TBC 02

1520 Words
Di perusahaan Jade-Corporation. Real Madrid, Spanyol. Seorang pemuda tampan tengah duduk di atas kursi kebesarannya. Memainkan jemari-jemarinya, menatap luar bangunan kaca, yang menampilkan hamparan bangunan-bangunan, terlihat nampak begitu kecil. Menandakan jika keberadaan pemuda itu di atas bangunan tertinggi. Dengan senyuman sinis, kedua iris coklat yang menggambarkan ambisi. Sudah dapat ditebak jika pemuda ini tengah memikirkan sesuatu yang begitu besar. Sontak pemuda itu-Vector, segera memutar kursi kebesarannya. Saat mendengar ada sosok lain yang masuk ke dalam ruangan pribadinya. Sudah dapat ia tebak, jika sosok itu merupakan asisten pribadinya-Albert. Karena hanya pemuda itu yang berani memasuki ruang pribadinya tanpa permisi. "Ck, ternyata dia hanya tikus kecil. Hah! Sedikit membuang waktuku saja," jengah Albert, menyenderkan punggungnya di sofa mahal ruangan tersebut. Vector yang mendengar keluhan sang sahabat hanya bisa terkekeh. "Kau sudah mengambil alih perusahaannya?" tanya Vector selanjutnya. "Tentu saja! Apa aku pernah melaksanakan tugas darimu hanya setengah-setengah, hah?!" cerca Albert, yang merasa jika sahabatnya terlalu meremehkan. "Aku percaya padamu." kekeh Vector. *** Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah mewah. Tempat tinggal seorang gadis bernama Catalina Juliette bersama sahabatnya, sekaligus asisten pribadinya-Melan. "Gila! Aku nggak salah denger? Kamu habis bunuh pimpinan perusahaan Jade-Corporation?!" syok gadis cantik yang bernama Melan itu. Sedang yang merasa terintimidasi hanya duduk santai, seraya menghisap sepucuk rokok di kedua bilah bibirnya. Sambil memejamkan kedua matanya, seolah menikmati setiap kepulan asap yang keluar dari mulut mungilnya. "Em," sahut Catalina kelewat santai. "Ck, aku semakin yakin, kalau kau bener-bener gila!" ketus sang asisten sekaligus sahabatnya seperpopokannya itu. "Kau baru nyadar!" cercanya, seraya terkekeh kecil. "Harta aku masih banyak, cukup buat hidup foya-foya kita selama setahun. Aku mau istirahat dulu, tolak semua orang yang butuh bantuanku!" serunya. Melan membelalakkan matanya lebar. Bagaimana mungkin? Jika sekarang saja sudah ada setumpuk dokumen berisikan calon-calon mangsa lengkap dengan sang penyewa jasa. "Tapi ... bagaimana dengan semua ini!" tunjuk Melan. Pada setumpuk kertas di hadapannya. "Bodo amat! Urus sendiri!" "Ck, selalu merepotkan!" gumam Melan. Segera menghubungi para penyewa jasa Catalina. Catalina, memejamkan kedua matanya. Ia membayangkan bagaimana awal dirinya masuk dalam dunia penuh dosa ini. Keluarganya, yah! Itu salah satu alasan dirinya menjadi sosok gadis liar yang haus akan kekejaman duniawi. Ia ingin merasakan ketenangan, sama halnya dengan manusia normal seperti kehidupan orang lain. Punya keluarga, punya tempat tinggal, ingin tertawa bersama keluarga kecilnya. Tapi semua hanyalah angan belaka, keinginan yang menurut Catalina hanyalah bagian dari kata mustahil. Tak mungkin ia bisa mewujudkan sebuah impian gila itu, dirinya hanya sampah. Tak lebih dari alat yang setiap waktu siap di gunakan sang majikan. Untuk melenyapkan mangsa mereka. Hidupnya penuh akan dosa, tak terhitung jika saja dosa bisa dilihat dengan mata telanjang. "Lin. Kau kenapa?" tanya Melan memecah lamunan Catalina. Catalina membuka kedua matanya berlahan. "Kenapa hidupku kayak gini?" tanyanya dengan tatapan mata fokus ke atas langit-langit kamarnya. Melan hanya tersenyum, ia tau betul dengan apa yang dirasakan sahabatnya itu. Karena hidupnya tak jauh berbeda dengan sosok gadis ini. Bisa dibilang Melan bisa bertahan hidup sampai sekarang berkat bantuan dari Catalina. Ia ingat di saat pertama bertemu dengan Catalina. Di saat dirinya tengah berada dalam kepungan para aparat keamanan, karena telah ketahuan mencuri. Dan Catalina yang menyelamatkan dirinya. "Anggap ini sebagai takdir hidup kita," sahut Melan, ikut menatap langit-langit ruangan itu. "Dari kecil, aku udah dicampakkan sama keluargaku sendiri." lanjut Catalina. Melan hanya tersenyum menunggu kelanjutan sahabatnya berucap. "Aku benci! Aku ingin membuktikan sama dunia, kalau aku bisa hidup tanpa adanya keluarga. Aku bisa bahagia tanpa adanya cinta dalam hidupku." Melan lagi-lagi hanya tersenyum, tanpa Catalina sadari, gadis itu telah mengungkapkan isi perasaannya. "Kamu kesepian, Lin?" "Kagak! Kan ada kamu." "Makasih sudah menganggapku ada." "Ya emang, kamu selalu ada buat aku, selalu bantu aku. Cuma kamu satu-satunya orang yang bisa aku percaya." "Makasih udah percaya sama aku." "Makasih terus kamu tuh, udah aku mau tidur!" final Catalina. Melan melirik ke arah gadis di sampingnya, tersenyum simpul menatap wajah damai gadis cantik itu. Jujur, ia sangat mengagumi sosok Catalina. Gadis itu begitu kuat, mengahadapi ribuan ujian hidup yang sudah entah berapa ribu kali menghantam kehidupannya. Wajah cantik nan polos itu sebenarnya tidak terlalu cocok, untuk berprofesi sebagai seorang pembunuh bayaran. Tapi mau bagaimana lagi, kehidupan yang begitu keras, memaksanya untuk menyelami dunia keji itu. *** Vector Jade, terlihat pemuda itu tengah memainkan sebilah belati kecil, berwarna perak dengan bercampur kan warna emas di ujung lancipnya. Dengan ukiran huruf CJ yang begitu dominan di benda tersebut, menjadi ciri khas tersendiri. Walau sudah bertuliskan inisial nama dari sang pelaku. Sampai detik ini, belum pernah satu orangpun melacak keberadaan Catalina. Kehidupan gadis itu seakan bagaikan misteri, sulit untuk dijangkau maupun dilacak. Apa dia seorang iblis? Yah! Dia sesosok iblis berkedok manusia pada nyatanya. "Siapa sebenarnya dirimu? Aku bisa saja menangkapku dan memasukkan dirimu dalam kandang besi, tapi tidak! Kau terlalu berharga untuk mendekam di dalam jeruji besi. Kau terlalu liar, dan aku suka itu," kekeh Vector pada akhirnya. Albert yang sedari tadi melihat ke arah layar laptopnya, sontak terkejut dengan suara kekehan dari sang sahabat. "Kau ok?!" tanyanya. "Lebih dari itu!" sahut Vector dengan suara rendahnya. "Kau tak ingin melihat gadis itu? Aku sudah tau tempat tinggalnya." ucap Albert kemudian. "Tunjukan padaku!" pinta sang atasan. Tanpa menunggu lama, Albert segera membawa laptop di hadapannya ke arah sang sahabat yang kini masih terbaring di ruang rawat pribadinya. Luka bekas tusukan yang diberikan Catalina untuknya belum sembuh total. Butuh waktu beberapa Minggu untuk pulih seperti sedia kala. Vector tersenyum miring, menatap layar yang menampilkan keseharian Catalina di tempat tinggalnya. Albert begitu cerdik, dengan mudah ia mengirimkan anak buahnya untuk menempelkan kamera tersembunyi dan penyadap di tempat tinggal gadis itu, tanpa sepengetahuan siapapun. "Kau hanya memasang di kamar gadis dan ruang tamu saja?!" tanya Vector sedikit heran. "Lalu? Aku harus memasang di mana lagi, memangnya?" tanya Albert tak kalah heran. "Kamar mandi." "Dasar otak kotor!" sergah Albert, sudah hilang kesabaran. Merutuki sahabatnya yang sudah memiliki kemesuman tingkat dewa. Vector hanya terkekeh dibuatnya. Ia hanya ingin bercanda, pasalnya Albert tak pernah tersenyum. Pemuda itu selalu saja bersikap serius. Albert ikut tersenyum, rasanya kedua ujung bibirnya terasa kaku hanya sekedar untuk tersenyum. Sudah berapa tahun lamanya ia tak pernah tertawa maupun tersenyum, batin Albert berlebihan. "Apa dia tidak punya keluarga?" tanya Vector, sedikit heran. Pasalnya Catalina hanya terlihat bersama seorang gadis seumurannya saja. "Mungkin begitu, lihatlah ... apa kau tidak tertarik pada sosok gadis itu?" tunjuk Albert, pada sosok gadis yang tak lain adalah Melan. "Tidak, dia tidak ada istimewanya di mataku." sahut Vector. "Kalau dia?!" tunjuknya lagi pada Catalina. "Sangat! Aku sangat berminat padanya, bisa ku bilang, aku sudah ketagihan akan dirinya." "Ketagihan dalam hal apa?!" Albert memicingkan matanya. "Semuanya!" seringai Vector. Albert hanya merolling bola matanya malas. Ia tau betul dengan apa yang dimaksud oleh Vector. Terlalu mudah untuk menebak isi otak pemuda itu, bagi Albert. *** Catalina merebahkan tubuhnya di karpet berbulu ruang santainya. Di susul Melan kemudian, yang ikut duduk seraya menyalakan TV di hadapan mereka berdua. "Kau mau?" tawar Melan, menyodorkan sebungkus makan ringan ke hadapan Catalina. "Tidak." Melan menghedikan bahunya, menarik kembali bungkus makanan ringan itu kembali dan mulai memakannya sendiri. "Mel," panggil Catalina. "Em," sahut Melan yang masih fokus menonton acara TV di hadapannya. "Aku ingin bicara sesuatu padamu." "Katakanlah!" lanjut Melan. "Em, sebenarnya aku ...," "Apa?!" "Dengarkan dulu! Jangan terkejut." "Ok, katakanlah!" "Aku, em, aku ... aku sudah melakukan hal itu," lirih Catalina, Melan menghentikan acara makannya sejenak. Menatap serius wajah sang sahabat. Ia sudah menerka-nerka maksud dari kata-kata yang terlontar dari bibir Catalina. Namun ia mencoba berpikir positif dan mencari kejelasan dari semuanya. "Apa maksudmu? Jelaskan!" kini Melan yang memasang wajah serius. "Aku melakukan itu dengan salah satu korban yang terakhir kali aku habisi." Sesuai dengan apa yang ada di dalam otak Melan. Ucapan Catalina sukses membuat Melan memelototkan kedua bola matanya, seakan siap meloncat dari tempatnya menempel. "Kau gila! Kau benar-benar gila! Bagaimana bisa kau memberikan mahkota kesucianmu pada lelaki tidak jelas, hah?!" marah Melan. Dengan napas naik turun. "Hah! Apapun akan aku lakukan, demi melancarkan misiku," jelasnya kelewat santai. "Astaga, Lin ... aku tak habis pikir dengan cara pikir otakmu. Aku hanya takut jika sampai kau ..--- "Jangan lanjutkan! Karena aku sudah mengantisipasinya terlebih dahulu." sahut Catalina. "Syukurlah ...," Catalina tersenyum pahit, merutuki kebodohannya. "Mel, apa kau pernah menyesal karena sudah berteman dengan diriku?" "Jangan berpikiran tak masuk akal!" sergah Melan kemudian. "Aku hanya gadis kotor, hina, tak ada definisi yang pas untuk diriku. Aku terlalu keji, terlahir menjadi seorang manusia." "Lin ... aku tak pernah memandang dirimu dari segi apapun. Aku berteman dengan dirimu karena aku tahu, jika dirimu memiliki hati yang baik." ucap Melan tulus. "Terima kasih, sudah mau menjadi sahabat setiaku." "Aku juga berterima kasih, tanpamu aku tidak mungkin bisa bertahan hidup." Mereka berakhir berpelukan. Beginilah sisi lain dari Catalina. Meski dirinya terkesan kejam, namun di sisi lain ia tetaplah seorang gadis biasa. Yang mempunyai kelembutan hati. Tapi tidak! Jika sudah menyangkut masalah misi pekerjaan, Catalina tak akan segan untuk merubah kepribadiannya menjadi sosok gadis keji, bak dewa kematian. Vector sedikit tertegun, kedua matanya tak lepas dari pandangan sosok Catalina. Kedua telinganya ia pasang baik-baik untuk mendengarkan setiap percakapan gadis tersebut. "Kau begitu random, sulit untuk ku tebak," seringainya, bak dewa iblis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD