Ada Sebuah Komitmen

2145 Words
Bian sedang santai bermain Nintendo Switch miliknya sambil berbaring di sofa rumah Nicholas selagi sang pemilik rumah belum pulang dari rumah Serlin. Sambil bermain game konsolnya, Bian meraih snack di pangkuannya dan memasukkannya ke mulut. Rumah ini begitu damai dan membuat Bian betah berlama-lama. Kunyahan snack Bian di mulutnya begitu santai, tapi ia langsung tersedak ketika mendengar pintu utama terbuka dengan keras begitu saja dan suara langkah kaki berderap masuk dengan cepat. "Bian?!" "Setan!" Bian sampai terperanjat. Kemudian langsung mengusap dadanya beberapa kali ketika menyadari yang datang ke rumah Nic adalah Arletta. "Huah, ternyata elo. Gue kira setan. Nakut-nakutin aja lo, Let. Gue yang di rumah sendiri kan jadi parno." "Di rumah sendiri? Emang Nicholas kemana?" Tanya Arletta heran. Mati gue! Bian sontak mengumpat dalam hati, lalu mengusap tengkuknya. "Gatau, tiba-tiba pergi. Ada urusan sama kerjaannya kali." Arletta mengerucutkan bibirnya. "Ponselnya nggak aktif daritadi." Bian masih diam, melirik kearah ponsel yang dibiarkan tergeletak dengan masih tertancap chargernya di stopkontak dekat televisi. Arletta sontak mengikuti lirikan Bian dan menghela napas. "Astaga, Nic. Bikin khawatir aja." Arletta lalu mendekati ponsel Nicholas. "Nggak biasanya Nic ninggal ponsel kaya gini." "Iya ya, nggak biasanya." Nggak biasanya juga gue nutupin kebohongannya Nicholas. Anjinc tu cowok. Abian membual dalam hati lagi. "Yaudah deh, sambil nunggu Nic aku mau masak aja." Kata Arletta sambil melangkah ke dapur. "Mau dimasakin juga nggak, Yan?" "Indomie?" Arletta memutar bola matanya sambil memakai apron. "Kamu kira aku cuma bisa masak mie instan?" Bian sontak tertawa. "Ya, nggak gitu maksudnya, Letta..." tapi ucapannya melambat ketika melihat mobil bmw hitam memasuki carport rumah Nicholas. Bian sontak menelan salivanya dan berlari ke dapur. "Let, ada tante Vivi! Lo buruan deh ngumpet!" "Hah? Kok kesini sih?!" "Ya mana gue tahu!" Bian tambah panik. "Udah buru sana ke kamar Nic aja!" Arletta mengangguk panik, dengan secepat kilat langsung naik ke lantai dua menuju ke kamar Nicholas. Sedangkan Bian segera mengambil tas Arletta di sofa dan memasukkannya kedalam kolong sofa. Bian lalu duduk di sofa, berusaha tenang, tapi kakinya gemetar. "Sialan nih kaki!" gumam Bian sambil menahan kakinya yang gemetar. Tante Vivi tidak boleh tahu kalau Arletta dibawa kembali Nicholas ke Jakarta. "b*****t lo Nic, pulang-pulang habis lo sama gue!" "Nicholas?" Suara lembut Vivi memanggil Nicholas. Namun begitu masuk rumah, yang ia lihat malah Bian. Vivi sontak melempar senyum pada Bian. "Eh, Bian, Nicholas mana?" Bian menghampiri Vivi dan menyalimi tangannya. "Halo, tante. Lama nggak ketemu. Makin cantik aja, nih." Vivi berdecak sambil menahan senyum. "Kamu tuh, ngerayu-nya pinter banget. Nih, nih, tante bawain pudding cokelat bikinan tante. Potong langsung aja gih di dapur." "Wah, mantep nih. makasih, tan." Sambut Bian dengan mata berbinar. "Nicholas mana, Yan?" tanya Vivi sambil mengikuti Bian ke dapur. "Em... ke rumah temennya kali." "Siapa?" tanya Vivi heran dan Bian berpikir harus menjawab apa. "Ngomong-ngomong, ada heels di depan, punya siapa? Kalian bawa cewek ke rumah ini?" Modar gue! Bian rasanya ingin memukulkan kepalanya ke panic berkali-kali. Tapi dia segera mengeluarkan jurus berbohong andalan pria. "Itu... tadi emang ada temen SMA Nic sama Bian mampir kesini pakai heels. Tapi lupa bawa heels-nya pulang." Jelas Bian dan kemudian dia menyesali kebohongannya yang membuat Vivi mengernyit dalam. "Cewek kok lupa pakai heels-nya buat pulang? Aneh banget deh, Yan." "Anu, itu, tante, dia pulangnya pakai swallow! Iya pake sendal jepit! Soalnya kakinya kepentok ujung meja." Bian berbohong makin jauh. "Kasihan banget tahu tante, sampai hampir nangis gitu." Vivi makin mengernyitkan dahi, ia sudah hendak melontarkan pertanyaan berikutnya tapi kemudian suara Nicholas mengintrupsi. "Mom? Kapan datang?" Nicholas segera menghampiri Vivi dan merangkulnya. "Wih, pudding cokelat, nih!" "Darimana kamu, Nic?" tanya Vivi. "Rumah temen." Jawab Nic santai sambil mendekati Bian yang sedang menuangkan fla keatas pudding cokelatnya. "Bagi dong, Yan." Vivi menghela napas. "Kalian makan dulu deh, mama mau duduk-duduk di ruang tengah." Nicholas hanya mengangguk sambil menyendokkan pudding cokelat buatan Vivi ke mulutnya. Namun tepukan keras Abian di punggungnya membuat Nicholas sontak tersedak dan terbatuk-batuk. "Berengsek lo, Nic. Berengsek!" Umpat Abian. "Ada Arletta tuh di kamar lo." "What?!" Nicholas sampai hendak menyemburkan pudding di dalam mulutnya. "Nyokap gue—" "Nggak tahu. Puas lo?!" Jawab Bian dengan ketus. "Arletta juga nggak tahu lo ke rumah Serlin." Nicholas menyengir senang sambil merangkul Bian. "Nggak sia-sia gue punya sahabat cerdas kaya lo, man." "Cerdas mata lo! Hampir mati jantungan gue bohong ke dua cewek terpenting di hidup lo. Awas aja lo sampai nambah jadi tiga!" "NICHOLAS!" Belum selesai Bian mengomel, teriakan Vivi membuat dua lelaki itu saling melempar tatapan ngeri, menebak apakah Vivi menemukan Arletta di kamarnya. Tapi teriakan Vivi kemudian makin membuat Nicholas spot jantung. "KAMU HABIS DARI RUMAH SERLIN, YA?!" Nicholas di dapur sontak menepuk jidatnya. Arletta pasti mendengarnya. "Mampus, gue. Mampus!" *** "NICHOLAS!" Arletta yang berada di kamar Nicholas turut ikut tersentak begitu mendengar teriakan tante Vivi. Arletta menggigit bibir bagian bawahnya, jantungnya sudah berdegup tak karuan karena takut ketahuan. Sampai ia mendengar, "KAMU HABIS DARI RUMAH SERLIN, YA?!" "Serlin?" Gumam Arletta. "Apa aku nggak salah dengar? Ngapain Nicholas bertemu Serlin lagi?" Akhirnya Arletta membuka perlahan pintu kamar Nicholas dan berdiri di ambang pintu, agar ia dapat mendengar pembicaraan Nicholas, Vivi dan Bian yang kini berkumpul di ruang tengah. "Iya bener kamu habis dari rumah Serlin?" tanya Vivi lagi memastikan. "Tante Fara barusan chat mommy nih. Mau mastiin kamu datang sendiri atau utusan dari mommy." Kata Vivi dan kemudian terkikik geli. Nicholas mendesah sambil melirik Bian yang hanya mengedikkan bahu. Nicholas menduga bahwa Arletta pasti mendengarkan pembicaraan ini. Sedangkan Abian tentu saja hanya pasrah. "Pake bawain ayam panggang lagi." Vivi lalu tersenyum menggoda anak sematawayangnya. "Demen beneran ya kamu sama Serlin?" "Mom, udah deh." Elak Nicholas. "Mampir doang. Ada urusan yang harus diselesaiin." "Urusan apa? Mau ngajak nge-date lagi?" "Kepo amat dah, ibuku ini." Eluh Nicholas dan Vivi hanya mengulum senyum. "Mommy setuju banget loh Nic kalau kamu mau sama Serlin." Kata Vivi dengan lembut. "Bagaimanapun juga, kamu harus sudah berhenti bermain-main sama perempuan. Serlin juga jelas lebih baik daripada Arletta." Bian yang sedang memakan pudding sontak menjepit sendok di bibirnya dan terdiam, lalu melirik Nicholas yang hanya menunduk dengan dagu mengeras. Terlihat sekali nampak tidak suka dengan ucapan mommy-nya. "Semenjak Arletta mengungkap semuanya dan memilih pulang ke Batam, kamu selalu jarang pulang ke rumah sampai akhirnya membeli rumah ini sendiri. Kamu udah melupakan Arletta kan, Nic?" tanya Vivi dan Nicholas masih bungkam. "Dia itu cewek nggak baik, Nic. Dia bahkan melakukan hal yang jahat pada kamu dan keluarga kita. Jadi, lebih baik kamu lupakan dia." "Nic udah ngelupain Arletta. Mom tenang aja." Jawab Nic kemudian. Hal itu semata-mata ia lakukan agar Vivi tidak lagi membicarakan Arletta dan membuatnya muak. "Terus mom mau aku untuk apa sekarang?" Vivi tersenyum lembut dan menggenggam tangan Nicholas. "Mom cuma ingin kebahagiaan dan kebaikan menyertai kamu. Serlin wanita yang baik dan cerdas, Nic. Cocok juga untuk pendamping hidup kamu." Nicholas balas menatap Vivi dan terpaksa mengangguk. "Yasudah, mom pulang dulu, ya?" Vivi lalu berdiri. "Bian, tante pulang dulu, ya." "Iya, tante. Hati-hati." Kata Bian sambil mengantarkan Vivi ke depan rumah. Setelah mobil Vivi keluar dari carport rumah Nicholas dan meninggalkan rumah, Abian kembali masuk ke dalam rumah dan melihat Nicholas masih duduk tak bergeming, melamun menatap pudding cokelat yang sisa setengah dihadapannya. Sedangkan Arletta turun dari tangga dan menatap Nicholas. "Emm, gue pulang juga deh." Kata Bian dengan canggung. "Gue balik ya, Nic. Jangan lupa tuh cuci piring gue. Bye, Let!" Arletta hanya balas melambaikan tangan pada Abian. Hingga pintu rumah kembali tertutup dan kesunyian meliputi mereka berdua. Arletta kemudian memilih bersuara, "Nic, aku mau ngomong." Tapi Nicholas tiba-tiba berdiri, melangkah mendekatinya dan melewatinya begitu saja menaiki anak tingga. Arletta sontak terpaku, belum ia mendapatkan penjelasan dari Nicholas, namun hatinya sudah merasa kecewa. *** "Nic," Arletta membuka pintu kamar dan melihat Nicholas melepas hoodie dan kausnya hingga bertelanjang d**a. "Kita harus bicara, Nic." "Aku mau mandi." Jawab Nicholas datar sambil membuka lemari dan mengambil handuk baru. Hening kemudian, tidak Nicholas dengar suara apapun selain langkah kaki Arletta yang semakin mendekat kearahnya dan berakhir ketika Arletta melingkarkan lengannya pada tubuh Nicholas, memeluk Nicholas dari belakang. "Kamu... suka sama Serlin?" tanya Arletta dengan lirih setelah keheningannya yang lama. Tapi Nicholas tetap diam, tanpa tahu Arletta mati-matian menahan sesak di dadanya. "Apa jawaban kamu, Nic?" Nicholas menghela napas, lalu membalikkan badannya menatap Arletta dan melepaskan pelukan Arletta, namun masih tetap menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku minta maaf soal omongan mom. Aku tahu kamu pasti dengar." Ucap Nicholas. Arletta menggelengkan kepala dan air matanya turun begitu saja hingga Arletta segera menundukkan wajahnya agar Nicholas tidak menyadari bahwa ia sedang menangis. "Kamu selalu bilang, akan buat lembaran baru dengan aku, jadi aku nggak perlu dengerin tentang masa laluku lagi jika diungkit kan?" Nicholas mengangguk dan menghapus air mata Arletta. "Jangan nangis." Arletta kemudian memeluk Nicholas dan terisak begitu saja dalam pelukannya. "Aku cuma takut kehilangan kamu. Aku tahu kalau aku harus melupakan masa laluku, tapi aku nggak bisa, Nic. Setiap ada orang baru di hidup kamu, setiap ada wanita yang berusaha diperkenalkan ke kamu, aku selalu berkaca. Berkaca pada masa laluku yang buruk dan itu buat aku makin takut untuk kehilangan kamu." "Arletta," Nicholas mengusap punggung kekasihnya itu, namun isakan Arletta makin kencang hingga bahunya bergetar. "Kita memang nggak tahu hubungan ini akan bertahan sampai kapan—" "Hubungan kita akan terus bertahan, Let." Nicholas mempertegas. Namun Arletta tersenyum sendu menatapnya. "Bahkan kamu belum berani bilang yang sebenarnya ke tante Vivi tentang hubungan kita. Tentang kamu yang jemput aku lagi dari Batam." "Itu karena aku nggak mau kehilangan kamu lagi!" Ucap Nicholas penuh penekanan. "Kamu tahu mom sudah benci ke kamu semenjak mom tahu kalau kamu juga menjalin hubungan sama aku. Mom bisa menggunakan berbagai cara untuk menjauhkan aku dengan kamu." Tangis Arletta makin pecah, ia menggenggam erat tangan Nicholas dan menatapnya memohon. "Jangan tinggalin aku lagi, Nic. Jangan tinggalin aku..." Kemudian Arletta menangkup kedua pipi Nicholas dengan lembut, Arletta lalu berjinjit dan mengecup lembut bibir Nicholas, menyapukan bibir manisnya pada bibir Nicholas. Perlahan tapi pasti, Nicholas memejamkan matanya dan balas mencium Arletta. Kaki mereka berdua refleks melangkah mendekati kasur sambil berciuman. Nicholas berbaring terlebih dahulu ke kasur dan Arletta merangkak naik keatas kasur, kemudian duduk di perut sixpack Nicholas. Arletta menghela napas, menghapus air matanya dan menarik keatas kaus yang dipakainya. Dada Nicholas bergemuruh cepat ketika tangan Arletta bergerak lambat menurunkan tali bra-nya dan melepaskan kaitan bra-nya. Bahkan Arletta sempat menahan bra di dadanya agar tidak langsung terlepas. "Janji, Nic. Jangan tinggalkan aku." Ucap Arletta dengan lirih. Nicholas meneguk salivanya, lalu menganggukkan kepala dan meraih tengkuk Arletta—sehingga Arletta kembali menunduk dan melumat bibirnya kembali. Arletta akhirnya melepaskan bra-nya, membiarkan telapak tangan Nicholas menggerayangi punggungnya dan meremas pinggangnya. Beberapa kali Arletta sengaja menurunkan tubuhnya dan menggesekkan pantatnya pada kejantanan Nicholas yang menegang hingga Arletta dapat mendengar erangan Nicholas dalam ciumannya. Ciuman Arletta kemudian turun mengecupi dagu Nicholas dan ke tengkuk Nicholas. Arletta bahkan sengaja meninggalkan bekas kepemilikannya di tulang selangka Nicholas. Karena Nicholas adalah miliknya dan Arletta tidak ingin Nicholas bersama wanita lain selain dirinya. Arletta tidak siap untuk di tinggalkan. Kecupan Arletta terus turun hingga ke perut Nicholas. Ia mengangkat pandangannya, melihat Nicholas bernapas berat sambil menatap Arletta dengan pandangan berkabut penuh napsu. Arletta menyampirkan rambut panjangnya, kemudian membuka celana jeans Nicholas dan menurunkannya. Nicholas sontak mendongakkan kepalanya dan mengerang saat Arletta mengecupi kejantanannya, menggenggamnya sambil mengocoknya lembut, kemudian mengulumnya sambil menatap Nicholas. Nicholas balas menatap Arletta sembari tangannya terangkat menutupi dahinya. Kepala Nicholas rasanya selalu ingin meledak setiap Arletta mengulum kejantanannya dengan nikmat. Namun hal itu tidak berangsur lama. Karena Arletta juga melepaskan celananya dan kembali menduduki perut Nicholas. Tangan Arletta bergerak kebelakang menggenggam kejantanan Nicholas dan mengarahkannya ke kewanitaannya yang sudah basah. Ujung kejantanan Nicholas kemudian bertemu dengan kewanitaan Arletta, menusuk pelan, membukanya makin lebar dan melesak masuk hingga Arletta melenguh. "Ahh... ahh!" Arletta mulai menggerakan pinggulnya, memompa tubuhnya dan memimpin percintaan. Arletta memejamkan mata sambil membasahi bibir bagian bawahnya ketika kedua tangan Nicholas meraih buah dadanya dan meremas-remasnya. Arletta makin cepat menggerakan tubuhnya diatas tubuh Nicholas, membuat kejantanan Nicholas makin terasa diurut nikmat secara cepat oleh dinding kewanitaan Arletta. Kedua tangan Arletta berada di d**a Nicholas dan Arletta menurunkan tubuhnya, mencium kembali Nicholas. "Nic! Eumm... ahhh!" Desahan Arletta makin keras ketika Nicholas balas memompa kejantanannya dari bawah secara cepat. Dua tubuh sejoli itu saling memompa satu sama lain dengan ritme teratur, saling menuju puncak kepuasan. Sampai peluh membasahi mereka berdua dan Arletta menatap Nicholas yang memeluknya erat dan mengerang ketika pelepasannya datang. Arletta tidak tahu apakah dia bisa menjalani cintanya lebih lama dengan Nicholas. Tapi, bersama Nicholas, Arletta ingin membangun cinta itu. Ingin membangun komitmen yang lebih serius dengan Nicholas. Karena Arletta, sangat mencintai kekasihnya itu.  --- Author Note Jangan lupa klik love di bagian sinopsis untuk menambahkan cerita ini ke reading list kamu. Yuk, bantu cerita Obsessed Or Love mencapai 500 followers lebih! Tolong tinggalkan komentar yang menyenangkan! Follow me on dreame & Innovel.  Also follow me on IG: segalakenangann
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD