Ddrrtt ... Ddrtt
Nada dering ponsel milik Ello memenuhi mobil. Segera Ello merogoh ponsel dari saku celana. Tertera nama Papa disana.
“Mampus!” Umpatnya, yang udah tau pasti akan kena omel.
Menggeser tombol warna hijau, lalu menempelkan ponsel ditelinga.
“Ha—“
“Bisa kan, sehari aja nggak usah bikin masalah, hum? Berehenti keluyuran yang nggak ada gunanya, El! Kali ini papa nggak akan urus motor kamu yang ada di kantor satpol pp. Biarin itu motor mau diapain. Capek papa!” Omelan panjang sang papa membuat Ello nyengir.
“Yah, papa, jan gitu dong. Besok aku berangkat sekolahnya pakai apa?”
“Terserah! Sekolah juga Cuma bolos, pake acara berangkat sekolah! Mending kamu dirumah, bantuin mang Udin bersihin kebun!”
“Iiihh, pa. Jahatnya! Aku besok kan mau jadi tentara.”
“Tentara kalo nggak pernah ikuti peraturan juga bakal ditembak musuh!”
“Yaah, jadian dong. Eh, mati dong. Lah, papa doain anaknya sadis bener.”
“El, papa pusing. Hari ini kamu mau pulang apa enggak, itu terserah kamu.”
“Pa, aku ada kejutan buat papa.”
“Udah ya, papa nggak akan lagi terkejut. Paling Cuma mau cerita kalo kamu semalam ketemu sama bidadari lalu kolornya basah.”
Tere yang samar mendengar suara Samuel disebrang telfon menahan tawanya. Membuat Ello menahan malu.
“Papa malu-maluin, sumpah! Dah ah, males ngomong sama papa!” ngambek, Ello mematikan telfonnya sepihak.
Noleh, natap Tere yang sekarang tertawa kecil. “Senengnya, sampe ketawanya belom kelar.”
Tere melirik Ello sejenak. Lalu geleng kepala. “Nggak tau juga sih, aku ngetawain apa.”
Ello masih natap Tere yang menahan tawanya. Lalu tersenyum sendiri, wanita yang baru pertama kali ia temui, yang sekarang telah resmi jadi istri sahnya.
‘Cantik, manis, dan ... Gue suka.’ Bisiknya dalam hati.
“Eh, gue transfer kemana duitnya?” tiba-tiba Tere berucap.
Ello mengerutkan kening. “Duit?” membeo yang didengar.
Tere ngangguk samar. “Kamu minta 60 juta, kan?” melirik Ello sesaat. “Itu duit buat apaan?”
Ello diam, terlihat bingung. Bahkan ini pertama kalinya ia bertemu Tere. Kenapa bisa minta duit? 60 juta? Otaknya nggak konek sama sekali.
Tak begitu lama ponsel Tere berdering. Ada panggilan telfon masuk dari Sally. Tanpa menghentikan mobil, Tere memasang aerphone ditelinganya.
“Hallo, Sal.” Sapanya.
“Re, maaf ya. Gue jadi nggak enak nih. Lo kena omel nggak?” suara Sally disebrang telfon.
“Bener, gue udah punya niat mau bunuh lo! Kacrut! Lo ngeselin banget sumpah! Gimana ceritanya sih, lo jodohin gue sama anak SMA?” sedikit melirik Ello yang ternyata perhatiin dia sejak tadi.
“Hah? Gimana maksudnya?” suara Sally terdengar bingung.
“Jadi lo nggak tau, Sal?”
“Nggak tau apa?”
“Orang yang nerima pernikahan itu masih bocah SMA. Lo tau, sekarang gue udah resmi jadi istri seorang pria SMA. Eh, ralat! Seorang bocah yang baru aja beranjak dewasa dengan umur 19 tahun lebih beberapa hari dan tentunya masih duduk dibangku SMA.” Tutur Tere panjang kali tinggi.
Ello sama sekali nggak marah ataupun protes. Hanya bersedekap dengan tetap menatap istrinya itu.
“Re, tapi orang yang janji mau nikahin elo ini nggak dapat ijin istrinya untuk poligami. Dia ketahuan, makanya hape disita, nggak bisa dihubungi. Dan dia nggak bisa datang keacara nikahan masal yang tadi berlangsung.”
Chiiitt!
Kembali mobil merah Tere ngerem dadakan.
“Aaw! Anjir! Kening gue mancung, wooi!”
**
“Ello, sayang, kenapa kening kamu benjol begitu?” dengan sangat khawatir nenek menatap kening menantunya.
Ya, kejeduk dua kali, kening cowok tampan berambut coklat ini benjol.
Ello meraba keningnya yang emang menonjol. Suami Tere emang nggak mancung giginya, melainkan keningnya yang mancung. Heheh ....
“Tadi kejeduk, nek.” Jawab Ello jujur.
Tere nyengir. “Aku bantu obati.” Beranjak dari tempatnya. Masuk kedalam untuk ngambil kotak p3k.
“Ulfa!” nenek memanggil pembantunya.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita dengan daster ungu datang. Membungkukkan badan sedikit.
“Saya, nyonya.”
“Siapkan makan siang.” Perintah nenek.
“Baik, nyah.”
Segera Ulfa si pembantu kembali masuk. Menyisakan nenek dan Ello yang duduk berhadapan. Ello merogoh ponsel disaku celana. Ada beberapa chat masuk dari teman-temannya. Dia nggak nggeh kalo Nenek memperhatikannya sejak tadi. Terlalu fokus berbalasan pesan dengan teman-temannya.
Sampai nenek tertawa kecil. Entahlah, nenek sangat senang melihat bocah umuran Ello dengan segala tingkah kekanakannya. Semua selalu mengingatkan pada Darel, putra tunggal yang sekarang sudah berpulang.
Tak begitu lama Tere datang, sudah dengan dress sebatas lutut dan rambut yang ia kucir acak. Duduk disebelah Ello.
“Sini, aku kompres kening kamu.” Menarik lengan Ello agar cowok itu menghadap kearahnya.
Nenek beranjak, memberi ruang untuk kedua anak manusia yang berstatus sebagai pengantin baru.
Seperti tak menganggap bahwa memang tadi ada nenek disana. Tere menempelkan sekotak es yang sudah ia balut dengan kain ke kening Ello. Mengompres kening yang benjol itu pelan.
Sementara Ello diam menatap wajah putih mulus Tere yang tak ada satu jerawat atau pun komedo disana. Alisnya alami, bukan lukisan. Iris mata sedikit berwarna biru, hidung mancung dan ada tahi lalat kecil diujung bibir sebelah kiri. Jakun Ello naik turun menatap bibir tipis yang sedikit terbuka.
“Mbak Tere,” panggilnya.
“Hhmm.” Jawab tere tanpa balas menatap Ello. Bahkan ia tak sadar jika Ello memperhatikannya sejak tadi.
“Elo cantik.” Pujinya.
Seketika itu, Tere terkejut. Menekan kompresnya cukup kuat.
“Aaww!” jerit Ello karna keningnya jadi nyut-nyutan. “Lo niat ngobati nggak sih! Sakit, anjir!” ngomel dengan wajah kesal.
Tere terlihat malu, salah tingkah. Kedua pipi sedikit merona. “Makanya, kamu jangan ngagetin juga.” Nggak mau disalahin.
“Iya deh, nggak lagi muji lo cantik. Yang ada gue kena musibah.” Merampas bungkusan es batu digenggaman Tere, lalu mengompres keningnya sendiri.
Tere menatap ke lain arah. Mendengar pujian Ello, dengan sangat tiba-tiba jantungnya berdebar tak karuan.
“Eh, kenapa kamu tadi nikahin aku?” tanya Tere sambil menatap Ello serius.
“Gue ngumpet.”
“Gumpet?” mengulangi kata-kata Ello. Ello Cuma ngangguk, tak menjelaskan apapun. “Kenapa kamu ngumpet?” tanya Tere dengan wajah penasarannya.
“Di kejar polisi.”
“Hah?!” kedua mata itu melotot dengan mulut yang mengaga lebar.
Pikirannya terarah pada bocah SMA yang sekarang salah gaul, yang menjual obat-obatan terlarang, bahkan sudah menjadi pecandu.
“Astaga, itu nggak mungkin, kan?” merem, memijat pelipisnya.
Ello nggak peduliin wajah Tere yang penuh kekhawatiran dan ketakutan. Ia sibuk mencari obat yang bisa di oleskan ke kening. Ngambil botol minyak tawon, membukanya. Ngambil kapas, menumpahkan sedikit, berniat mengoles ke keningnya, tapi salah sasaran.
Tere menengadahkan tangan. “Sini aku bantuin.”
“Nggak ah, ntar kening gue tambah mancung.” Tolak Ello.
“Iihh, enggak. Siniin.” Mencekal lengan Ello dan merebut kapas itu.
Tere menyingkirkan helaian rambut yang menutupi benjolan dikening Ello. Sedikit mendongak, karna memang tinggi mereka nggak sama.
“Aku nggak tau ya, kenapa kamu bisa dikejar polisi dan berakhir nikahin aku. Bahkan pernikahan yang tadi kita lakukan udah diakui sama negara. Dan nenek keliatan suka sama kamu. Padahal kita ini nggak saling kenal. Aku sa—“
Kata-kata Tere terputus saat menyadari Ello menatapnya sejak tadi dengan mata tak berkedip. Kali ini wajah mereka benar-benar sangat dekat. Duduk mepet selayaknya orang pacaran. Tatapan mereka bertemu untuk kesekian kali.
Ello yang memang sejak awal tertarik dengan kecantikan Tere, sedikit memajukan wajah.
Sementara Tere hanya diam ditempat, menyadari sesuatu. Wajah Ello terlihat sangat imut, tampan dan sangat menggemaskan. Mencengkram kapas ditangannya dengan erat, menelan ludah dengan kesusahan saat wajah Ello sedikit miring, lalu ....
“Ayo makan siang dulu.” Suara nenek mengembalikan kesadaran mereka.
Tere terlihat gugup, menegakkan duduknya. Membuang nafas kasar melalui mulut.
“Ntar aja lah, abis makan.” Ello masih natap wajah Tere yang gugup.
Kening Tere sedikit berkerut, nggak paham sama ucapan Ello. “Ngapain?” tanya Tere. Melirik Ello sebentar, lalu mengemasi kotak p3k nya.
“Lanjut cipokan. Hehe ....” Nyengir tanpa dosa.
“Kamu—“
“Iya, nek.” Segera Ello beranjak, ngeloyor ninggalin Tere yang terlihat kesal dengan tangan menuding.
“Iissh, dasar bocah! Ngeselin!”