Ello dan Zayn yang kalah score saat mabar bareng, bertugas membeli beberapa makanan dan minuman untuk di bawa ke jembatan.
Dengan menggunakan motor Zayn, dua orang ini beli makanan di caffe terdekat. Tak disangka, saat sampai di parkiran caffe, Ello melihat mobil istrinya sudah terparkir disana. Segera ia bergegas masuk untuk mencari istrinya.
“Wooi, nyelonong aja lo! Kek demit!” Teriak Zayn yang masih setandarin motor.
Tak menggubris ocehan Zayn, Ello celikukan mencari keberadaan Tere. Langkahnya terhenti saat melihat istrinya diam mematung didepan pintu sebuah ruangan yang dipesan khusus. Berjalan pelan, berdiri tepat dibelakang Tere.
Matanya tertuju pada kedua bahu Tere yang terlihat bergetar dengan tangan yang tiba-tiba melemas. Lalu menatap kedalam ruangan. Di mana seorang pria yang ia kenal tengah memeluk pinggang kekasihnya. Dengan cepat Ello melingkarkan kedua tangan ke wajah Tere.
“Jan liat.” Lalu menarik lengan Tere agar berbalik menghadapnya. Membawa wanita yang sedang menangis itu kedalam dekapan.
Ello sendiri menyaksikan menyatunya kedua bibir pasangan kekasih itu, lengkap dengan satu tangan si pria yang menelusup ke s**********n si cewek. Ello menatap ke lain arah. Penasaran, tapi memilih tak melihatnya. Mengelus punggung Tere lembut.
Setelah Tere tenang, Ello melepas pelukan, menatap wajah Tere yang terlihat murung.
“Kita pulang ya.” Ucapnya lembut.
Tere ngangguk dengan tangan yang sibuk mengusap mata. Ello mengekor langkah Tere yang keluar dari caffe. Tangannya ditarik Zayn saat ia hampir keluar.
“Lo asal ngilang, anjing!” umpat Zayn yang menunggu pesanan sendirian.
Mengingat Tere, ia lupa tujuan datang ke caffe. “Soory, su. Gue lupa.” Merogoh dompet disaku celana. Mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah. “Gue yang traktir untuk malam ini. Tapi gue ada urusan penting.” Menepuk bahu Zayn.
Nggak peduliin Zayn yang terlihat bingung, Ello segera berlari keluar mengejar Tere.
“Biar gue yang bawa mobilnya.” Menengadah, meminta kunci mobil.
“Kamu masih ada urusan sama temenmu, kan?” suara Tere terdengar lemah.
“Udah kok.”
Tere merogoh kunci mobil didalam tas, lalu memberikan ke Ello. Dengan cepat Ello membuka kunci, lalu masuk kekursi kemudi. Mobil melaju pelan saat Tere sudah duduk disebelahnya.
Ello melirik Tere. Wanita itu hanya menunduk selama perjalanan, sesekali tangannya sibuk mengusap hidung dan mata. Tak mengatakan apapun, memilih diam membiarkan Tere menumpahkan rasa sesak.
Tak terasa, mobil yang Ello bawa telah sampai di pekarangan rumah. Begitu mesin mobil mati, Tere langsung turun, tak peduliin Ello, ia melangkah masuk kedalam rumah, dan tentunya masuk ke kamar.
Melepas jaket, melempar tas ke sofa yang ada disamping lemari. Duduk ditepi tempat tidur sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisnya pecah, tergugu hingga kedua bahu bergetar.
Ini terlalu sakit, sangat sakit. Bian masih ada dalam hatinya. Lelaki yang ia cintai sejak masuk kuliah, dan baru menjalin hubungan dengannya di semester akhir. Menemaninya duduk menggantikan posisi sang papa. Memberi banyak kekuatan dan motivasi untuk terus maju. Lalu, dengan seenak jidat mengatakan putus tanpa sebab yang pasti.
Padahal, Tere sudah membelikannya mobil, rumah dan barang mewah lain yang tak terhitung harganya. Untuk uang, jangan tanyakan itu, karna Tere sangat mempercayakan keuangannya pada Bian.
Terasa sapuan lembut di bahunya yang bergetar. Lalu pergerakan kasur yang menandakan ada seseorang duduk disampingnya. Siapa lagi jika bukan Ello.
“Sini, gue peluk.” Ucap Ello, meraih tangan yang menutupi wajah. Lalu membawa Tere untuk menumpahkan tangis dibahunya.
Menurut, Tere melingkarkan tangan di kedua bahu Ello, menumpahkan tangis dibahu bocah yang berstatus sebagai suaminya.
Sementara Ello mengelus punggung Tere pelan. “Gue tadi dah bilang. Selera lo D.” Ucapnya lirih, tapi tetap mampu didengar Tere.
Setelah merasa lebih tenang, Tere mengendurkan pelukan. Mengusap kedua mata dan ingusnya.
“D apaan?” suaranya serak karna tangisnya tadi.
Ello beranjak, ngambil sebotol minuman dan mengulurkan ke Tere. Tere sedikit mendongak, menatap suaminya. Lalu menerima botol itu, membuka dan meneguknya.
“D itu dinosaurus. Serem, nggak ada imut-imutnya. Pemangsa!” jawab Ello ngasal.
Melepas hoddie, jam tangan dan sepatunya. Lalu masuk ke kamar mandi.
Tere mengerucutkan bibir, diam untuk memikirkan dinosaurus yang dimaksud Ello.
Tak begitu lama Ello keluar sudah dengan celana kolor, mukanya basah karna habis cuci muka.
Tere beranjak, gantian masuk ke kamar mandi untuk cuci muka. Saat keluar, dia melihat Ello yang duduk ditepi tempat tidur dengan ponsel ditangannya.
Merasa diperhatikan, Ello mendongak, menatap Tere yang diam menatapnya.
“Tidur gih. Lo pasti capek.” Interupsinya.
Tere memainkan kain yang nempel ditubuh. “Kamu bobok dimana?” tanyanya lirih.
Ello menaikkan alis, tersenyum jail. “Elo pen dikelonin nggak?”
Tere sedikit melotot. Langsung nimpuk lengan Ello. “Apa sih!”
“Kan lagi berduka, siapa tau butuh ditenangin? Kelonan sama gue bikin ati tenang lho, mbak.” Menaik-naikkan alis dengan senyum yang di buat seimut mungkin.
“Ello! Iihh, ngeselin!” mendorong lengan Ello agar cowok itu menyingkir dari ranjang. “Kamu bobok bawah aja. Ada kasur lantai kan?” suruhnya.
Ello terkekeh. “Iya, gue bobok di sofa sana.” Menunjuk sofa panjang yang ada didepan teve.
“Yaudah, sana.” Usir Tere.
Melihat Ello beringsut menuju sofa, Tere langsung naik keatas ranjang. Menarik selimut, lalu berbaring miring menatap Ello yang mulai merebahkan tubuh ke sofa. Untuk beberapa saat mereka saling bertatapan.
“Buruan merem! Awas kalo macem-macem!” ancam Tere. Lalu berbaring terlentang, menutup mata dengan lengan tangannya.
Ello hanya tersenyum, masih menatap Tere yang udah kelihatan anteng, tapi yakin jika istrinya masih terjaga. Lama-lama Ello pun merem, seharian keluyuran membuatnya lumayan capek.
Satu jam berlalu, Tere masih belum bisa tidur. Kembali membuka mata, menatap plafon berwarna putih dengan ukiran disetiap sisinya. Tere beringsut, kembali miring menatap Ello yang udah merem dengan dengkuran halus. Melihat suaminya yang tak memakai selimut, ia tak tega. Bangun, menarik selimut tebal yang ia pakai untuk menutupi tubuh Ello.
Tere jongkok, menatap wajah Ello dari dekat. Tersenyum mengingat semua yang menjengkelkan itu. Tangannya terasa gatel pengen nyubit hidung Ello yang bisa dikatakan mancung.
“Kamu perfect, cowok idamanku banget.” Ucapnya pelan dengan masih perhatiin wajah imut didepannya. “Tapi ... Enggak untuk umur. Aku nggak suka sama cowok yang lebih muda. Kamu lebih cocok jadi adekku.” Lanjutnya.
Mengelus rambut Ello pelan, lalu beranjak. Mengambil selimut dari kopernya dan kembali berbaring diranjang.
**
Pagi menyapa.
Sudah menjadi kebiasaan, dimana pun Tere tak pernah bangun lebih pagi dari ayam. Wajar saja, selain dia yang memang manja dari kecil, dua tahun ini dia menjadi wanita karier yang sangat sibuk.
Tere mulai mengeliat, mengelus perutnya yang mulai terasa protes. Segera bangun karna kebelet pipis. Dengan mata yang masih sedikit merem Tere beranjak dari kasur. Menutup mulut yang menguap lebar, berjalan pelan menuju kamar mandi.
Segera menurunkan celana dalam dan jongkok. Tangannya bergerak-gerak mencari gayung yang biasanya terletak tak jauh dari kloset. Tiba-tiba saja ada gayung didepan mata yang memang sengaja disodorkan oleh seseorang. Pikiran yang belum sempurna membuatnya menerima gayung itu tanpa berfikir lebih. Setelah selesai, Tere kembali berdiri, menaikkan celana dalamnya. Lalu ....
“Aaaa ....” teriaknya dengan kencang.
Ello menutup kedua kuping sambil nyengir.
“Pipis lo bauk. Gayur dulu gih.”
Tanpa ekspresi apapun, Ello ngeloyor keluar kamar mandi sudah dengan handuk yang melilit di pinggangnya.