa, mungkin juga dengan pengajar yang tidak terlalu mumpuni.
Dan ia membiarkan puteri tunggalnya untuk belajar di sana. Suatu kesalahan yang Adam lakukan terhadap proses tumbuh dan berkembang Himalaya, hanya karena merasa kesal atas penolakan Rinjani terhadap puteri kecilnya itu.
“Jadi,” kata Rinjani memulai. “Ada yang bisa saya bantu?”
Saat ini pun ia bersikap impulsif dengan mendatangi tempat duduk Rinjani dan membuat perempuan berambut pendek itu terkejut saat menatap kemunculannya.
“Saya ingin membicarakan tentang anak saya.”
Rinjani hampir saja menaikkan alisnya, tetapi ia mampu meninggalkan niatnya tersebut pada detik terkahir. Sehingga berujung pada kedua sudut bibirnya yang melengkung naik. Rinjani tersenyum sopan sebagai seorang profesional. “Maaf?”
“Saya ingin laporan tentang pembelajaran Himalaya hari ini.”
Sepertinya kebisingan malam minggu membuat Rinjani ditipu oleh pendengarannya sendiri. Sampai-sampai ia butuh mendengar perkataan Adam sekali lagi. Hanya saja saat menatap wajah Adam yang terlihat menunggu jawabannya, Rinjani yakin jika telinganya tidak mengalami masalah pendengaran.
“Laporan saya akan sama persis dengan apa yang saya sampaikan kepada anda melalui chat whatsapp.” Masih dalam usaha mempertahankan senyum profesionalnya, Rinjani menutup laptop yang berada di hadapannya. “Kalau tidak ada hal lain, saya permisi,” kata Rinjani.
Ia sudah terlalu risih ketika mendapati dirinya menjadi pusat perhatian semenjak Adam tiba-tiba muncul di hadapannya. Suatu kebetulan yang tidak pernah diharapkan Rinjani akan hadir mengisi harinya.
“Selama satu jam,” kata Adam. “Apa tidak ada yang bisa anda lakukan?”
Bisa jadi karena terbiasa menganalisa, lalu mengambil kesimpulan. Rinjani selalu tahu kapan kesulitan akan menghampirinya dan saat ini salah satu kesulitan itu benar-benar ada di hadapannya. Menunggu Rinjani untuk menerima, kemudian ia pelajari untuk akhirnya ia pecahkan.
“Saya tidak membahas siswa dengan orang tuanya di luar tempat les.” Rinjani kembali tersenyum sopan. “Anda bisa datang ke tempat les untuk membahas Himalaya. Saya permisi.”
Setelah semua kesimpulan yang bergerombolan masuk ke benak Adam, sikap Rinjani menjadi alasan yang paling masuk akal atas keputusannya untuk membiarkan Himalaya belajar di bawah bimbingan wanita tegas tersebut.
*