Bab 6. Jangan Baper

1115 Words
Mendengar pertanyaan Susi, Tirta melirik ke Nindya, dan dia tahu Nindya sangat resah dan ketakutan. “Mau tahu saja kamu, Sus,” gerutu Tirta, dan mulai menikmati sarapan dan teh s**u kesukaannya. “Biasanya di spa hotel Le Meridi**, Pak,” goda Susi lagi. Dia sangat hafal kegiatan di keseharian Tirta karena dia adalah pekerja senior di kediaman Tirta. “Iya. Tapi semalam pijatannya telah mengalahkan pijatan yang pernah aku rasakan seumur hidup, makanya aku bisa sesegar ini,” ujar Tirta lagi, tanpa melirik ke Nindya sedikitpun, dan Nindya sendiri sibuk menyelesaikan suapannya ke mulut Naomi yang masih memandangnya dengan kesal, karena dia akan pulang ke rumah sore ini. Nindya sedikit lega mendengar percakapan antara Tirta dan Susi mengenai kegiatan semalam. Entahlah, sepertinya dia akan enggan menerima pekerjaan yang tidak seharusnya dia lakukan karena akan berisiko tinggi. Dia merasa adanya persaingan di antara para pekerja di rumah Tirta. “Pi, Bu Nin sore ini pulang ke rumah,” ujar Naomi dengan wajah cemberut. Tirta mendelik, menoleh putrinya yang baru saja selesai sarapan, disuapi Nindya dengan penuh perhatian. “Apa hari ini?” gumam Tirta bertanya. “Jumat, Pak. Saya berencana ingin bermalam minggu bersama anak-anak, pagi Minggu saya akan kembali lagi ke sini,” ujar Nindya menjelaskan, berharap Tirta tidak memenuhi keinginan putri sulungnya yang memang dikenal keras kemauan. Lagi pula dia bisa memilih hari untuk day off, Sabtu atau Minggu. “Kamu pulang hari Minggu saja, Nin,” ujar Tirta, dan suaranya tidak selembut sebelumnya, membuat Nindya sulit membantah. Nindya menghela napas panjang, semalam Cakra menghubunginya dan mengatakan rindu kepadanya, juga masakannya. Tampaknya Naomi memperhatikan wajah Nindya yang murung. Dia berbisik sangat pelan, “Ibu marah?” “Nggak, Omi. Nanti Ibu pijet kamu setelah berenang,” ujar Nindya yang tetap berusaha menunjukkan senyum di wajahnya, meskipun hatinya sedih. “Atau….” Naomi berpikir, melirik ke papinya takut-takut. “Atau aku ikut Bu Nin ke rumah dan menginap di rumah Bu Nin.” “Eh? Rumah Ibu kecil, Omi.” “Nggak apa-apa. Aku bosan di sini.” “Ke rumah Mami saja,” bujuk Nindya lagi. Naomi menggeleng, cemberut lagi. Semua sudah selesai sarapan, Tirta terlebih dahulu berdiri diikuti kedua putri cantiknya. Bersama Lince, Nindya membantu membawakan tas dan tas bekal Cecilia dan Naomi. Saat sudah memastikan kedua gadis itu duduk dan peralatan sekolah sudah lengkap, Nindya menutup pintu mobil. Sedangkan Lince bertugas menemani mereka hingga pulang sekolah, dan Nindya yang akan melanjutkan pekerjaannya di bagian dalam rumah. “Nin.” Nindya terkejut, Tirta mencolek pinggangnya dari belakang. Dia sudah siap diantar sopirnya dengan mobil sedan mewah lainnya. “Iya, Pak.” Nindya berbalik dan menunduk hormat ke arah Tirta. “Kamu boleh pulang sore ini, tapi ajak Naomi dan Cecil.” “Ha? Tapi … rumah saya kecil.” “Naomi mau, ‘kan?” Nindya yakin Tirta telah mendengar percakapan antara dirinya dan Naomi saat sarapan pagi tadi, meskipun mereka bercakap dengan pelan dan berbisik. “Saya tahu kamu mau menghabiskan waktu sama anak-anak kamu, tidak ke mana-mana, ‘kan?” “Ya, saya …biasanya di rumah kalo malam minggu.” “Kalo begitu ajak saja anak-anak saya. Sekalian berkenalan dengan anak-anakmu. Saya yakin anak-anakmu adalah anak-anak yang baik.” Nindya ingin sekali menolak, tapi tidak sanggup, karena tatapan Tirta yang memaksa sekaligus memohon. Persis Naomi. “Baik, Pak.” *** Bagaimana Tirta tidak bisa menilai bahwa anak-anak Nindya adalah anak-anak baik dan penurut, semua anak Nindya tidak satupun ikut papanya, itu artinya Nindya yang meskipun tidak memiliki uang banyak dan pekerjaan layak, dia adalah wanita penuh kasih sayang. Kedua putri cantiknya pun sangat betah dengan Nindya. Tirta yakin anak-anaknya pasti akan menyukai keadaan di rumah Nindya yang lebih ramai dan mereka akan memiliki petualangan baru. Pagi itu, Tirta dengan semangat pergi ke kantor, urusan rumah tangganya sudah beres dan anak-anak yang tidak lagi rewel. Bahkan sekarang dia senang mendengar laporan dari Lince bahwa Cecilia dan Naomi jauh lebih baik dibanding sebelumnya sejak Nindya mengambil peran mengasuh mereka menjelang tidur. “Oh, kamu baru bercerai?” tanya Susi memastikan. Nindya bekerja membantunya membersihkan perabotan di ruang tamu. “Iya, Sus. Mantan suamiku sudah kawin lagi.” Susi tertawa lucu melihat wajah Nindya saat disinggung nasib perkawinannya. “Pasti sama yang lebih muda dan cantik,” tebaknya. “Iya. Bawahannya di kantor, tapi kaya raya.” “Wah, kok bisa begitu?” “Ya begitulah.” “Berarti mantan suamimu ganteng dong.” Nindya membenarkan dalam hati. “Ya.” “Mana ganteng dibanding Pak Tirta?” tanya Susi usil. Nindya tertawa menggeleng, “Ya Pak Tirtalah, Sus. Kamu ini bagaimana sih?” Susi cekikikan, menutup mulutnya. “Pak Tirta itu memang sempurna, ganteng, kaya raya, duit nggak habis-habis. Satu saja kurangnya, genit.” Nindya tertawa mengangguk membenarkan. “Intinya sama dia itu jangan dibawa perasaan, Nindya. Pak Tirta ini orangnya cepet bosan. Cuekin saja kalo dia mulai usil atau banyak maunya. Dia itu kayak ngetes lo. Kalo kita terbawa perasaan dan ikutan genit ke dia, sudah deh, selesai.” “Oh, begitu ya, Sus.” “Iya. Kamu pasti sudah digenitin sama dia.” Wajah Nindya pucat pasi, dia tidak mau menceritakan bahwa dia memijat Tirta suatu malam, dan Tirta waktu itu bersikap genit kepadanya, bahkan menyuruhnya memanggil “Mas”. “Mana mau dia genitin aku, Sus. Aku tua dan janda.” “Empat puluhan kok tua. Kamu masih cantik dan kencang begini.” Susi mencubit kecil lengan Nindya, menatap Nindya curiga. “Ya, biasalah, suka nyentil-nyentil begini.” Nindya meniru Tirta yang mencolek pinggangnya sebelum pergi ke kantor, dan baginya itu sikap genit. “Yang penting jangan baper, kalo mau kerja lebih lama dan gaji lebih tinggi,” ujar Susi sambil memainkan jari-jarinya. “Emangnya ada korban sebelumnya?” tanya Nindya ingin tahu. “Ya banyak, Nin. Belum lagi mantan istrinya yang cemburuan begitu, liat Tirta genit sama yang muda saja sudah main pecat. Tapi ada juga yang sampe main dukun lo.” “Astagaaa.” “Iya, saking sukanya ke Tirta.” “Terus?” “Ya, nggak berhasil. Nggak tahu juga kenapa bisa nggak berhasil.” “Atau pak Tirtanya punya dukun lebih hebat begitu.” Susi tertawa keras mendengar dugaan yang diucapkan Nindya, tapi Nindya malah heran dan wajahnya berubah sewot. “Duh, Nin. Kamu ini lucu juga lama-lama. Bisa bikin pak Tirta gemes lo. Aku peratiin dia suka liat kamu kalo sewot begini.” Kata-kata Susi membuat Nindya semakin jengah dan juga sewot. “Sudah. Intinya kalo mau dapat uang banyak dari Tirta ya kerja dengan apik, dan nggak usah baper.” Nindya tersenyum dalam hati, bertekad akan bekerja dengan baik dan tidak akan terlalu serius menanggapi sikap genit yang ditunjukkan Tirta kepadanya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD