Bab 8. Bos Tirta

1178 Words
Sore itu Tirta masih bekerja di kantornya, dan dia mengadakan rapat dadakan menjelang pulang. Berbeda di saat santai, Tirta bisa terlihat genit dan mata yang jelalatan saat memperhatikan perempuan, tapi di saat bekerja dia bisa sangat serius, dan para bawahannya sudah cukup mengenal kepribadiannya. “Target dalam waktu enam bulan ini proyek perumahan di Bogor harus selesai. Ini sudah jalan tiga tahun. Jangan sampai para investor itu mengeluh,” ujar Tirta sambil melempar tumpukan dokumen ke atas mejanya, kesal karena proyek besar yang seharusnya sudah tujuh puluh per sen berjalan, dia mendapat laporan bahwa proyek tersebut sangat lamban, bahkan belum mencapai lima puluh per sen. “Maaf, Pak Tirta. Enam bulan terlalu mendesak, ini kami keteteran, Pak. Biasa … soal perseteruan dengan orang-orang kampung. Jadi, menurut saya setidaknya dua tahun.” Salah satu bawahan Tirta meminta keringanan, karena dia adalah kepala proyek yang sedang Tirta bahas di dalam rapat. Tentu saja usulannya membuat Tirta meradang. “Dua tahun? Saya minta enam bulan, kamu minta dua tahun? Atau saya limpahkan pimpinan proyek ini ke Samsul. Dia bisa bekerja lebih cepat dari kamu!” “Jangan, Pak Tirta. Jangan. Baik, Pak. Saya usahakan dalam waktu enam bulan ini.” “Kalo tidak selesai?” “Silakan Samsul yang menggantikan saya.” Tirta menggeleng dan berdecak. Lalu dia menyudahi rapatnya dengan wajah masam. Ruang kantornya pun mendadak sepi dari peserta rapat yang sebagian besar sudah tidak tahan ingin segera pulang. “Sejak kawin sama daun muda, kerjanya lelet,” gerutu Razak, salah satu manajer perusahaan Tirta. “Iya, dulu Harja ini kerja sangat bagus, makanya aku selalu memberinya proyek-proyek raksasa,” gerutu Tirta. Harja adalah salah satu pegawai senior terbaiknya di perusahan yang dia miliki, juga merupakan anak buah kesayangan almarhum ayahnya, Agum Rukmana. “Tapi dalam waktu satu tahun ini agak berubah, lebih buruk waktu baru nikah lagi,” ujar Razak sambil bersiap-siap ke luar dari kantor Tirta. “Ngeclub, Tirta?” ajaknya sambil mengedipkan kedua matanya. Tirta memainkan pulpennya sebentar, lalu tersenyum mengangguk. “Tumben langsung mau. Biasanya mikir panjang.” “Anak-anakku menginap di rumah Nindya.” “Nindya?” “Pengasuh baru. Anak-anakku suka sama dia.” “Gadis?” Tirta tertawa kecil. “Janda.” Razak tertawa mengejek, mengira Nindya adalah sosok ibu-ibu dengan wajah yang jutek karena kelamaan menjanda, begitu yang dia pikirkan. Tak lama kemudian, Tirta dan Razak ke luar kantor dan berjalan bersama menuju luar gedung. Razak yang menyetir malam ini menuju klub malam mahal yang biasa mereka kunjungi setelah lelah bekerja. Berbeda dengan Tirta yang duda, Razak sudah menikah dan memiliki satu anak, tapi istri dan anaknya tinggal jauh di Kendari. Malam ini tidak begitu ramai di klub khusus untuk kaum parlente dan borjuis, karena bukan malam minggu atau hari libur. Tapi Tirta tetap menikmati minumannya sambil mengamati perempuan-perempuan muda yang datang bersama pria matang. “Cantik sekali yang itu,” gumam Tirta, melirik nakal ke arah perempuan muda yang sedang digandeng seorang pria tua. “Yang mana, Ta?” tanya Razak ingin tahu. “Itu yang baru datang sama bapak yang memakai batik biru.” Razak lalu menoleh ke arah perempuan muda yang dimaksud Tirta dan matanya terbelalak. Perempuan itu memang sangat cantik dan tubuh tinggi semampai, matanya langsung tertuju ke b****g bulat indah perempuan itu yang tertutup rok mini ketat. Tanpa disangka, perempuan itu menoleh ke belakang, melihat Tirta dan Tirta melambaikan tangannya ke arah perempuan itu. “Ah, dia tahu mana yang gagah dan banyak uang,” sorak Razak. Perempuan itu hanya fokus ke Tirta. Klub sudah mulai ramai didatangi para pengunjung, dan musik pun berubah lebih keras dan menghentak. Tirta dan Razak pun akhirnya bisa menikmati suasana klub yang “bebas”. “Aku kadang heran dengan perempuan-perempuan muda itu, kalo ngeseks sama yang tua gimana ya?” “Jangan dibayangkan, uang bisa bikin perempuan terangsang. Mereka sudah nggak butuh cinta lagi, tapi uang.” “Nggak juga, buktinya Lestari nggak butuh uang, malah lari dari kamu.” “Lestari sudah tidak muda lagi, Zak. Jadi yang dia butuhkan sekarang adalah kenyamanan.” Razak tertawa, membenarkan pendapat Tirta. “Jadi dia sama si Indra?” “Ya. Tinggal menunggu jadwal.” “Kamu akan datang?” “Jika diundang.” “Jangan bawa anak-anakmu.” “Aku nggak mau ribut.” Razak tertawa kecil. “Dia lama juga menjanda, dan baru sekarang dia menemui penggantimu. Biasanya kalo janda genit, habis masa iddah gatal kepingin digaruk.” “Kayak siapa?” Entah kenapa Tirta malah terpikir akan Nindya yang baru saja bercerai, tapi sepertinya Nindya tidak ingin “digaruk”. “Tetanggaku. Habis janda sudah berani bawa brondong ke rumah.” “Haha, nggak semua.” “Tapi ada.” “Ya ya.” “Aku menyesal kamu bercerai dari Lestari. Dia terbaik, Tirta.” “Memang terbaik, makanya aku mau menikah resmi dengannya dan punya anak-anak. Aku nggak bisa memungkiri itu, Tari memang terbaik. Sampai sekarang saja aku tidak bisa menemukan wanita yang seperti dia.” “Jadi kamu menunggu orang yang seperti dia?” “Bukan begitu maksudku. Ya … begitu maksudku.” Razak mengamati wajah Tirta yang serius saat Lestari disinggung. “Wah, mana perempuan tadi ya?” gumamnya ingin mengubah suasana hati Tirta. Dia tahu Tirta akan merasa senang ketika melihat perempuan-perempuan cantik dan bersolek. Tirta bergerak bergeser dan menoleh ke belakang, dia kembali melihat perempuan muda itu yang sekarang sedang duduk berdua dengan pria tua. Perempuan itu lagi-lagi tersenyum ke arahnya saat pria tua itu lengah. “Dia apa nggak khawatir kalo perangainya membahayakan dirinya? Aku yakin pria itu banyak duit, dan bisa menyuruh orang menyerangnya jika macam-macam,” ujar Razak sambil menggeleng. “Mungkin dia kurang terpuaskan,” ujar Tirta. “Tapi memang ini tempatnya, Zak. Kamu lupa, ini bukan rumah sakit.” Razak tertawa menyadari pikirannya yang kolot, padahal dia berada di ruang bebas bersenang-senang. Tiba-tiba ponsel Tirta berbunyi dan dia tersenyum senang saat melihat layarnya, ada sebuah pesan dari Naomi. Naomi : Papi di rumah? Tirta tentu langsung membalasnya : Lagi di luar, Sayang. Kamu lagi apa? Naomi : Lagi di dapur, nunggu Ibu buat kue Tirta tersenyum hangat, membayangkan dua anaknya berada di rumah Nindya. Tak lama kemudian, ada pesan gambar yang dikirim Naomi. Tirta tersenyum saat mengamati sebuah foto, yang menunjukkan Nindya sedang berdiri di depan meja dapur sambil membuat adonan kue. Sepertinya Naomi sedang duduk di bawah lantai, sehingga hasil foto menyorot ke b****g semok Nindya, membuat Tirta tertarik dan lama saat mengamati. Perasaan Tirta agak berubah melihat Nindya yang tidak memakai baju seragam seperti yang biasa dia lihat, Nindya memakai baju rumahan bercelana pendek, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang masih kencang meskipun sudah beranak tiga. Nindya sungguh berbeda malam ini. Tirta juga mengamati wajah Nindya yang difoto menyamping, dan dia terlihat sangat keibuan. Baru saja Tirta hendak membalas pesan Naomi, tiba-tiba dia didatangi perempuan yang dia lirik sebelumnya. “Boleh berkenalan? Maaf, sepertinya saya pernah melihat Bapak?” sapa perempuan cantik itu dengan sangat ramah, dia mengulurkan tangannya, tapi Tirta pura-pura tidak melihat. Dia sudah tidak tertarik dengan perempuan cantik ini setelah melihat foto Nindya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD