Bab 3.

1040 Words
Kedua mata mama terlihat membola tidak senang ketika Papa dan Mas Khansa secara bersamaan menegurnya. Aku semakin mengerut di tempat. diam-diam menggigit bibir dalamku untuk meluapkan rasa takut sekaligus kegugupan yang melanda dala diriku. Aku tahu setelah ini mama Rasti pasti akan semakin menyalahkanku. Aku tidak berani berkata-kata lagi agar tidak semakin memperkeruh keadaan di antara kami. Dan kurasa Riana juga berpikiran sama denganku. Gadis itu bahkan tidak berani menyuarakan gelas kosong yang tengah diletakkannya kembali ke atas meja. Riana memilih bergerak sepelan mungkin sembari menundukkan kepala dalam-dalam sepertiku. Aku tahu Riana hanya berusaha keras untuk tidak dilibatkan dalam persoalan rumah tangga kami. Melihat bagaimana usaha keras yang Riana lakukan setiap waktu, seperti saat ini, membuatku terkadang merasa menyesal dan kasihan kepada gadis itu. Riana seolah dipaksa masuk ke dalam masalah orang dewasa seperti kami tanpa bisa melakukan apa-apa. Mama Rasti yang selalu membenciku, selalu senang membanding-bandingkan aku dengan Riana hingga terkadang gadis itu menangis keras di depanku secara diam-diam karena merasa tidak enak hati terhadapku. Jika sudah begitu, maka aku harus berusaha keras untuk menenangkan Riana dan meyakinkan gadis itu bahwa semua ini bukanlah salahnya. Ya, semua ini bukan salah siapa-siapa selain hanya aku seorang. Akulah yang patut disalahkan di sini, karena tidak sanggup memuaskan keinginan dan harapan dari ibu mertuaku sendiri. Diam-diam aku menghela napas panjang. “Kenapa kalian semua menyalahkan Mama? Mama cuma mengatakan hal yang seharusnya, Pa, Khansa! Lagi pula percuma kalian mengumbar kemesraan di mana-mana, kalau tidak ada bukti cinta di antara kalian berdua!” Nyut! Rasanya jantungku baru saja ditusuk oleh paku besar. Sakit tapi tidak berdarah. Pada akhirnya mama Rasti akan kembali membawa topik ini lagi. Aku hanya bisa mengeratkan pegangan tanganku pada sendok dan garpu yang ada dalam genggamanku. Aku berusaha menahan tiap ujaran menyakitkan yang dikatakan oleh mama Rasti setelah ini. “Ma!” tegur Mas Khansa lagi. “Apa? Mama tidak bisa mengatakan hal ini juga?! Ini adalah kebenarannya, Khansa! Bagaimana orang bisa percaya bahwa hubungan rumah tangga kalian seharmonis yang biasa kalian tunjukkan, jika tidak ada satu pun anak yang lahir di antara kalian! Apa kalian tahu, mama itu malu di depan teman-teman arisan Mama tiap kali mereka menanyakan hal yang sama. Kenapa kalian selalu senang mengumbar kemesraan di depan orang lain, jika tidak ada buah sedikit pun dari kemesraan kalian selama ini?!” “Mama cukup!” tegur Mas Khansa lagi. Kali ini Mas Khansa cukup keras menjatuhkan sendok garpunya ke piring hingga menimbulkan suara berdenting yang cukup kencang. Aku tahu bahwa Mas Khansa sudah mulai kehilangan kesabaran dalam menghadapi tiap ujaran kebencian Mama yang dilontarkan kepadaku. Mas Khansa selalu mengatakan bahwa hatinya juga ikut terluka ketika aku selalu dimarahi hanya karena alasan itu. Tentu saja ketiadaan buah hati di antara kami adalah sama sekali bukan keinginan kami berdua. Tapi bagaimana lagi jika Tuhan masih belum memberikan hal itu pada kami? Aku juga sangat menginginkan adanya seorang bayi di antara aku dan Mas Khansa. Andai Mama juga mengerti hal itu. “Apanya yang cukup, Khansa?! Mama masih belum selesai! Coba kalian pikir! Kalian sudah berapa lama hidup bersama? Kalian terlihat saling mencintai sampai-sampai dulu berani menolak tawaran gadis yang Mama kenalkan padamu, Khansa! Tapi nyatanya tidak ada hasil dari buah cinta kalian sampai selama ini! Mama jadi bertanya-tanya sendiri, hei Keysha, jangan-jangan kamu mandul ya?!” Tentu saja aku langsung mendongak menatap mama Rasti setelah mendengar pertanyaan itu. Aku terperangah tidak percaya dengan raut wajah terluka. Aku begitu terkejut ketika mendengar mama Rasti sampai hati berkata seperti itu kepadaku. Aku tidak tahu kebenaran tentang apa yang telah dikatakan mama Rasti tersebut, tapi baik itu benar atau tidak, sampai mengatai seorang wanita mandul tanpa rasa hormat seperti itu, bukahkah hal itu sangat tidak benar? Seharusnya sebagai sesama wanita, mama Rasti pasti tahu bahwa itu merupakan topik yang sangat sensitif bagi seorang wanita, terlebih ketika mereka telah menjalani kehidupan rumah tangga yang sudah lama dan belum juga mendapatkan seorang anak. Sejak dulu aku tahu bahwa mama Rasti selalu berkata dengan keterlaluan. Tapi aku merasa yang satu ini sungguh benar-benar keterlaluan lebih dari biasanya. Aku benar-benar terluka hingga membuat aku tidak bisa lagi menahan kedua bola mataku untuk tidak berkaca-kaca di depan semua orang. “Mama, kenapa Mama bisa sampai berkata seperti itu?” Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku terlanjur sakit akan serangan ucapan Mama sampai membuatku menjadi orang bodoh seketika. Detik kemudian aku tersadar bahwa aku telah mempermalukan diriku sendiri di depan mereka, karena telah menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya. “Masih bisa bertanya alasannya kamu, Keysha? Jelas saja Mama akan sampai berkata seperti ini karena kamu yang tidak kunjung membawa kabar bahagia di dalam rumah ini. Apa kamu tidak malu mengumbar kemesraan di depan semua orang seperti itu, padahal tidak ada buah hati yang bisa menjadi bukti atas keharmonisan rumah tangga kalian?! Kamu tidak mengerti ya, betapa malunya Mama tiap kali teman-teman Mama membicarakan tentang kemesraan kalian berdua, tapi di belakang Mama, mereka sibuk ngetawain Mama!” Mama dengan semangat menggerak-gerakkan tangannya mengekspresikan diri, ketika sibuk menyuarakan isi pikirannya padaku. Mama Rasti terlihat benar-benar tidak perduli akan perasaanku sama sekali. Sungguh, saat ini aku merasa malu. Malu luar biasa di depan Papa, di depan Riana, dan yang lebih penting lagi, di depan Mas Khansa. “Mama, tapi keharmonisan kami, dan adanya buah hati di antara kami adalah hal yang berbeda... “ “Masih saja kamu mencari-cari alasan di depan Mama?! Kamu ini menantu macam apa sih, Keysha? Udah miskin, wajah juga pas-pasan, kerjaan kamu juga lambat. Masih saja kamu tidak bisa ngasih Mama cucu! Ngasih Khansa anak! Apa sih yang Khansa bangga-banggakan dari kamu? Heran deh Mama!” Aku masih ingat ketika Mas Khansa benar-benar menolak keras perjodohan yang diatur oleh Mama Rasti dengan seorang gadis cantik, anak dari teman kolega mereka. Mama terlihat sangat membangga-banggakan gadis itu hingga sampai memperkenalkan gadis itu di depan semua orang seolah dia telah sah menjadi menantu mama Rasti. Namun yang terjadi, justru Mas Khansa tetap kukuh memilihku yang hanyalah seorang gadis biasa dibanding gadis cantik yang punya segalanya itu. Aku jelas merasa di atas awan karena Mas Khansa tetap saja memilihku saat itu. Aku berpikir bahwa aku telah menemukan cinta sejati yang selama ini kuimpikan. Namun sepertinya aku telah salah. Aku hanyalah menjadi sebuah batu hambatan untuk hidup Mas Khansa.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD