Author Pov
Thomas berdiri menatap kerlap-kerlip kota Loor yang terlihat indah di malam hari, menara Neydish berdiri menjulang terlihat mencolok indah di antara bangunan lainnya, beberapa ratus meter di samping menara itu terdapat gedung mewah milik Julian anaknya.
Gedung itu berlantai tujuh puluh, pusat dari semua pergerakan usaha yang Julian kendalikan lebih dari sepuluh tahun.
"Apakah kau sudah mengatakannya?" Ema berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya.
Thomas menarik napasnya dalam-dalam, lalu berkata "Aku tidak bisa mengatur Julian lagi, dia sudah tidak mau mendengarkan apa kataku"
"Lepaskan Rebeca, maka Julian akan mendengarkanmu"
"Aku mencintai Rebeca"
"Julian harus menikah sebelum usianya tiga puluh tahun. Julian lebih berharga daripada wanita tidak jelas itu"
"Bu, aku mohon" lirih Thomas putus asa, "Julian tidak ingin menjadi presiden. Dia sudah cukup berkuasa di negeri ini, biarkan dia menikmati masa mudanya"
"Kalau begitu percepat pernikahannya dengan Yu" ucap Ema dengan nada menajam. "Katakan semuanya pada Zicola"
Raut kebingungan di wajah Thomas semakin bertambah, "Aku butuh waktu"
"Aku sudah hampir mau mati Thomas. Dan sebelum aku mati, aku harus melihat darah Franklin dan Giedon bersatu untuk meneruskan tahtaku."
Thomas langsung membungkam, dia melangkah pergi menuju pintu keluar meninggalkan Ema sebelum wanita tua itu semakin mendesaknya.
***
Zicola duduk termenung dalam temaram lampu kemerahan, jari-jarinya bergerak di atas tuts piano, namun matanya sejak tadi tidak pernah melepaskan pandangannya dari rumah kekasihnya.
"Sedang apa kau disana?" Yura bersandar di dinding, gadis itu menatap heran kakaknya.
Zicola tersenyum kaku dengan kepala menggeleng, "Tidak ada. Kemarilah" ajaknya seraya menepuk bangku kosong di sebelahnya.
Yura hanya mendekat dan berdiri di sampingnya.
"Kenapa kamu bangun?" tanya Zicola penuh perhatian.
"Suara pianomu"
"Baiklah. Aku tidak akan bermain lagi, tidurlah. Atau mau aku temani?" Tawarnya masih dengan suara lembut dan merendah.
Yura menggeleng, di peluknya bahu pria itu dan berbisik, "Jadi, katakan padaku, mengapa kau membiarkan kekasihmu pergi?"
"Urusannya bukan urusanku"
"Tapi kau memikirkannya" tekan Yura yang berhasil membuat bahu Zicola menegang. "Aku tahu kamu mencintainya"
Sebuah mobil hitam perlahan menepi dan berhenti di depan rumah Jane. Seorang pria melompat keluar mobil dan mempersilahkan Jane keluar, mereka terlihat sedang terlibat perbincangan kecil sebelum akhirnya pria itu mencium Jane.
"Tidak Yu. Kau salah, tidak ada kata cinta dalam hidupku" tekan Zicola terdengar dingin.
Yura mengeratkan pelukannya seketika, "Itu artinya kau tidak mencintaiku juga"
"Aku mencintaimu Yu" tawa Zicola memecahkan ketegangan di wajahnya, "Aku mencitaimu. Aku peduli padamu" tekannya lagi dengan serius.
Seulas senyuman menghiasi bibir Yura, "Apakah besok kita bisa berlibur untuk merayakan kelulusanmu?"
Zicola langsung mengangguk mengiakan, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang bahagia.
***
Julian terbangun di antara cahaya yang menerobos jendela kamar hotel, rambutnya acak-acakan dengan selimut yang merosot terjatuh hanya menutupi pangkal pahanya.
Di lihatnya terdapat seorang wanita yang tertidur di sampingnya.
Julian bangkit dengan tubuh telanjangnya, dia membungkuk memungkuti pakaiannya dan memakainya kembali.
"Baby, kau mau ke mana?" Lisa ikut terbangun sambil memeluk selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.
"Aku harus bekerja" Julian tersenyum ramah.
Sepulang dari pesta semalam Julian sempat ke club malam. Dan sekarang berakhir seperti ini, tidur di ranjang dengan wanita.
Setelah pakaiannya rapi, Julian mengambil handponenya dan mengarahkan kamera ke wajah Lisa.
Klik
"Juls" teriak Lisa kaget.
"Aku harus memastikan jika kau tidak akan macam-macam denganku" jawabannya terdengar enteng, "Selamat tinggal"
"s**t!" umpat Lisa meremas permukaan seprai, dia sudah susah payah menggoda Julian sejak dirinya bekerja menjadi model di agensi Julian.
Tapi Julian selalu menolaknya, pria itu tidak pernah tidur dengan stafnya.
Setelah Lisa keluar beberapa bulan dan berhasil tidur dengan julian. Pagi ini, Lisa di perlakukan seperti barang yang hanya perlu di coba lalu di letakan kembali ke tempat semula tanpa harus di lihatnya lagi.
***
"Apakah Anda yakin Tuan?" tanya Robin untuk yang ke sekian kalinya melihat Julian yang memutuskan untuk keluar dari mansion kebanggaannya.
Julian berdecak pinggang dan menatap kesal Robin yang cukup lancang menganggap kepindahannya berlebihan.
"Diamlah" bentaknya dengan ketus.
Robin segera memasukan satu koper pakaian kedalam bagasi, beberapa pelayan berdiri menatap Julian yang memasuki mobilnya.
"Aku ingin dekorasi ulang kamarku disana, pastikan kau membuat jendela atau pintu rahasia yang menghubungkan kamarku dengan kamar sebelah. Kau mengerti?"
"Iya Tuan"
"Bagus" jawabannya dengan senyuman puas. Julian menyalakan mesin mobilnya dan mulai menginjak pedal gas meninggalkan pekarangan mansionnya.
Mobil bergerak melewati dua gerbang pengamanan dan meluncur melewati pohon-pohon pinus, sisi kiri kanan jalan yang berkelok-kelok di lindungi pagar menuruni gunung.
Ya, Julian tinggal di daerah pegunungan
Kekayaan dan kegilaannya mampu membuatnya membeli gunung hanya untuk dirinya sendiri.
Bagi Julian, hidup di atas gunung dan melihat semuanya ke bawah membuat dirinya bisa melihat di mana emas dan berlian yang masih tersisa di beberapa daratan Neydish.
Suara musik mengalun indah di radio untuk menemani perjalanan Julian. Pohon sakura di sepanjang jalan menjatuhkan bunganya, robot-robot polisi bertugas di setiap sudut jalan menggantikan tugas manusia.
Perlu waktu setengah jam bagi Julian untuk mengendara menuju rumah Zicola.
"Sedang apa mereka?" Kening Julian mengerut melihat Zicola memasukan koper kedalam mobil. Julian merenggangkan tekanan gas di kakinya dan membuat laju mobil memelan. Dengan seksama Julian memperhatikan apa yang terjadi di depan rumah Zicola.
Cepat-cepat Julian keluar dari mobilnya, "Kalian mau ke mana?" tanyanya dengan tidak sabaran.
"Desa Simmur" jawab Zicola dengan dingin.
Sekilas Julian melihat penampilan Yura dari atas sampai bawah, gadis itu memakai gaun selutut berkuncir dua yang membuatnya semakin terlihat imut.
Julian yakin jika Zicola pelakunya, apalagi melihat sikap Zicola yang seperti ibu-ibu.
"Aku ikut" senyuman Julian terlintas di bibirnya seketika.
"Tidak!" pelotot Zicola.
"Ayolah.. jangan mendiskriminasiku."
"Disana akan ada banyak serangga, kau akan merengek disana" cela Zicola yang berhasil membuat Julian langsung mati gaya di hadapan Yura.
Julian memang tidak menyukai serangga, lebih tepatnya. Takut.
Tapi di permalukan di depan seorang gadis bukanlah gayanya, "Aku akan menelpon pembasmi serangga. Aku sudah dewasa dan berhenti merendahkan aku"
"Biarkan saja dia ikut" usul Yura yang sejak tadi diam dan menatapnya lembut.
Zicola mengacak-ngacak rambutnya dengan kesal, dia terlihat tidak setuju namun enggan menolak perintah Yura.
Julian hampir tertawa terbahak-bahak bila harus melihat ekspresi Zicola yang terlihat tidak berdaya dengan kata-kata adiknya. Bahkan ketika sedang berdebat mengenai mobil yang akan di mereka tumpangi.
***
Julian Pov
Aku sedikit gugup dan senang ketika Yu ingin satu mobil denganku. Meski aku tidak terlalu berharap banyak, setidaknya ini semua menggambarkan jika Yu tidak keberatan saat dekat denganku.
Padahal nyatanya, Yu sedang berusaha membuat Zicola semakin dekat dengan Jane. Aku tahu itu.
Suasana di dalam mobil terasa panas sekarang, aku bisa merasakan daya tarik dia yang baru. Tidak semua gadis memilikinya.
Dia cerdas dan menawan, sikap kasaranya padaku sangat menyegarkan.
Banyak pekerjan yang aku tinggalkan hari ini, mungkin sebaiknya aku harus menelpon Mrs. Morgan untuk menangani semuanya.
Ku lirik lagi dia yang duduk dengan tenang, dengan kepala sedikit melewati jendela mobil dan membiarkan rambutnya bergerak di terpa angin.
Aku sengaja memelankan laju mobilku untuk mengambil kesempatan berbicara dengannya dan berlama-lama untuk berduaan.
Meski aku tahu Zicola sejak tadi terus saja mengawasi kami.
"Seperti apa Jane itu?" tanya Yu tiba-tiba.
Jane? Mana aku tahu!
"Mencintai Zicola dengan tulus." Hanya itu yang aku tahu, dan aku tidak tertarik mengetahui urusan orang lain.
"Aku mengajak mereka kemari untuk mendekatkan mereka, ku lihat kakakku tidak mudah mendapatkan kemajuan"
Memang benar, Zicola terlalu kaku untuk urusan wanita. Dia terlalu membentengi dirinya sendiri.
Aku ingat saat pertama kali kami bertemu, dia seperti kucing liar yang kelaparan dan di siksa, dia tidak bicara sepatah kata pun kecuali kepada ibuku.
Saat ibuku meninggal, dan untuk pertama kalinya aku menangis di depan umum.
Sejak saat itu, Zicola berubah, dia menjadi pelindung hidupku lebih dari sosok ayahku sendiri. Dia yang mengajarkan aku banyak hal, meski aku sering di buat menangis karena ketegasan dan kerasnya dia. Tapi aku bersyukur, Zicola menyayangiku dengan tulus dan tanpa aku sadari aku bisa bisa berdiri sendiri hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Amerika dan memulai segalanya disana.
Terkadang aku membenci ayahku setiap kali aku menatapnya. Dia pria brings*k yang tidak pernah memiliki waktu untuk keluarganya, bahkan disaat ibu menghembuskan napas terakhirnya.
Ayahku tidak datang ke pemakaman karena tugas negara. Satu minggu setelah ibu berada dalam tabung dia baru datang.
Pria itu selalu menjadikan pekerjaannya sebagai alasan untuk pergi. Aku tahu, meski dia menjadi seorang perdana mentri, tetap saja hidupnya berada di bawah telunjuk kerajaan. Aku mengerti itu.
Karena itu, aku ingin lebih kaya dari generasi Giedon manapun. Aku ingin melindungi siapapun yang aku cintai.
Aku tidak ingin seperti ayahku yang tunduk karena kakaknya seorang raja.
"Kau adik yang baik" pujiku menyamarkan kenanganku yang cukup sulit.
"Jadi bagaimana caranya kau mendekatkan mereka?" tanyaku lagi karena dia tidak kunjung bicara.
Yu membalas tatapanku, mulutnya bergerak hanya untuk menggigit bibirnya.
Sial, jangan menggodaku!
"Aku sedang memikirkannya" bisiknya terdengar malu.
Mengapa dia harus malu?, apa dia tidak pernah merasakan bagaimana pendekatan dengan seorang pria?
Tidak mungkin!
Haruskah aku memanfaatkan moment ini?
"Aku punya banyak rencana jika kau memerlukannya. Aku juga berfikif Zicola hanya cocok dengan Jane"
Ya. Tidak ada salahnya aku menukar waktu berbisnisku yang terbiasa dengan uang, di tukar dengan mendapatkan seorang wanita.
"Oke."
hanya oke?, dia pandai menghentikan topik pembicaraan yang aku bangun.
"Julian.."
Dia memanggilku, memanggil namaku untuk pertama kalinya.
Aku merasa senang dan tidak dapat menyembunyikan senyumanku sekarang. "Apa?" Aku merasa sangat gugup dan malu untuk menjawab.
Bersikap seperti biasa Juls!, kau bukan perjaka yang tidak pernah bertemu wanita!
"Apakah kau takut serangga?" Matanya yang kecokelatan itu menatapku lembut dan penuh kerinduan. Tidak ada rasa humor atau ejekan di matanya.
Aku terbuai dalam tatapannya, aku mengangguk malu dan melihat ke jalanan lagi dan menyetir dengan benar.
Bibir mungilnya berkedut menahan tawa, "Kau sangat lemah" ejeknya yang akhirnya tertawa. Suara tertawa keras di wajah cantik itu sangat menohok hatiku.
Kau salah sayang. Kita bisa membuktikan kekuatanku di ranjang, setelah itu kau bisa menilaiku.
"Jika aku kuat dan tidak takut apa-apa, aku tidak membutuhkan bodyguard. Jika aku tidak memakai bodyguard, mereka akan menjadi pengangguran. Aku lemah karena di rencanakan Nona." Dia harus tahu pembelaanku.
Yu tidak bicara apapun lagi setelah itu.
Mungkin karena aku salah bicara.
***
Author Pov
Julian menarik kopernya dan melenggang pergi ke kamar Villa yang kecil setelah beberapa perdebatan dalam pembagian kamar.
Brak
Julian membuka pintu dengan tendangannya yang terlihat jijik melihat daun pintu sederhana di depannya.
Ketika pintu terbuka Julian hanya berdiri di luar, hidungnya mengerut tidak suka saat melihat isi kamarnya yang terisi lemari biasa dan ranjang kecil menyambutnya.
Julian melangkah ragu dan duduk di pinggiran ranjang untuk memastikan kualitas dan keempukannya. Dia selalu mendapatkan ide yang brilian setiap kali tertidur pulas, dan itu di butuhkannya setiap malam. Dengan begitu, Julian butuh ranjang kualitas terbaik.
"Aku tidak suka ranjangnya!" teriaknya seperti anak kecil.
Tok tok tok
Suara ketukan di jendela mengalihkan perhatiannya, di lihatnya Yura sudah berdiri di luar di depan jendela menunggu Julian membuka jendela.
Sepintas ada ide licik yang terlintas di pikiran Julian, dengan gerak berpura-pura malas Julian berdiri di depan jendela tanpa membukanya.
"Wah.. suatu kehormatan di datangimu" ucap Julian dengan tangan bersedekap angkuh.
"Buka jendelanya."
"Kencan denganku."
Brak
Yura memukul jendela dengan keras, tatapannya menajam "Jangan bercanda denganku"
"Apa aku terlihat sedang bercanda?" Pelotot Julian mulai kesal.
"Katakan padaku!, apa rencanamu agar kakakku dekat dengan Jane?."
"Datang ke kamarku nanti malam"
"Apa maksudmu!."
Julian tertawa geli menatap ekspresi horor Yura. "Jangan berpikir macam-macam. Kita membicarakannya nanti malam, sekarang aku sibuk" ucap Julian terdengar ketus.
Sebagai seorang pria, Julian harus bisa bersikap cantik dan tidak terburu-buru lagi setelah penolakan Yura terhadap caranya yang terang-terangan. Julian harus memiliki harga diri yang lebih tinggi dari Yura, agar wanita itu tidak meremehkannya.
"Kau bisa berkuda?" tanya Julian sebelum pergi. Yura hanya mengangguk kecil mengiakan.
Julian langsung berbalik pergi dan memutuskan untuk keluar kamarnya yang sumpek untuk menikmati segelas anggur.
***
Jane dan Zicola menyajikan makanan yang telah mereka masak. Sementara, Julian dan Yura duduk diam dan memperhatikan, seperti anak yang sedang di atur oleh kedua orang tuanya.
"Kau yang mimpin doa" titah Zicola setelah duduk dengan tenang.
Julian menahan cemberutan di bibirnya namun tidak protes, dia menarik kedua tangannya dan menyimpan di atas d**a.
"Masakan hari ini tidak mewah, tidak di masak chef pribadiku, alat-alat makannya sangat sederhana, bahan-bahannya bukan kualitas terbaik, tapi aku bahagia. Terima kasih Tuhan hari ini kami tidak kelaparan."
Yura diam terpaku melihat bagaiamana kata-kata sombong yang keluar dari mulut Julian tidak semuanya salah.
Yura termenung sendiri menatap makanan di depannya yang masih belum dia sentuh.
Flashback
Kedua kaki kecil itu mulai gemetar kesemutan, lututnya yang merah dengan beberapa goresan di hiasi debu. Sudah dua jam Yura berdiri dan membungkuk menunggu ibunya membukakan pintu.
"Aku lapar" rintihnya gemetar. Yura kecil berdiri di depan jendela pembatas dapur, tangan kecilnya yang terluka itu mengusap perutnya.
Sebuah tatapan tajam menusuk Mia langsung menciutkan hatinya, wanita itu terlihat jijik menatapnya.
Yura kembali membungkuk sendirian menahan kesedihan di matanya. Dia harus bersabar menunggu kapan Mia bersedia membukakan pintu dan memaafkan kenakalannya.
Seorang anak laki-laki datang melewati gerbang rumahnya, anak laki-laki tersebut masih berpakaian seragam dengan rapi mendekati Yura dengan tatapan heran.
"Yu, kenapa kau di sini?" Ziovan membungkuk mengusap pipi cantik adiknya itu. Ziovan menatap langit mendung yang sebentar lagi akan hujan, "Ayo masuk"
Yura menggeleng kecil dan tertunduk, "Aku terlambat lima menit, ibu bilang aku tidak boleh masuk sampai nanti malam ayah pulang. Jika aku masuk ibu akan memukuliku"
"Tidak ada yang akan menyakitimu" Ziovan membungkuk menggendong Yura dengan mudah dan membawanya masuk.
Semenjak kepergian kakek dan nenek yang mengadopsi Yura meninggal, kini hak asuh Yura jatuh ke tangan Tomi. Mia nampaknya masih belum mau menerima Yura, apalagi mengakuinya sebagai seorang anak.
Menyadari Ziovan datang, Mia langsung menghentikan acara makannya, "Sayang.. kamu baru pulang" sambutnya dengan ramah dan penuh perhatian. Sayangnya, perhatian itu sepenuhnya itu hanya tertuju pada Ziovan.
"Jangan pernah menghukum Yu lagi, aku tidak suka" pinta Ziovan seraya menurunkan Yura dari gendongannya.
Mia tersenyum samar dengan tatapan benci pada Yura, gadis kecil itu langsung bersembunyi di belakang tubuh Ziovan.
"Ayo makanlah dulu, setelah ini kau istirahat" kata Mia mengalihkan topik pembicaraan. Mia mengambil tas Ziovan dan mempersilahkan anak semata wayangnya duduk.
Yura mendekat dan menarik kursinya yang tinggi bermaksud untuk makan.
"Mau apa kau?" hardik Mia menunjuk Yura. Dengan bringas dia menarik bahu Yura dan menjauhkannya dari kursi hingga tubuh kecil itu terhuyung ke belakang dan membentur tembok.
"Jangan kasar pada Yu!" Ziovan melepaskan cengkraman tangan Mia pada bahu Yura.
"Aku juga mau makan" bisik Yura ketakutan, matanya berkaca-kaca menatap mata Mia. "Aku mohon, aku lapar. Nanti aku yang semua mencuci piring dan memotong semua rumput di halaman. Dengan tanganku, tidak memakai gunting, aku janji."
"Tidak ada!, pergi keluar dan beli makanan di sana! Ini semua hanya untuk Ziovan."
"Bu, jangan membentak adikku!" bela Ziovan mulai tidak tahan dengan teriakan Mia.
"Dia tidak memiliki kursi di sini, aku tidak sudi satu meja dengan anak pungut. Pergi!" usirnya berdecak pinggang dengan angkuh.
"Aku tidak akan makan" bisik Yura dengan senyuman polosnya penuh kekecewaan, tetesan air mata membasahi wajahnya. Namun Yura berlapang d**a. "Aku menunggu di kamar saja."
"Apa kau tuli!, aku bilang keluar ya keluar!. Dasar bod*h tidak berguna"
Yura menekan bibirnya yang bergetar ketakutan, dia mundur perlahan dan kembali keluar dan berdiri menatap gerimis yang mulai turun.
Setetes air mata terjatuh membasahi pipinya lagi, dengan cepat Yura menghapusnya dan menahan diri untuk tidak menangis.
Langkah Yura menyentuh tetesan hujan, kaki kecilnya berlari menuju rumah mewah di sampingnya.
Gerbang rumah itu tertutup rapat saat Yura mengguncangnya dengan lemah, "Paman Jose" teriaknya beberapa kali di antara hujan.
Seorang pria kecil berambut pirang membuka pintu utama rumah, bola matanya yang kehijauan berkilauan, bibir mungilnya gemetar memanggil, "Yu!."
Raymen berlari menerobos hujan dan menekan tombol pembuka gerbang.
"Masuklah! Jose dan ibu sedang menjemput ayah" Raymen menarik tangan Yura dan menuntunnya untuk segera berteduh.
"Kenapa hujan-hujanan sih!" omel Raymen dengan cemberutan tidak suka, dengan perhatian dia mengusap wajah Yura yang basah sementara tangan satunya lagi masih menggenggam tangan Yura dengan erat.
Yura kecil tertunduk sedih menatap kedua sepatunya, "Aku lapar."
Raymen menarik napasnya dengan berat, wajah tampannya langsung kusut penuh kesedihan. Di tariknya tubuh mungil Yura dan di peluknya dengan erat tanpa memikirkan seberapa basahnya baju mereka.
"Aku tidak akan membuatmu kelaparan lagi Yu. Aku janji"
"Yu, apakah makanannya tidak enak?" Zicola mengguncang bahu Yura karena sejak tadi gadis itu terlarut dalam lamunan. Yura terperanjat hingga terlepas dari bayangan potongan masa lalunya.
"Yu, kau baik-baik saja?" Zicola meraih wajahnya dan menatap khawatir. Dengan sedikit kasar Yura menepis sentuhannya dan membuang muka yang di hiasi tetesan air mata.
"Aku tidak lapar" Yura beranjak dari duduknya dan pergi.
"Yu ada apa denganmu?" Zicola berlari mengejar langkahnya dan menarik tangan Yura, "Jawab aku."
"Aku ingin sendiri" jawab Yura dengan dingin, perlahan Zicola melepaskan sentuhannya dan membiarkan Yura pergi.
***
Gemercik air sungai terdengar seperti sebuah nada, warnanya yang jerning menampakan dasarnya yang di penuhi bebatuan dan ikan.
Yura duduk di pinggiran sungai dengan kaki terjuntai ke air.
Sinar matahari terlihat samar-samar menerobos beberapa daun pohon pinus yang menyinarinya.
Hati Yura terasa kosong dan menyisakan perih meski dia sudah pulang ke Neydish. Bertemu dengan Zicola bukanlah mimpinya lagi semenjak Raymen di sisinya, namun semenjak Raymen meninggalkannya dunianya menjadi tanpa arah.
Yura berusaha keras mencari kebahagiaan sesungguhnya yang selama ini di inginkan jiwanya.
"Kau membuat kakakmu bersedih" Julian berdiri di samping Yura ikut melihat ikan-ikan yang bergerak mendekat kakinya.
Sepintas Julian mengingat bagaiaman dulu dia pernah melihat Yura berbicara dengan hewan.
"Apa kau tidak memiliki pekerjaan selain berbicara denganku?" tanya Yura terdengar ketus.
Julian mengerjapkan matanya beberapa kali, "kau kasar sekali. Aku sudah bosan bekerja dan menghasilakan uang."
"Dasar sombong."
"Sombong adalah kebanggaanku Nona, dan aku berhak sombong."
Seulas senyuman geli menghiasi bibir Yura, sikap Julian memang sombong meski tidak semena-mena. Julian memiliki aturannya sendiri.
"Jadi.." Julian membungkuk mendekatkan wajahnya di dekat Yura, "Bagaimana dengan tawaranku?" Bisiknya bersemangat.
"Tawaran apa?."
"Kencan denganku. Dan aku pastikan kakakmu menikah dengan Jane"
"Sudah aku bilang aku tidak tertarik padamu" tolak Yura tanpa di pikirkan lagi.
Julian menekan kekecewaannya setelah di tolak beberapa kali oleh Yura, namun semangatnya tidak akan pernah mundur sedikit pun.
Perlahan wajah Julian semakin mendekati wajah Yura hingga jarak mereka menyisakan beberapa inch untuk saling menyentuh.
"Apa kau tidak normal?" tanya Julian terdengar ragu dengan pertanyaannya sendiri.
Bola mata Yura langsung membulat sempurna, dalam satu gerakan kakinya menendang perut Julian hingga pria itu terjungkal ke rumput dan mengaduh.
Yura langsung berdiri dan berdecak pinggan, "Ya. Aku tidak normal bila harus berkencan dengan orang sepertimu!."
Rahang Julian menegang penuh kemarahan, dengan cepat dia mencengkram pergelangan kaki Yura dan menariknya hingga gadis itu terjatuh.
Bugh
Tubuh Yura terhempas di atas rumput, Julian berguling ke sampingnya dan menduduki tubuh gadis itu, sementara satu tangannya mencengkram kedua tangan Yura dan memenjarakannya di atas kepalanya agar Yura berhenti memberontak.
"Lepaskan aku!" teriak Yura dengan tangan yang susah payah berusaha terlepas dari cengkraman Julian.
"Katakan dulu, kau mau kencan denganku" pinta Julian dengan gigih.
"Tidak akan!."
Senyuman m***m menghiasi bibir Julian, dia semakin tertantang dengan penolakan Yura padanya.
"Kau sangat cantik saat marah" bisik Julian terdengar parau terbawa gairah, "Kau layak aku kejar meski bukan tipeku"
Cengkraman Julian mengendur, perlahan dia membungkuk mengecup bibir Yura sekilas sebelum dia terbangun dan berdiri dengan tegak.
Kedua mata Yura membulat sempurna, napasnya memburu dengan tubuh yang masih terbaring kaku.
To be continue...