Yura berjalan cepat keluar dari gedung Tereskop gold.
"Pria brings*k itu keterlaluan" umpat Yura seraya menghapus air matanya, bibirnya terasa panas dan bengkak bekas ciuman Julian.
"Yura"
Yura menghentikan langkahnya, dia membalikan tubuhnya perlahan untuk bertemu sosok wanita yang berambut kemerahan, wajahnya terlihat cantik namun kilatan matanya terlihat menusuk penuh permusuhan.
"Ternyata aku benar" cekikiknya dengan penuh ejekan.
Wajah cantik Yura memucat, tangannya yang gemetar terkepal kuat. Segumpal emosi membanjiri hatinya seketika.
"Aku pikir kau tidak akan kembali. Lagi pula untuk apa kau kembali, kau sudah di buang dan tidak ada yang menginginkan dirimu di sini' desis Valerie dengan sombong.
"Jaga bicaramu" jawab Yura dengan tenang, matanya terlihat dingin sebagai benteng pertahanan.
Valerie semakin tertawa keras, "Kau tidak tahu seberapa bahagianya aku saat kau di buang, dan ayahmu di bunuh ayahku. Ibu dan Zicola merawatku dengan penuh kasih sayang. Sementara kau?, aku dengan orang tua angkatmu sering memukul."
"DIAM!" teriak Yura memaki.
Pepohonan di sekitar Yura bergerak seperti terkena angin, Valerie tersenyum gugup dia langsung pergi menjauhi kemarahan Yura yang bisa saja melukainya.
Air mata terjatuh membasahi pipi Yura, gadis itu berjalan menyusuri jalanan dengan senyuman ironis.
Yura di buang saat usia empat tahun, dia terasingkan di negara orang seperti orang bisu karena tidak mengerti bahasa mereka.
Tidak sampai disitu saja, ayah angkatnya sering memukulinya dengan rotan dan kayu, bahkan Yura masih bisa merasakan bagaiamana dulu tulang punggungnya retak karena pukulan itu.
Tidak ada yang mengobatinya..
Yura selalu sendirian, sampai pada akhirnya dia bertemu Raymen dan Stefan.
Sebuah mobil berhenti di samping Yura, dengan cepat gadis itu menghapus air matanya saat melihat Zicola yang keluar dari mobil.
"Yu! Kenapa kau sendirian di sini?" Zicola berteriak panik, "Di mana Daniel?. Ayo kita pulang," Zicola meraih bahu kecilnya, namun Yura segera menepisnya.
"Aku ingin sendiri" jawab gadis itu dengan suara serak.
Zicola meneliti Yura sekali lagi, dia mengangkat wajah cantik adiknya "Siapa yang sudah membuatmu menangis?. Akan aku hajar si brings*k itu."
"Biarkan aku sendiri" pinta Yura sekali lagi, rasa perih di dadanya semakin menganga melihat kakaknya.
Yura merasa sakit membayangkan ibunya dan Zicola menjaga Valerie, sementara dirinya tengah kesakitan dan kelaparan, dan ayahnya mati dengan tragis.
"Yu.. kau kenapa?" Zicola semakin khawatir.
"Mengapa ibu harus melakukan poliandri?. Ayah sangat mencintai wanita sialan itu, mengapa aku dan ayah harus menjadi korban ibu?" Bisik Yura dengan pertanyaan yang tidak dapat di jelaskan Zicola.
"Sebaiknya kita pulang dan bicarakan di rumah"
"Tidak"
"Yu"
"Biarkan aku sendiri!" teriak Yura dengan kemurkaan dan rasa sakit di hatinya.
Angin bergerak berhemhus kencang sampai-sampai dapat menggerakan mobil Zicola, pepohonan bergerak di antara kegelapan seakan akan mengangkat akar mereka di bawah tanah.
Zicola menarik napasnya dengan dalam-dalam, dia mundur perlahan dan kembali memasuki mobilnya.
Mobil perlahan menjauh, Yura menghapus air matanya menatap kepergian Zicola.
Belum sempat Yura bernapas lega, mobil Julian berhenti di depannya. Julian berlari keluar mendekati Yura.
"Aku minta maaf, aku tidak bermaksud membuatmu menangis sampai segitunya" Julian meneliti pipi Yura yang masih basah. "Ayo ikut denganku, kita bicara dengan normal."
"Apa yang kau lakukan!" teriak Yura kaget saat tubuhnya di angkat dengan mudah dan di lemparkan ke kursi mobil.
Julian segera memasuki mobilnya untuk mengunci pintu dan menutup atapnya agar Yura tidak bisa pergi.
"Kau mau membawaku ke mana hah?" Bentak Yura mulai kesal.
Julian meliriknya sekilas, bibirnya mengerucut tidak suka, "Tentu saja mengantarmu pulang. Di mana rumahmu?"
Yura langsung bersedekap dengan jengkel, dia benar-benar tidak mau pulang lebih awal. "Antar aku ke restorant yang pernah kau datangi"
Julian terkekeh geli mendengarkan nada bossy Yura.
Setidaknya gadis itu masih mau menanggapinya juga.
***
Ketika sudah sampai di Restorant Yura langsung keluar meninggalkan Julian sendirian di dalam mobil.
Gadis itu terlalu dingin dan acuh kepada Julian, namun sikap penolakannya sudah membuat Julian penasaran seberapa jauh dia akan bertahan menolaknya.
Julian mengambil handponenya dan menelpon Robin, "Ambil uang tiga juta dollar di brangkas cadangan."
Julian langsung memutuskan sambungan teleponnya lagi, dia terlalu sibuk dengan perasaannya sekarang.
Seharusnya Julian tidak menemui gadis itu lagi, maka urusannya akan selesai. Tapi ini berbeda. Julian merasa tertarik dan penasaran.
Julian tidak pernah bertemu dengan seseorang yang jujur dan apa adanya.
Dia terbiasa di kelilingi para penjilat dan orang-orang yang selalu memuja dan membelanya meski Julian sendiri tahu apa yang telah di lakukannya salah. Mereka terlalu takut dengan kekuasaan dan pengaruh yang di milikinya...
Julian memutuskan untuk menyusul ke dalam Restorant selagi Robin menghitung uang yang akan di bawa.
Julian masih terlalu penasaran dengan kedalaman hati Yura. Gadis itu menjadi sebuah tantangan baru, mungkin Julian akan memacarinya dan meninggalkannya ketika bosan.
Ketika Julian masuk semua orang langsung membungkuk memberi hormat.
Julian duduk di kursi kosong, dia menatap gerak-gerik Yura berbincang dengan Hunter.
Sekilas pandangan mereka bertemu, Julian tersenyum lebar seramah mungkin, namun Yura membalasnya dengan tatapan terganggu.
Hunter membisikan sesuatu di telinga Yura, hingga pada akhirnya Yura keluar dari pintu kasir dan duduk di hadapan Julian.
"Sebaiknya kau pulang" perintah Yura sepenuhnya mengusir.
"Aku ingin bicara denganmu" balas Julian dengan gigih.
Yura berdecih kesal, dia melirik semua pengunjung yang memperhatikan mereka dengan tatapan ingin tahu.
"Kau seorang artis?" tanya Yura dengan ketus.
Julian terkekeh geli mendengarnya, dia menyerigai menampilkan barisan giginya, "Aku hanya pria tampan, sayang."
Yura melongo mendengar jawaban narsis pria itu. "Apa sebenarnya maumu, kau sangat mengganggu"
"Tuan" Robin datang membawa dua buah tas di dampingi anak buahnya.
Julian melihat Robin sekilas lalu melihat ke arah Yura lagi. Julian ragu untuk melakukan apa yang terlintas di benaknya, namun dia sudah tidak tahan terganggu oleh bayangan Yura di setiap malamnya.
“Aku juga tidak tahu mengapa aku harus terus menerus memikirkanmu.” Julian bersedekap dengan angkuh, wajah tampannya nampak bingung dan gelisah untuk mengatakannya, “Jadilah kekasihku.”
Yura melongo tidak mengerti, dia melihat ke sekeliling Restorant di mana banyak pasang mata sedang menonton mereka.
“Jawab aku” desak Julian tidak mau bertele-tele.
“Apa kau sudah gila?. Pergilah! Dan jangan ganggu aku” tolak Yura tanpa di pikir lagi.
Julian menggerakan telunjuknya memberi arahan. Seorang pengawal yang berdiri di belakanganya mengangkat koper yang di bawanya lalu membukanya di hadapan Yura.
“Setengah juta USD untuk jadi pacarku selama satu minggu.”
“Brengs*k.” Umpat Yura merasa terhina.
Julian menggerakan telunjuknya lagi. dua orang pengawal membuka satu lainnya di hadapan Yura, sehingga dua koper uang di atas meja benar-benar sudah bisa menggambarkan seberapa gilanya pria itu.
“Satu juta USD. Jadi pacarku selama satu minggu.” Tawar Julian dengan gigih.
Semua pengunjung café melotot hampir mengeluarkan matanya melihat uang yang di hamburkan Julian seperti membeli sekantung permen.
Yura menelan ludahnya perlahan, matanya mengerjap meyakinkan. Penawaran Julian sangat menggiurkan, bahkan untuk sebuah nilai harga diri Yura yakin, siapapun tidak akan pernah menolak uang sebesar itu. Yura bisa langsung menjadi kaya raya dengan uang sebanyak itu.
"Aku pikir kau pengangguran."
"Jaga ucapanmu sayang, kau melukai harga diriku lagi" umpat Julian dengan kesal. Julian tidak butuh ejekan, yang dia inginkan adalah jawaban dari gadis itu.
"Kau yang lebih melukai harga diriku" maki Yura dengan tajam, andai di depannya ada gelas berisi air, Yura sudah pasti menyiram wajah tampannya sekarang.
"Aku ingin bernegosiasi, itu cara yang aku tahu" pelotot Julian.
"Negosiasi apa?, jual beli manusia?."
Julian langsung di buat bungkam, pertanyaan Yura kembali menampar sisi keegoisan dan kesombongannya. "Lidahmu sangat tajam."
Tatapan tajam dan senyuman sinis Yura langsung berubah menjadi senyuman cantik dan mata berbinar-binar menimbulkan percikan harapan di d**a Julian.
Yura bangkit dari duduknya dan melewati Julian begitu saja, “Thomas!.”
Senyuman puas Julian langsung memudar begitu saja, bersamaan dengan wajah tampannya yang berubah menjadi pucat pasi saat dia memutar tubuhnya dan melihat siapa pria yang sedang di panggil Yura.
“Ayah”
Thomas melepaskan pelukannya dan menatap keberadaan Julian di penuhi rasa penasaran, "Sedang apa kau di sini?"
"Kau sendiri?" Julian mengangkat dagunya dengan angkuh. Dia menggerakan jarinya dan mengintrupsi agar Robin segera pergi membawa uangnya.
Sekilas Thomas berbisik pada Yura, gadis itu pergi dengan patuh.
Julian berdecih kesal, dia beranjak dari duduknya dan menendang kaki meja dengan keras.
"Kau sudah memiliki jal*ng itu, untuk apa kau mendekati incaranku." Hardik Julian dengan bisikan kesalnya.
Thomas mengerutkan keningnya, sejenak berpikir dan pada akhirnya tersenyum geli. "Kau mengejarnya?"
"Ya. Kau puas. Dan karena kehadiranmu negosiasi kami batal!"
Thomas terkekeh geli, "Sebaiknya memang batal."
"Cih" Julian berdecih kesal, dia membenarkan jassnya dan pergi begitu saja tanpa rasa hormat.
***
Yura tertunduk menatap jari-jarinya bertautan, dia termenung di bawah tatapan hangat Thomas.
Pria tua itu mendekat dan merangkul bahu rapuhnya, "Kakakmu sangat khawatir."
Yura menggeleng sedih, kekhawatiran Zicola sama sekali tidak dapat mengobati luka di hatinya.
Faktanya, Zicola lebih memilih mengurus Valerie dan membiarkan dirinya terbuang. Jika memang Zicola peduli padanya, mengapa setelah enam belas tahun lamanya, dia baru muncul?.
"Ibumu membawa suami mudanya setelah kematian ayahmu" cerita Thomas dengan hati-hati.
"Zicola semakin terpukul, Joserim selalu memukul kakakmu dan Anara, dia menjual kakakmu kepada mucikari dan memaksanya untuk bekerja setiap malam, Zicola di biarkan kelaparan setelah di peras tenaganya. Akhirnya dengan banyak penyesalan, Anara memutuskan bunuh diri. Sementara kakakmu. Ketika aku menemukannya, dia memiliki luka bakar yang menganga di dadanya, tubuhnya penuh luka, dia takut sentuhan. Perlu dua tahun untukku agar Zicola kembali bisa berbicara. Dia bertahan hidup ketika Emilia memutuskan memberikan jantungnya untuk kakakmu."
Air mata terjatuh membasahi pipi Yura, gadis itu menahan isakan dan luka yang semakin menganga karena ibunya.
"Zicola menjalani kehidupan yang berat, dia bertahan hanya untukmu Yu."
"Bagaimana dengan pria baj*ngan itu?."
Thomas tersenyum sendu, "Aku mengirim seorang tentara untuk menembaknya."
"Lalu, mengapa aku di buang Thomas?" Rintih Yura putus asa. Sudah hampir enam belas tahun dia putus asa dan merasa tidak inginkan siapapun di dunia ini.
Kecuali Raymen....
"Kelebihanmu Yu. Kau bisa membunuh Joserim, tapi perlu waktu lama bagimu untuk menyadari seberapa besar kekuatanmu. Joserim mengetahuinya, Franklin ingin kau selamat."
Yura tersenyum sendu menatap dedauanan yang bergerak dan perlahan melayu, air matanya kembali terjatuh.
Thomas menarik napasnya dengan berat, dia memeluk Yura seperti seorang ayah yang melindungi anaknya, "Percayalah padaku. Kami semua mempedulikanmu. Karena itu kami berusaha membawamu kembali."
***
Julian Pov
Hiruk pikuk kota Loor membosankan pandanganku, mesin-mesin dan robot mulai merajalela di penjuru tempat. Cahaya malam terlihat indah, sama seperti masyarakatnya yang ramah dan modern.
Tidak banyak kendaraan di kota indah ini, mereka lebih suka naik angkutan umum. Selain itu, pajak kendaraan dan harga kendaraan pribadi yang sangatlah mahal menjadi alasan terbesar mereka.
Tidak hanya itu. Aturan hukuman bagi yang membuang sampah sembaragan juga cukup berat, mereka akan di penjara selama empat bulan tanpa bisa membayar denda.
Aku menghabiskan banyak waktu untuk datang kemari, meninggalkan beberapa kesenangan dan kegalauanku di Swedia.
Kembali ke Loor adalah kembali ke rumah.
Malam ini kakakku yang brings*k itu membuat pesta. Aku tidak tahu apa yang membuat manusia es itu memiliki tabiat untuk membuat pesta, kecuali karena kedatangan adiknya.
Setidaknya aku akan datang sebentar dan mengolok-oloknya. Demi apapun, dia dingin dan brings*k, tapi untuk kali ini dia mengejutkan sekaligus kekanak-kanakan.
Mengapa Zicola membuat pesta atas kedatangan adiknya?, bukankah lebih baik melakukan konferensi pers agar semua orang tahu dengan resmi?.
Aku mencari perkiraan yang cocok setelah sampai di depan rumahnya.
Sepertinya ini pesta besar, setelah melihat berapa banyak kendaraan di sini. Mungkin aku juga bisa membawa seorang wanita dan melakukan seks di salah satu kamarnya, itu ide bagus.
Aku melangkah dengan senyuman, beberapa gadis melihat ke arahku dan menyapa. Tidak ada yang menarik, membosankan.
"Hay Julian" Stefy tersenyum lebar. Aku berjabat tangan dan memeluknya sekadar basa-basi, dia lumayan cantik hari ini, kecuali rambut merahnya. Aku tidak suka.
Dan aku melakukan acara basa-basi lagi dengan beberapa gadis yang mendatangiku, mereka terlalu berlebihan.
Ini hanya wajah tampan sayang!
Napasku memberat, mencari si brings*k itu yang belum muncul di setiap penjuru ruangan. Aku berusaha lepas dari gadis-gadis, setelah beberapa alasan dan bentakan penolakan akhirnya aku lepas.
"Aku pikir kau masih liburan" Jane menyambutku dengan cemberutan.
Apa yang salah dengan kedatangaku?.
Dia terlihat murung hari ini, si brings*k itu pasti penyebabnya. Jika bukan dia, siapa lagi yang bisa membuat wanita seperti Jane bisa bertekuk lutut dan rela menangis karenanya.
"Di mana dia?" Aku tersenyum selebar mungkin.
"Lantai atas" bisiknya semakin sedih.
Jane sepertinya butuh waktu sendiri, biasanya dia akan kembali mengejar Zicola meski telah beratus-ratus kali menangis.
Jane yang polos dan cintanya yang tulus. Aku bahagia dan bangga bila dia menjadi kakak iparku nanti.
Kebisingan mulai mereda saat aku menaiki tangga menuju lantai atas, sepertinya aku lebih senang di sini.
Tidak ada karpet merah menjalar sepanjang tangga yang aku pijak. Langkahku terhenti di anak tangga terakhir.
Siapa dia?.
Seorang gadis cantik, sangat cantik. Tertidur di sofa, gaunnya yang kemerahan terlihat cantik, rambut kecokelatannya tergerai berkilauan menyapu wajahnya yang tertidur pulas.
Aku mendekat dalam langkah yang hati-hati dan melihat siapa gadis mungil yang tengah tidur di tempat sembarangan ini.
Sial, dia Yura..
Gadis yang berhasil membuatku jengkel dan gila.
Hati mendorong naluriku untuk semakin mendekat, melihat dia lebih jelas. Sial, kakinya di tekuk menampakkan pahanya, dia memakai sepatu yang bagus. Dia terlihat tenang dan lezat.
Aku sangat ingin menyentuh pipinya yang di sapu anak rambut yang tidak sopan, bibirnya merah penuh, menggiurkan. Aku ingin melihat bulu mata yang lentik dan panjang itu bergerak saat aku menyentuhnya.
Jernihkan pikiranmu Juls!
Bulu matanya yang panjang itu bergerak lebih cepat dari perkiraanku, dia mengeliat, mengerjapkan matanya dan terbangun. Aku langsung menegakan tubuhku lagi, dan tertunduk malu.
Kenapa aku harus malu?
Dia menatapku sejenak, matanya sudah terjaga sepenuhnya. Pandangan kami terkunci, dan aku bisa merasakan kegugupan yang aku alami. Aku tidak pernah gugup oleh wanita sebelumnya!.
Dia bangkit dan pergi. Pergi dan tidak menggubrisku sedikit pun!, dia tidak terpengaruh olehku. Apakah dia tengah berpura-pura tidak mengenaliku?.
Aku berbalik dan melihat punggung gadis itu, aku ingin menyentuh kulitnya yang berkilauan. Aku akan memborol kakinya di pagar besi dan menunggu dia memohon ampun atas ke tidak sopanannya memperlakukan aku.
Apa aku seperti angin berlalu baginya, setelah penawar yang tidak mengenakan hari kemarin?. Secara tidak langsung, dia telah menampar sisi brings*kku.
Aku benar-benar di buat gelisah karena respon buruknya. Tidak ada yang pernah memperlakukan aku seperti ini sebelumnya.
"Rupanya kau datang."
Aku kembali berbalik dengan sedikit rasa jengkel, melihat kakakku datang dengan senyuman lebarnya yang jarang terlihat.
Tunggu, dia tersenyum. Aku tidak pernah melihat dia tersenyum selebar itu sebelumnya. Aku menyipitkan mata, berpikir keras dan menyelidik, apa yang membuatnya berubah.
"Tentu saja" kami berjabat tangan dengan erat. Dan dia masih tersenyum.
Zicola Alexander Franklin, dialah kakakku. Kami sudah saling mengenal sejak di bangku sekolah, banyak hal yang orang tidak tahu di balik sikap brings*knya.
Pada usia empat belas tahun ayahnya meninggal di bunuh suami muda ibunya. Dan saat usianya enam belas tahun, ibunya meninggal karena bunuh diri.
Zicola menghabiskan sisa waktunya untuk menjalankan perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan dan makaanan, orang tuanya cukup banyak meninggalkan harta kepadanya.
Dan sekarang dia adalah saingan terberatku dalam bisnis, kami sama-sama mengejar gelar master di tengah puncak kejayaan bisnis.
Aku sudah gatal ingin bertanya. "Sepertinya, adikmu benar-benar membuatmu menjadi kakak yang paling bahagia di dunia."
"Apa aku tidak boleh bahagia?" Sekarang Zicola tertawa.
Tentu saja kau harus bahagia! Dan aku senang.
Dia tidak mengatakan apa-apa, kami berbicara beberapa patah kata mengenai pekerjaan dan keadaan masing-masing. Aku mengedarkan pandangan mencari Yura, aku masih ingin melihatnya dan mendapatkannya.
Aku merasa sedikit kecewa karena Yura tidak tertarik sama sekali padaku.
Aku berharap bisa membawanya pergi dan mencicipinya di ranjang. Mungkin dengan cara itu dia bisa tunduk padaku dan aku berhenti memikirkannya.
"Di mana adikmu?"
"Nanti aku kenal kan padamu. Sebentar, aku pergi dulu" Zicola pergi berbincang dengan tamu lainnnya. Di tengah kesibukannya dia berbincang dengan tamu, aku mencoba kembali ke kerumunan orang dan mencari Yura.
Aku bertekad untuk membawanya malam ini, karena dia yang berhasil menarik Perhatianku selama dua minggu ini.
Itu dia!
Dia tengah sendirian dan menarik diri dari keramaian, aku harap dia datang sendirian ke sini. Tapi aku tidak yakin, dia sangat mencolok di sini dan aku berani bertaruh, tidak akan ada satu orang pria pun yang berani menolaknya.
Tapi, dengan siapa dia datang?, hampir seluruh tamu pesta aku mengenali mereka. Sepenting apa dia sampai-sampai bisa di undang kemari?.
"Apa yang kau lihat?" Aku mencoba bicara berbasa-basi karena malu setelah kejadian kemarin. pikiranku buntu untuk bertanya apa. Aku jarang mengejar wanita, itulah faktanya.
Yura menengok, mengalihkan pandangannya dari luar. Matanya besar dan bercahaya, tapi aku merasakan kesedihan di dalamnya, "Para pengganggu."
Apa dia menyindirku?, sial ini menyebalkan.
Kita lihat saja seberapa jauh dia tidak terpesona padaku, "Kau datang sendirian?."
"Seperti yang kau lihat"
Bagus. Seperti apa yang aku harapkan.
Zicola datang dengan senyuman yang membuatku merasa aneh. "Kau di sini rupanya" dia meraih pinggang Yura dan mengecup puncak kepalanya.
Sial, aku harus mundur dengan kekecewaan, Zico sudah lebih dulu memilikinya.
"Yu, dia Julian dan Julian ini Zuyura. Adikku" ucap Zicola seperti ledakan kembang api yang mendengingkan gendang telingaku.
Adik?
Zuyura Alexandra Franklin?
Bumi telan aku!. Hapus wajahku!.
Rasa panas menjalar di pipiku. Ini sangat memalukan, aku mengejar dan menawarkan uang pada seorang gadis yang ternyata adik dari kakak angkatku sendiri.
Mengapa aku tidak menyadarinya?.
Zicola selalu memanggilnya Zuyura, bukan Yura. Bahkan panggilannya sekarang adalah Yu, sama seperti kebanyakan orang Hong Kong.
Mengapa aku tidak sadar saat ayahku menemuinya?.
Aku tersenyum canggung terlalu malu. Jadi, inikah orang selama ini Zico ceritakan padaku?.
Zicola tersenyum lebar, menunjukan seberapa besar kebahagiaannya. Aku tahu dia sangat berusaha untuk mendapatkan dan membawa adiknya kembali kemari, dan sekarang dia berhasil. Itulah alasan terbesar kenapa si brings*k itu seperti orang yang baru hidup lagi.
Kami bersalaman, aku merasakan kulit dan tangan kecilnya. Tangannya sangat kecil di tanganku, dan untuk pertama kalinya dia tersenyum, meski memaksakan.
Dan aku tidak bisa tersenyum percaya diri lagi.
***
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan otak dan mataku, sejak aku melihat Yu aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Dia seperti magnet, menghipnotisku untuk terus memandangnya.
"Kau irit bicara hari ini" Ariana masih duduk di pangkuanku, memang sejak tadi aku jarang bicara karena terlalu sibuk melihat Yu.
"Kau bosan?"dia bergerak di antara pangkal pahaku, jari lentiknya menyusuri wajahku dengan tatapan memuja.
"Sedikit" aku tersenyum kecut. Ariana menciumku, aku diam memiringkan wajahku, merasakan Ariana mendorong lidahnya memasuki rongga mulutku. Untuk saat ini aku tidak tertarik untuk bercinta, meski Ariana cantik dan seksi.
Bahkan ciuman panasnya tidak senikmat ciuman Yu.
Jernihkan pikiranku Juls!
Aku menjauhkan wajahku dan tersenyum, menghargai usahanya dalam merayu.
Perhatianku kembali kepada si lezat Yu, dia bersama Zicola tengah menyesap segelas wine, mungkin sebaiknya aku ikut bergabung dengan mereka setelah cukup lama mengasingkan diri.
Aku takut Yu menceritakan penawaran yang aku lakukan padanya kepada Zicola. Jika itu terjadi, maka aku akan babak belur di tangannya.
Aku harap dia tidak mengatakannya. Aku harap.
Aku melepaskan Ariana dengan beberapa patah kata.
"Kau menikmati pestanya?" Zicola melihat kepadaku yang baru saja duduk bergabung. Aku mengangkat bahu dan tersenyum kecut, "Kamar ke tujuh bisa kau gunakan dengan seorang wanita" sambungnya.
Jaga bicaramu bung! Aku sedang teratarik pada adikmu yang lezat itu
"Akan aku lakukan" jawabku dengan penuh tekad, aku ingin membawa adik dari kakak angkatku malam ini.
To be continue...