Aku Tidak Mengkhianatimu

2076 Words
Ilona sudah menghabiskan waktu tiga hari untuk mencari pekerjaan namun tak satupun tempat yang ia singgahi bersedia menerimanya menjadi karyawan. Seperti saat ini, Ilona baru saja keluar dari sebuah kedai dengan tampang cemberut. Ketika berdiri di pintu keluar, baru lah uneg-uneg yang dipendamnya terlontar semua. “Huh! Bahkan posisi cuci piring saja tidak menerimaku. Padahal aku sudah melakukan penyesuaian tampang, tapi kenapa mereka masih merasa aku tidak layak di sini.” Lirih Ilona, tangannya meraba kedua pipinya, ia tidak bersolek apapun, pakaiannya pun hanya kaos putih polos biasa dan celana jeans. Ia siap membabu namun tidak ada yang mau memberinya kesempatan. Seiring langkahnya menuju mobil, Ilona terus memutar otaknya, berpikir keras apa yang harus ia lakukan selanjutnya. “Aku sudah usaha sana sini tapi nihil. Apa sebaiknya aku jualan saja ya? Tapi jual apa? Hmm....” Baru beberapa detik berpikir, Ilona menyerah dengan pikirannya. Ia menggelengkan kepala dengan cepat, menepis semua beban berat itu. “Lebih baik aku pulang dan pikirkan ini di tempat nyaman.” Seru Ilona bersemangat menyudahi pertempurannya di jalanan sepanjang hari. Ia bergegas masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan tempat itu. Setelah membelah jalanan ibukota yang selalu padat, akhirnya Ilona bisa sampai di kamarnya dengan kondisi wajah yang lusuh saking lelah dan penatnya. Ia tak peduli lagi pakaiannya belum diganti, tubuh yang lelah sudah menuntut untuk segera bersandar pada tempat yang empuk dan nyaman. Ia pun menjatuhkan diri di atas kasur lalu memejamkan mata. “Bisa tua di jalanan kalau setiap hari harus terjebak di kemacetan.” Gerutu Ilona. Nyaris saja Ilona ketiduran jika ponselnya tidak berdering, sepasang matanya langsung terbelalak, tanpa perlu melihat siapa yang menghubunginya pun ia sudah bisa menebak. Tangannya sigap mengeluarkan benda pipih itu dari kantong celananya, senyum Ilona mengembang, segera ia geser tombol hijau untuk merespon panggilan video. Sejenak mereka terdiam, cukup berpuas diri dengan saling menatap. Senyum pria di dalam layar itu menggugah hati Ilona, akhirnya ia yang kalah dan mengakhiri masa bersitatap. “Do you miss me?” Tanya Ilona penuh percaya diri. Rasa itulah yang menderanya sekarang, namun ia tidak berpuas diri jika hanya dirinya yang merasakan beratnya rindu. “No.” Jawab Ye Jun sembari tertawa kecil, sengaja menggoda Ilona hingga mendapat delikan kesal dari wanita itu. Ye Jun kemudian berdehem lalu memperbaiki jawabannya sebelum ia disoroti lebih ganas. “Tidak perlu dipertanyakan lagi kalau soal itu. Aku ingin segera menculikmu kemari.” Gumam Ye Jun, sorot matanya begitu teduh dan meyakinkan hingga membuat Ilona serba salah lalu menundukkan kepala. “Ah, gimana harimu? Apa sudah mendapatkan pekerjaan?” Tanya Ye Jun lagi, enggan berlarut dalam obrolan yang hanya akan menyesakkan perasaannya. Sebisa mungkin sebelum ada kepastian pertemuan selanjutnya, Ye Jun tak ingin kerap menyinggung soal kerinduan terpendam. Ilona menggeleng lemah, ekspresi yang persis seperti orang patah hati. “Belum dapat pekerjaan, sepertinya aku tidak cocok kerja ikut orang.” Gumam Ilona sedikit pasrah, tapi yang ia sampaikan memang kenyataan dan tak ingin ia tutupi. Ye Jun yang melihat kesedihan Ilona pun ikut berwajah sendu, seakan perasaan mereka terkoneksi dan bisa berbagi beban penderitaan Ilona. “Ya sudah, coba pikirkan cara lain. Mungkin kamu mau mencoba berbisnis? Aku akan membantumu, katakan saja kamu suka bisnis di bidang apa?” Seru Ye Jun mencoba memupuk semangat Ilona dan tersenyum lebar seakan masalah yang dihadapi Ilona bukanlah masalah besar. Seharusnya Ilona senang, namun rasa segannya terhadap Ye Jun jauh lebih besar. Ia tersenyum dan menggeleng lemah sebagai penolakan. “Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Biarkan kali ini aku yang akan mengupayakan hidupku. Kamu tenang saja, aku masih punya modal darimu. Nanti biar ku pikirkan bisnis apa yang tepat dengan modal kepepet ini ha ha....” Suara ketukan pintu memecah keasyikan tawa Ilona, reflek ia memalingkan wajahnya ke arah pintu yang hanya berjarak beberapa meter dari kamarnya yang sempit. “Eh?” “Apa ada tamu yang datang?” Tanya Ye Jun. Ilona menoleh ke layar ponselnya kemudian melirik lagi ke arah pintu yang makin nyaring dan intens suara ketukannya. “Entahlah, aku merasa tidak ada seorang yang tahu aku tinggal di sini. Ah, sebentar ya, jangan matikan panggilan, aku lihat sebentar siapa yang datang.” Pinta Ilona kemudian berlari kecil menghampiri pintu dengan satu tangan yang memegang ponsel. Ilona enggan melepas sedetik pun kebersamaan dengan Ye Jun, hingga sorot layar itu masih mengarah pada wajahnya. Pintu dibukakan dari dalam, senyum Ilona yang mengembang pun seketika meredup berganti wajah yang ketus. Tangannya langsung menutup pintu begitu melihat tamu tak diundang itu berdiri di ambang pintu dengan senyum yang menjijikkan bagi Ilona. Sayangnya kekuatan Ilona tidak berimbang dengan si pria yang berharap mendapatkan sambutan yang lebih baik. “Ilona, dengarkan aku sebentar.” Pinta Evan mengharap, ia masih berebutan pintu antara hendak ditutup oleh si pemilik kamar dan ingin dibukanya. “Ngapain kamu ke sini? Dari mana juga kamu tahu aku tinggal di sini!? Nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Enyah dari hadapanku!” Ketus Ilona dengan suara nyaringnya, ia bahkan lupa bahwa apa yang dilakukannya masih disaksikan oleh Ye Jun. “Ilona? What is the problem? Who’s coming?” Seru Ye Jun yang tak bisa tinggal diam mendengar sedikit keributan dari tempat Ilona. Evan terkesiap mendengar suara seorang pria berbahasa asing, pikiran liciknya pun terlintas dan memanfaatkan kelengahan Ilona yang sedang berhadapan dengan pria di layar ponsel itu. Evan mendadak nimbrung dan tersenyum seringai pada Ye Jun, rival cintanya yang kini berada jauh dan mungkin akan kalah telak darinya. “No problem, just a little quarrer with my girl. (Tidak ada masalah, hanya pertengkaran kecil dengan kekasihku)” Ujar Evan memonopoli percakapan. Ilona ternganga lebar, tak bisa lagi menyembunyikan rasa terkejut mendengar pengakuan nyeleneh dari Evan. Ia menggeleng dengan cepat dan berusaha mendorong pergi Evan dari sebelahnya. “No! He is lying. Dont believe him!” Tegas Ilona, air mukanya yang tegang itu membuatnya ingin menangis saat itu juga. Jika itu bisa meyakinkan Ye Jun bahwa di antara dirinya dan Evan memang tidak ada apa-apa. “Oh....” Hanya kata sesingkat itu yang terlontar dari Ye Jun. Kendati ia ingin mempercayai Ilona sepenuhnya, namun tetap saja jarak jauh mereka membuat pikirannya bisa berimajinasi liar. Siapa juga yang bisa menjamin hati seseorang yang jauh itu bisa utuh untuk seseorang saja. “Jun, ini nggak seperti yang kamu pikirkan.” Desis Ilona mengiba pada Ye Jun namun ia tidak sepenuhnya bisa fokus lantaran masih ada Evan di sini. Sebelum si pria pembawa masalah itu disingkirkan, ia tidak bisa leluasa menjelaskan kepada Ye Jun. Evan tersenyum seringai, kesempatan besar baginya untuk memperkeruh suasana. Setelah melihat Ilona yang begitu panik, ia pun ingin mengusik hingga Ye Jun percaya bahwa ada apa-apa di antara mereka. Satu tangannya langsung merangkul di pundak Ilona di saat Ilona melihat ke arah layar ponselnya. Dan kedekatan itu terekam jelas, Evan bahkan bisa melihat mimik Ye Jun yang terkejut melihat ia berani menyentuh Ilona. “Ayolah sayang, untuk apa repot menjelaskan. Bukankah kalian sudah putus? Dia tidak mungkin serius sama kamu. Dia hanya main-main sama kamu yang bisa dibuangnya setelah dia kembali ke sana.” Seru Evan memprovokasi hati Ilona. Ilona menepis kencang rangkulan Evan lalu menghadiahinya sebuah tamparan keras di pipi kanannya. Kini ia tidak bisa lagi membendung air mata kemarahannya. “Cukup! Aku muak denganmu. Aku sama dia baik-baik saja! Kamu yang sudah putus denganku, kamu hanya masa lalu, sampah! Pergi! Jika kamu usik lagi kehidupanku, aku... Aku tak segan membalasmu!” Gertak Ilona walau tidak sepenuhnya yakin bahwa ia sanggup menindas Evan. Pria muda itu punya uang dan kuasa, sedangkan dirinya justru tengah terpuruk dengan segala keterbatasan hidup. Namun Ilona tidak peduli, ia tidak akan membiarkan Evan semena-mena dan bertingkah seakan ia adalah milik pria itu. Evan mengusap pipi bekas tamparan keras itu, senyum tipisnya mengembang, ia tak perlu marah menanggapi kemarahan Ilona. “Hmm... oke aku akan pergi, tapi bukan berarti aku menyerah ya. Aku mencintai kamu dan akan ku pastikan kamu tetap menjadi milikku.” Ujar Evan penuh percaya diri. Amarah Ilona kian menjadi, membuatnya kalap mata lalu meraih sebelah sepatunya dan melempari Evan. “Pergi kamu! Bawa semua khayalan busukmu!” Pekik Ilona frustasi, sayangnya Evan cukup beruntung sehingga lolos dari timpukan sepatu. Pria itu berhasil lolos dan sepatu malang Ilona justru membentur pintu. Nafas Ilona tersengal, amukannya belum juga netral kembali meskipun si biang kerok sudah berlalu dari hadapannya. Ia baru tersadar akan satu hal, Ye Jun menunggunya untuk sebuah penjelasan. Ponsel yang masih dalam genggamannya pun segera ia arahkan menghadap wajahnya. “Oppa, aku bisa je... Eh?” Ilona tertohok, panggilan video itu sudah terputus tanpa disadarinya. Detik itu juga ia berusaha menghubungi nomor Ye Jun. “Aish... Kenapa tidak diangkat?” Gerutu Ilona mulai gusar hingga menggigiti kukunya. Nada panggilan itu berubah, tak lagi terdengar seakan nomor yang ditujunya salah. Ilona tercengang, bukan ini yang ia harapkan. Ketika ia meminta waktu untuk menjelaskan, justru Ye Jun pria itu malah sulit dihubungi. “Apa kamu menghindariku, Oppa? Ini salah paham... Sungguh ini hanya salah paham.” Rintih Ilona, tubuhnya lunglai saking kehilangan tenaga untuk berdiri menghadapi kenyataan. Semua yang terjadi begitu cepat, sulit ia terima. Beberapa saat lalu ia masih tertawa senang melepas rindu, namun si pengacau itu hadir dan merusak suasana itu. Ilona menggigit bibir bawahnya, hanya nomor itu satu-satunya penghubung ia dengan Ye Jun dan kita terasa tak berarti lagi. “Aku harus bagaimana lagi? Oppa... Aku tidak mengkhianatimu....” Ae Ri berjalan sendiri memasuki sebuah kedai, demi menghilangkan rasa jenuhnya yang sedang menerima hukuman tidak boleh terlihat oleh Ye Jun, ia terpaksa harus mencari kesibukan lain di luar rumah. Berharap dengan cara itulah ia bisa menepis kekesalan serta rasa sedih akibat dijauhi Ye Jun. “Berikan aku dua botol sofu dan ceker pedas.” Ujar Ae Ri pada seorang Ahjumma yang datang hendak menawarkan menu. “Ah, baiklah silahkan tunggu sebentar.” Jawab wanita itu kemudian bergegas menyiapkan pesanan tamunya. Tinggallah Ae Ri sendirian lagi, sebenarnya di dalam kedai kaki lima itu masih ada beberapa pengunjung. Tetap saja ia merasa kesepian karena tidak ada satu pun yang bisa ia ajak bicara dan menempati bangku kosong di sebelahnya. Untung saja pesanannya segera diantarkan, aroma ceker ayam pedas yang masih mengebulkan uap panas itu menggugah seleranya. Ae Ri tersenyum simpul lalu membalas keramahan pemilik kedai dengan anggukan kepala. Sebenarnya ia cukup lapar, aroma lezat itu mendesak perutnya untuk segera diisi tetapi yang ia raih justru sebuah cangkir kecil lalu diisi dengan sebotol soju. Dahaga batinnya yang gersang itu jauh lebih penting untuk dipedulikan. Ae Ri menghabiskannya dalam sekali teguk, menyusul suara sendawanya akibat minuman alkohol itu diteguk saat perut kosong. “Oppa b******k, apa tidak bisa lebih melihat aku yang selalu di dekatmu? Kenapa harus melihat yang lebih jauh dan belum tentu ada untukmu!? Aku membantumu bahkan saat kamu bersenang-senang, sejak dulu selalu aku yang sigap melindungimu. Tapi kenapa justru ini balasanmu!?” Geram Ae Ri, segala beban dalam hati akhirnya tak sanggup ia pendam sendiri. Ia meneguk secangkir Soju lagi, mabuk adalah solusi untuk mengeluarkan segala uneg-uneg tanpa rasa bersalah. Ia bebas berkata apapun dengan alasan di bawah kesadaran. Tiba-tiba sebuah tangan menjulur dan hendak merebut Soju yang Ae Ri genggam. Ae Ri mengernyitkan dahi, sorot matanya mengikuti tangan milik seorang wanita lantaran berkutex merah maroon. Jelajah mata itu pun berhenti saat ia menemukan wajah si pemilik tangan yang kini menyunggingkan senyum lebar kepadanya. Ae Ri tercengang, segera menarik tangannya dari botol Soju yang masih ia perjuangkan. “Minum sendirian hanya akan membuatmu terlihat seperti orang paling terkasihani di dunia.” Seru wanita yang kisaran berusia empat puluh tahunan itu dengan senyum lebarnya. Ia mengambil posisi duduk tepat di sebelah Ae Ri, meskipun tidak dipersilahkan, ia pun merebut cangkir kosong Ae Ri lalu menuangkan Soju dan meneguknya. “Aaahhh....” Desisnya setelah minuman itu diteguk tak bersisa. Ae Ri menyorotinya dengan tatapan penuh kebencian, wanita itu memang sangat ia kenali namun bukan orang yang ingin ia temui terutama saat ini. “Untuk apa mencariku? Aku tidak mau berurusan denganmu!” Tegas Ae Ri menyatakan ketidak senangannya. “Ha ha ha....” Wanita itu malah tertawa, seakan mengejek sikap Ae Ri yang tak menginginkan kehadirannya. “Yakin tidak mau berurusan denganku? Bagaimana jika aku bisa membantumu mendapatkan pria itu? Apa kamu masih bersikeras tidak mau menerima bantuanku?” Ujar wanita itu dengan senyum smirknya, ia yakin tawaran menggiurkan itu pasti bisa menggoyahkan hati wanita patah hati yang tak berdaya itu. “Segalanya sah-sah saja demi cinta. Kamu hanya perlu menjawab, ya atau tidak!” Timpal wanita licik itu semakin meracuni pikiran Ae Ri yang mulai goyah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD