Meet Again

975 Words
Pagi telah tiba. Kegelapan malam telah menghilang, digantikan terang yang sempurna karena matahari sudah menampakkan keseluruhan wujudnya. Sinar hangat yang dihasil oleh pusat tata surya itu merambat masuk mengenai selimut tebal yang dipakai Rinjani untuk menutupi tubuhnya. Seolah tersadar bahwa hari telah berganti, perempuan itu membuka mata perlahan. Lantas tangannya bergerak pelan untuk mencari handphone. Lalu ketika mendapatkan benda tersebut di bawah bantal, Rinjani langsung mengusap layarnya dan memastikan waktu. Dirinya mengerjap mata beberapa kali sebelum membuat celah di selimutnya untuk mengeluarkan kepala. Rinjani menatap lama pada langit-langit kamar. Matanya masih mengantuk dan godaan untuk kembali masuk ke dunia mimpi terlalu besar untuk diabaikan. Matanya sudah hampir terpejam jika saja ponselnya yang tidak berdering nyaring. “Bangun, Rinjani.” Rinjani mendengar suaranya sendiri. “Saatnya bangun dan pergi bekerja. Kumpulkan uang yang banyak.” Tangan Rinjani kembali menggapai mencari ponselnya. “Karena kamu bukan sultan.” “I know,” teriak Rinjani setelah menekan pilihan off pada layar handphone yang baru saja memperdengarkan rekaman suaranya sendiri. Kedua kelopak matanya masih terasa berat, tetapi Rinjani tahu bahwa ia memang harus bekerja. Oleh karena itu ia bangkit dari tempat tidur, kemudian sebuah notifikasi chat membuat Rinjani tersadar akan suatu hal. Ia sudah dipecat. Mengingat kembali kejadian kemarin membuat rasa kantuk Rinjani terkikis habis. Menyisakan keinginan untuk bermalas-malasan sepanjang hari. Lagi pula ia memang tidak pernah benar-benar memiliki waktu untuk bersantai. Dari Senin sampai Minggu selalu diisi dengan pekerjaan, bahkan tak jarang Rinjani mengorbankan waktu tidur. Mengambil kembali ponselnya, Rinjani mulai memilih membuka beberapa aplikasi sampai akhirnya berhenti pada salah satu aplikasi untuk menonton video. Jarinya dengan lincah menggulir layar, beberapa video mendapat perhatiannya. Mulai dari video anak kecil yang sedang diwawancara oleh Steve Harvey, beberapa kata-kata motivasi sampai akhirnya ia terpaku pada video panjang yang memperlihatkan keindahan Switzerland. Pemandangan alamnya benar-benar terlihat seperti sebuah negeri di dalam dongeng. Langit yang jernih, pegunungan hijau, danau, air mancur serta rumah pedesaan yang asri. Dari tempat tidurnya sekarang Rinjani hampir bisa merasakan betapa tenangnya hidup desa impian tersebut, menghirup udara bersih dan jauh dari hiruk pikuk manusia. Seandainya saja ia tidak hidup untuk membayar semua perbuatan keluarganya, maka dengan semua kerja keras Rinjani selama ini, bisa jadi ia sudah duduk di atas perahu untuk melihat pantulan benda tersebut karena kejernihan air Blausee, danau biru yang terletak di Distrik Frutigen, Swiss. Tidak sengaja teringat akan fakta tersebut membuat mood Rinjani hancur seketika. Lalu disusul oleh rasa lapar yang tak tertahankan, persis seperti orang yang sudah lama tidak mendapatkan makan. Karena tidak ingin menyiksa diri lebih lama, Rinjani memilih untuk meninggalkan kenyamanan kasurnya dan bergerak menuju dapur. Lantas tersadar bahwa ia tidak memiliki satu jenis bahan makanan pun di kulkasnya kecuali sebungkus es krim. “Bagus, Rinjani,” gumamnya bermonolog. “Lain kali nggak perlu repot-repot mengisi paru-paru kamu dengan oksigen. Supaya bukan perut kamu saja yang kosong.” Rinjani mendengar jawaban untuk perkataannya sendiri. Dan ia spontan mengusap perut sembari satu tangannya mengambil es krim dari dalam kulkas. “Tenang.” Rinjani berbisik seolah ada seseorang di dalam perut ratanya tersebut. “Kamu udah lama mengenal ini.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Rinjani langsung memakan es krimnya dengan lahap. Kemudian kembali ke kamarnya dan kali ini benar-benar untuk memejamkan mata. Sebab ia tidak mau merasakan lapar lebih lama. * Rinjani kelaparan. Satu bungkus es krim ternyata tidak cukup menenangkan lambungnya untuk waktu yang lama. Rinjani membutuhkan sesuatu yang layak disebut sebagai makanan dan oleh karena itulah ia berada di sini. Di tengah-tengah keramaian food court apartemen yang ia tinggali selama hampir satu tahun ini. Dalam kurun waktu tersebut, baru kali ini Rinjani benar-benar memperhatikan lingkungan tempat tinggalnya. Dan ia sedikit terkejut ketika mendapati tempat itu ditinggali oleh orang-orang seusia dirinya. Tidak semuanya,tapi hampir keseluruhannya adalah manusia dalam rentang usia seperempat abad sampai dengan tiga puluhan awal. Mengingat harga yang harus dikeluarkan untuk tinggal di apartemen sederhana ini masih terjangkau, hal itu bukanlah suatu yang mengherankan seharusnya. Terlebih jika menilik dari kemajuan teknologi, banyak orang yang menghasilkan uang hanya dengan bermain ponsel di rumahnya masing-masing. Berbicara soal ponsel, Rinjani mengerutkan dahi ketika membaca sebuah chat yang baru masuk ke dalam handphone-nya tersebut. Setelah Rinjani meninggalkan catatan yang lengkap kepada administrasi kantornya, seharusnya ia tidak lagi menerima pesan dari Adam. Seharusnya. Namun Rinjani tidak mau mengambil pusing akan tersebut, segera saja ia meneruskan pesan singkat pria tersebut kepada nomor w******p kantornya. Kemudian kembali menikmati makan siang yang sudah sangat terlambat. * Adam memperhatikan Rinjani ketika perempuan itu menaruh kembali handphone-nya ke atas meja. Raut wajah Rinjani juga tidak luput dari perhatian Adam. Bahkan ia bisa mengetahui kalau Rinjani benar-benar tidak habis pikir akan sesuatu yang baru saja dilihat wanita itu di layar ponselnya. “Kenapa?” tanya Diego. “Siapa yang kau lihat?” Adam menggeleng, kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti lantaran matanya menangkap sosok Rinjani. Sementara di sampingnya Diego mengerutkan dahi sembari mengikuti langkah Adam. “Tempat ini benar-benar sempurna.” Diego berkata lagi. “Aku yakin proyek ini akan sukses besar.” Adam mengangguk setuju. Konsep Bioskop Drive-in yang akan ia adaptasikan ke mode Bioskop Room-in memang membutuhkan tempat-tempat yang dipenuhi oleh anak muda. Di mana keinginan bersenang-senang mereka berada jauh di atas kelompok manusia lainnya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, Adam bisa tahu karena benda tersebut bergetar di dalam saku celana hitamnya. Masih sambil meneruskan langkahnya, Adam membaca pesan tersebut untuk kemudian menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. “Kenapa?” Diego bertanya heran. “Aku masih ada urusan.” Dan Adam tidak menunggu sampai Diego membalas ucapannya karena ia hampir bisa dikatakan berlari untuk mencapai tempat Rinjani. “Saya pikir saya meminta informasi tentang pembelajaran Himalaya hari ini,” ujar Adam tanpa kata-kata pembukaan. “Maaf ….” Kata-kata Rinjani kembali tertelan begitu mata mereka bertemu dan Adam tidak menunggu sampai keterkejutan perempuan itu hilang saat ia sudah kembali membuka suara. “Saya ingin mendengarnya sekarang.” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD