Athala melangkah gontai menuju aula tempat diselenggarakannya pernikahan antara dirinya dan Nadira seharusnya.
Ya, Athala telah mengambil keputusan untuk menyetujui keputusan orangtuanya agar menikahi wanita pilihan mereka.
Ruangan aula di dalam hotel mewah itu, ternyata benar seperti yang dikatakan oleh tantenya tadi, telah penuh dan ramai oleh para tamu undangan dan juga keluarga besarnya. Bahkan sosok penghulu telah duduk dengan khidmat di bangku yang telah disediakan untuk dijadikan tempat akad yang akan Athala ikrarkan.
Para tamu terdiam memandang calon mempelai pria, yang sedari tadi mereka tunggu, berjalan pelan dengan raut wajah yang tidak semangat. Bahkan keluarga besar dan para saudara jauhnya pun nampak tegang mengamati langkah demi langkah yang Athala lakukan.
Di kursi tempat berlangsungnya akad, Pak Penghulu duduk ditemani oleh empat orang pria. Dua diantaranya adalah saudaranya sendiri. Yaitu Om Dion --suami tante Erika-- dan juga Om Hari --sepupu ibunya. Sedangkan dua pria lainnya, Athala tidak kenal.
Athala celingak-celinguk memutar lehernya ke kanan dan kiri. Ia heran dimana mempelai wanita pilihan orang tuanya yang akan ia nikahi nanti.
"Kamu mencari apa, Athala?" tanya Erika di samping ia berjalan.
"Mencari wanita jelek itu!" ucapnya.
"Wanita jelek siapa?" tanya Erika heran.
"Calon menantu pilihan ayah dan ibu 'lah, siapa lagi!"
"Bagaimana bisa kamu mengatakan gadis itu jelek jika kamu belum melihatnya, Athala," seru Erika.
"Ya, pasti jelek 'lah, Tan. Buktinya dia mau menerima permintaan aneh ayah dan ibu. Mana ada orang yang mau, menikah mendadak kaya gini kalau bukan karena dia sendiri tidak laku!" sahut Athala dengan nada mengejeknya.
"Kamu jangan sembarangan bicara, Athala. Kalau kamu belum tahu siapa gadis ini, tutup mulutmu. Dan jangan buat malu kedua orangtuamu atas ucapan kamu yang seolah tidak berpendidikan dan tidak memiliki adab," ucap Erika geram.
Wanita dewasa itu tidak habis pikir, bagaimana bisa keponakannya berbicara hal-hal kurang ajar seperti tadi.
Setelah bicara seperti itu, Erika langsung meninggalkan Athala untuk duduk di tempat ia sebelumnya. Erika nampak kesal dengan ucapan keponakannya.
"Ada apa?" tanya Nyonya Laras pada Erika.
"Putramu itu, Mbak. Ngomongnya enggak dijaga. Bisa-bisanya dia bilang calonnya itu jelek dan tidak laku. Kesel aku!" gerutu Erika kepada kakak iparnya itu.
"Biarkan saja, Erika. Athala bicara seperti itu karena ia belum tahu. Kita lihat saja, sejauh apa dia akan sombong dengan ucapannya itu." Nyonya Laras nampak antusias dengan ucapannya sendiri.
"Bener, Mbak. Kita buat Athala jatuh cinta sama calon istrinya itu, dan melupakan Nadira untuk selamanya." Erika bersalaman dengan iparnya. Sungguh para wanita itu sangat senang sekali melakukan hal-hal yang akan membuat korbannya itu merasakan malu.
Athala terbengong, ia tidak menduga reaksi yang diberikan tantenya atas ucapan spontannya tadi. Meski sebenarnya itu semua memang curahan hatinya sejak ia memutuskan untuk menerima keputusan sang ayah.
Athala tidak habis pikir jika ada wanita yang mau dipaksa menikah dengan permintaan orangtuanya. Jika bukan karena wanita itu jelek, pasti wanita itu berasal dari keluarga miskin yang sedang membutuhkan uang untuk menghidupi keluarganya sehingga menyetujui pernikahan ini. Begitulah kira-kira pemikiran negatif Athala.
Athala kini ditemani oleh Tita --adik bungsunya-- dan juga Sasha --sepupunya, anak Erika.
Athala menduduki sebuah kursi yang khusus disediakan untuknya. Disebelahnya masih tersisa bangku kosong yang ia yakini akan diduduki oleh mempelai wanitanya nanti.
"Ini dia calon mempelai prianya. Udah ditungguin dari tadi," seru Pak Penghulu, "memang persiapannya mesti matang yah, Mas?" goda Pak Penghulu lagi dengan senyum di wajahnya.
Athala hanya membalas dengan senyum keki. Beda dengan para tamu yang mendengar ledekan dari pak Penghulu tadi, mereka semua menyambut dengan riuhan tawa. Sedangkan Om Dion dan Om Hari sendiri, sama seperti Athala, menampilkan senyum terpaksa.
"Sudah siap, Mas, untuk ijab kobulnya?" tanya pak Penghulu.
"E-eh, siap, Pak," jawab Athala dengan gugup.
"Wah, mempelainya grogi ini." Pak Penghulu tidak kunjung berhenti menggoda. Sontak saja para tamu kembali tertawa.
Hal yang membuat Athala grogi, tentu saja karena pengucapan ijab kobul yang belum ia hapal. Bagaimana bisa hapal, jika ia baru membacanya tadi saat memutuskan menyetujui permintaan orangtuanya. Nama baru yang harus ia hafal, sedangkan selama ini ia sudah hafal dengan nama Nadira Wijaya di setiap lantunan ijab kobul yang sudah ia ingat di luar kepala.
"Sudah hafal apa belum nih, ijab kobulnya?" tanya pak Penghulu sebelum acara akad dimulai.
"Mudah-mudahan siap, Pak!" jawab Athala ragu-ragu.
"Kok, mudah-mudahan. Ya, harus siap dong!" Pak Penghulu terkekeh.
"Si-siap, Pak!"
"Wah, gimana mau ijab kobul kalau jawab aja masih grogi."
Suasana di aula mendadak ramai dengan suara tawa para tamu.
"Siap, Pak!" suara Athala tegas.
"Nah, gitu dong! Kalo kaya gini 'kan saya juga jadi semangat!" Pak Penghulu terus saja menggoda. Entah untuk mencairkan suasana atau memang orangnya humoris. Athala sendiri tak tahu pasti, yang ada ia malah semakin merasa grogi akibat candaan yang Penghulu itu lontarkan.
"Mas Athala-nya sudah siap, Pak Kyai!" ucap Pak Penghulu kepada seseorang yang duduk di belakang Athala.
Ketika Athala menengok ke belakang, nampak seorang pria tua berkharisma dengan pakaian koko putih dan celana panjang hitam semata kaki, ditambah peci putih, nampak tersenyum duduk di sebelah ayahnya.
"Siapa dia?" batin Athala.
Pria tua itu, yang tak lain adalah Kyai Ahmad, tamu kehormatan pak Tanu dan Nyonya Laras, bangkit berdiri dan duduk di sebuah bangku kosong tepat di seberang Athala.
Athala menatap Kyai Ahmad karena rasa penasaran. Athala tidak bodoh, pria itu tahu bahwa seseorang yang duduk di sebelah Penghulu biasanya adalah wali nikah dari mempelai wanita.
"Apakah pria tua ini adalah calon mertuanya?" Athala masih berkata sendiri.
"Bagaimana, Mas Athala, sudah siap yah?" tanya Pak Penghulu, dan mendapat anggukan dari Athala.
Namun ijab kobul yang sudah Athala prediksi tidak akan mulus, benar saja terjadi. Dua kali ia mengucapkan kalimat yang salah, karena menyebut nama Nadira di dalam ucapannya.
"Mas Athala, sepertinya dibaca saja yah ijab kobulnya?" Pak Penghulu menawarkan.
"Memang boleh, Pak?" tanya Athala polos, dan mendapat senyuman dari Penghulu dan pria tua di depannya.
"Boleh, tapi tetap dalam satu tarikan nafas yah. Dan bacanya harus dari hati bukan cuma sekedar baca." Penghulu menjelaskan.
"Siap, Pak!" Athala tersenyum. Sungguh ia berharap prosesi ini segera saja berakhir. Karena Athala menganggap pernikahan ini hanya sebuah kompromi semata antara ia dan kedua orangtuanya.
Akhirnya setelah beberapa menit berjalan, ijab kobul itu terselesaikan dengan baik, meski mempelai pria harus mengucapkannya sambil membaca teks.
Athala bisa bernafas lega meski ada rasa kepedihan di dalam hati, karena akhirnya ia jadi menikah namun bukan dengan wanita pujaan hatinya selama ini.
Saat-saat yang ditunggu para tamu pun tiba, yaitu kehadiran sang mempelai wanita. Para tamu menantikan sosok wanita yang beruntung itu karena telah berhasil menjadi bagian dari keluarga Mahendra --keluarga yang terkenal akan kedermawanan dan juga kebaikan hatinya.
Namun tidak bagi Athala. Sosok lelaki itu tak pernah membayangkan bagaimana rupa wajah dari calon istrinya nanti. Seandainya saat ini adalah waktu yang ditunggu oleh para calon pengantin pria yang ingin melihat betapa pangling wanita pujaan hatinya ketika menjadi ratu sehari dalam hidupnya, Athala tidak.
***