“Nona Archer mengalami kebutaan akibat kornea matanya tergores pecahan kaca mobil.”
Kalimat yang diutarakan oleh dokter mengalun bagaikan kaset rusak yang terus berputar di dalam kepala Xena, mengikis harapan masa depan menjadi buih tak berarti. Sejak kecil dirinya sudah bekerja keras demi bisa menapakkan kaki di atas panggung hiburan dan menjadi aktris papan atas yang mampu mengguncang dunia. Namun, sekarang semua keinginan itu telah diremukkan dalam waktu satu malam, memukul telak hati Xena yang sekarang mati rasa.
Setelah menangisi keadaannya selama tujuh hari penuh, Xena tidak bisa lagi mengeluarkan air mata dan akhirnya berbaring kaku di atas tempat tidur. Wajahnya menghadap ke atas langit – langit ruangan, berusaha mencari titik – titik cahaya lampu untuk memulihkan secercah harapannya. Namun, dia hanya mampu melihat kegelapan tanpa batas yang menyesakkan hati.
“Hancur … Semuanya sudah hancur.” Bisik Xena dengan suara parau.
Tiga bulan sudah terlewati dengan cepat semenjak kecelakaan terjadi dan selama itu pula sosok Xena Archer berhenti muncul di televisi serta sosial media. Jutaan penggemar mengirimkan pesan bela sungkawa dan penuh cinta ke akun sosial media Xena yang tidak pernah lagi dibuka.
Lagipula dia juga tidak bisa membaca pesan – pesan tersebut dan tidak mau menggunakan aplikasi pembaca pesan otomatis yang akan membuat Xena semakin merasa terpuruk akibat kehilangan penglihatannya.
“Xena ..” suara seseorang yang familier terdengar dari luar pintu kamar Xena yang sangat jarang dibuka oleh pemiliknya.
Xena tidak menjawab, terlalu malas untuk berinteraksi dengan orang lain saat ini, terutama anggota keluarganya sendiri yang selalu memandang Xena dengan penuh rasa iba. Ibunya —Lidia Archer bahkan tidak berhenti menangisi nasib putrinya yang malang sampai hari ini, membuat Xena semakin terpuruk dan merasa tidak lagi berguna.
“Xena, kamu belum makan apapun dua hari ini. Jangan terus mengurung diri, mari makan bersama di ruang makan.” Helios menyandarkan dirinya ke pintu, terdengar begitu putus asa untuk membujuk adiknya agar pergi keluar kamar.
Helios Archer selalu berpergian dari satu negara ke negara lainnya untuk memenuhi undangan fashion show atau pemotretan majalah terkenal. Kepulangannya ke rumah dapat dihitung dengan jari, dalam setahun mungkin Helios hanya bisa pulang saat malam natal atau tahun baru. Akan tetapi, setelah mendengar kabar Xena kecelakaan dan kehilangan penglihatannya, dia langsung membatalkan seluruh jadwal pemotretannya di hari itu dan membeli tiket untuk pulang ke London.
“Xena, aku akan masuk.” Helios membuka pintu, menatap lekat ke arah Xena yang tengah berbaring dan menatap kosong ke atas.
Hati Helios terenyuh sakit saat menyadari bahwa Xena sudah mati rasa dan tidak lagi memperdulikan keadaan dirinya sendiri. Bau alkohol yang sangat menyengat tercium dari wanita itu, ketika Helios menundukan kepala, dia mampu melihat belasan kaleng alkohol yang bertebaran di permukaan lantai. Kamar tidur yang selalu rapih kini terlihat sangat berantakan selayaknya kapal karam.
Kotak – kotak kosmetik yang biasanya selalu Xena cintai telah hancur lebur akibat dipatahkan dan dibanting ke lantai. Begitu pula dengan produk kosmetiknya yang sudah menjadi bubuk atau pasta yang tidak lagi bisa dipakai.
Xena berpikir, dia sudah tidak lagi bisa melihat sehingga tidak ada gunanya lagi mempercantik diri.
“Xena, kamu tidak bisa terus seperti ini.” Helios melangkahkan kakinya menuju Xena, kemudian duduk di samping wanita yang tampak seperti manekin hidup.
“Seperti apa?” Xena akhirnya menjawab dengan suara parau. Kepalanya terasa begitu sakit setelah menghabiskan belasan kaleng alkohol setiap harinya yang bisa membantunya untuk melupakan rasa sakit sejenak.
“Ini bukan akhir dari segalanya. Selama kamu masih hidup, maka duniamu tidak akan berakhir.” Helios merundukan pandangan, menatap sendu ke arah adiknya yang terlihat semakin kurus seiring berjalannya waktu.
Kedua mata Xena membulat seusai mendengar perkataan Helios, dia bangkit dari tempat tidur dan mengarahkan kepalanya menuju Helios, tetapi pandangannya mengarah ke samping Helios akibat tidak mampu melihat.
“Bukan akhir? Hidupku sudah berakhir, Heli. Produser mana di dunia ini yang mau memperkerjakan seorang aktris yang buta?! Aku tidak bisa lagi melihat! Untuk sekadar pergi ke kamar mandi saja aku setidaknya harus tersandung tiga kali, membuatku merasa menjadi orang yang paling tidak berguna di keluarga ini.”
“Heli, aku sudah berusaha sangat keras selama sembilan tahun ini untuk berdiri di atas puncak dan memperlihatkan dunia bahwa seorang Xena Archer juga memiliki kemampuan, bukan hanya memanfaatkan kekayaan dan popularitas keluarganya. Tapi, semua kerja kerasku sekarang sudah hancur! Hancur tanpa jejak, tanpa bekas, dan meninggalkan diriku seorang diri.”
Tangisan Xena sekali lagi pecah, meledakkan setiap keputus asaan dan kesedihan yang telah menumpuk di dalam hati selama tiga bulan terakhir. Dia meraung, menjambak rambutnya sendiri yang mulai rontok akibat tidak terurus.
Helios dengan cepat menahan tangan Xena, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Tanpa sadar dirinya juga ikut menangis saat melihat adik yang selalu dia kasihi terjerumus dalam kehancuran. “Tenanglah, Xena. Tenanglah. Xena masih berguna. Xena tidak hancur.”
“Bohong … aku sudah hancur, Helios. Aku hancur!” dia menarik kemeja Helios seraya menengadahkan kepalanya ke atas.
“Xena, dengarkan aku. Papa sedang berusaha mencari donor mata untuk menyembuhkanmu. Kamu hanya harus menunggu sebentar.”
Xena terdiam sejenak saat mendengar ada secercah harapan untuk mempertahankan masa depannya. “Benarkah?”
Helios mengelus rambut Xena yang terasa agak kasar kemudian berkata. “Benar. Karena itu, Xena hanya harus bersabar.”
“Sampai kapan? Sampai kapan aku harus bersabar?” Harapan yang diucapkan memang terdengar indah, tetapi sesungguhnya bagaikan racun yang bisa mematikan seseorang apabila harapan itu sirna tanpa jejak dan kemudian membuat Xena jauh lebih terpuruk dari ini.
Helios tidak lekas menjawab karena dirinya sendiri pun juga tak mempunyai jawaban yang pasti atas pertanyaan Xena. Menemukan donor mata bukanlah perkara mudah, dokter tidak mungkin mendapatkan donor kornea dari manusia yang masih hidup dan sehat. Mereka hanya bisa menunggu sampai ada seseorang yang sekarat atau bahkan telah kehilangan nyawa.
Manusia hidup membutuhkan penglihatan, sedang manusia yang sudah mati tidak akan membutuhkannya.
“Xena, kita pasti akan menemukan donor untukmu. Percayalah kepadaku.”
Xena Archer tidak pernah mempercayai ucapan tanpa kejelasan seperti itu sehingga kesadarannya yang sudah terkontaminasi oleh alkohol semakin jatuh ke dalam relung keputusasaan. Dia mendorong tubuh Helios agar menjauh darinya, meminta pria itu untuk meninggalkannya seorang diri untuk sejenak.
“Xena … makanlah terlebih dahulu. Bila kamu terus – menerus seperti ini, kamu bisa jatuh sakit.” Bujuk Helios yang masih bersikeras berada di dalam kamar Xena.
Bukannya merasa terharu karena ada seseorang yang mengkhawatirkannya, Xena justru tertawa lepas penuh ejekan. “Biarlah! Biarkan saja wanita buta ini sakit hingga mati! Hidupku bahkan sudah tidak lagi berguna …”
“Xena Archer!!” Helios berteriak sekuat tenaga, membuat Xena langsung terlonjak kaget begitu mendengarnya.
Helios tampaknya telah kehilangan kesabarannya, dia mungkin akan mengerti rasa keterpurukan Xena yang merasa seluruh dunia yang mengitarinya telah hancur. Tapi, Helios tidak lagi mampu bersabar bila wanita itu tidak lagi memperdulikan hidupnya dan berharap kematian datang menjemput.
Kedua bahu Helios naik – turun saat dia berkata, “Kenapa harus bertingkah seperti ini?! Apakah kamu tidak pernah memikirkan keluargamu yang sedang khawatir? Kamu pasti tidak pernah tahu bahwa mama sudah jatuh sakit selama beberapa hari ini akibat melihatmu yang tidak mau makan! Papa bahkan tidak berhenti duduk didepan telepon hanya untuk menunggu kabar dari rumah sakit mengenai donor!”
“Xena! Jika kamu hancur seperti ini, maka kamu turut menghancurkan kehidupan Papa, Mama, dan aku yang sudah berjuang sekuat tenaga untuk membantumu bangkit.”
Semenjak menginjak usia remaja, Helios dan Xena tidak pernah lagi bertengkar akibat keduanya mulai sibuk menjalan kehidupan masing – masing. Dan ketika kedua saudara kandung mulai berhenti bertengkar, maka jarak akan mulai membentang di antara mereka, menjadi tanda bahwa hubungan mereka tidak lagi sedekat dahulu.
Namun, hari ini jarak yang terbentang jauh di antara keduanya mulai mendekat seusai Helios memuntahkan amarahnya.
Helios marah kepada Xena, juga marah kepada dirinya yang tak mampu menemani Xena selama bertahun – tahun, membuat adiknya tumbuh menjadi seorang wanita yang selalu menganggap bahwa berada di puncak teratas kehidupan akan membuatnya bahagia.
Tubuh Xena gemetar akibat merasakan begitu banyak emosi yang terjalin menjadi satu. Dia mengambil sebuah kaleng alkohol di atas nakas kemudian melemparkannya ke depan dan mendarat di dekat kaki Helios.
“Kalian tidak akan mengerti!! Jika aku seperti ini, maka aku tidak akan mampu berada di jalur yang sama seperti kalian!”
Helios memejamkan matanya sejenak kemudian menghela napas. “Siapa yang memintamu menapaki jalur yang sama dengan kami?”
Xena tertegun, seluruh kalimat penuh kemarahan yang berputar di dalam kepalanya mendadak menguap tak bersisa.
Siapa yang pernah meminta untuk mengikuti jejak keluarganya yang berjalan di jalur entertainment?
Siapa?
Kemudian Xena tersadar bahwa tidak ada satupun anggota keluarganya yang pernah memaksa Xena untuk menentukan pilihan hidup. Dia sendirilah yang mengikuti jalan keluarganya karena merasa terbebani oleh tuntutan orang – orang disekitarnya.
“Xena … ambilah jalan yang sesuai dengan kehendak hatimu supaya kamu tidak lagi merasa terbebani.”
Ketika Xena ingin menanggapi ucapan Helios, keduanya dikejutkan oleh bunyi debaman pintu yang terbuka kencang hingga menghantam dinding. Helios menoleh, mendapati sosok Lidia Archer yang tengah bernapas dengan tersengal – sengal dan berkata parau. “Berhasil. Kita berhasil mendapatkan donor kornea untuk Xena.”
Secercah harapan jatuh dihadapan Xena, cahaya kehidupan yang sebelumnya kian redup dalam dirinya pun perlahan mulai pulih.
Xena mungkin bisa kembali bangkit seperti sedia kala.
• • •
Dua orang berbaring bersebelahan di atas tempat tidur rumah sakit yang berbeda. Satu adalah Xena dan yang lainnya merupakan pendonor kornea untuk Xena. Pendonor itu sesungguhnya sudah tidak lagi hidup, jantungnya masih berdetak hanya karena ada alat bantu yang terpasang di tubuhnya. Setelah operasi selesai, mungkin dia akan langsung meninggal.
Adryan Archer sudah membayar harga tinggi kepada pihak rumah sakit agar menjadi prioritas pertama saat ada donor. Karena itulah, sekarang Xena bisa mendapatkan donor lebih cepat dari perkirannya.
Suara alat monitor jantung menjadi satu – satunya hal yang Xena dengar sebelum kesadarannya menghilang.
Hari ini akan menjadi awal dari kehidupan yang belum pernah Xena pikirkan sebelumnya.
• • •
Operasi telah berhasil dilakukan dan Xena hanya perlu menunggu waktu satu minggu untuk melepas perbannya. Namun, satu minggu adalah waktu yang begitu panjang bagi Xena yang merasa sudah sangat tidak sabar. Setiap hari, tidak pernah sekalipun Xena berhenti bertanya kepada dokter kapan ia dapat membuka perbannya dan akan merasa kecewa saat dokter mengatakan hari ini bukanlah waktunya.
“Xena, ini baru hari kelima. Jangan selalu membebani dokter dengan pertanyaan yang sama setiap harinya.” Lidia meraih tangan putri bungsunya dan dengan sabar memberitahu Xena.
Xena menatap lurus kedepan dan berkata. “Aku hanya tidak sabar untuk melihat lagi.”
“Mama tahu. Sifat tidak sabarmu itu memang tidak pernah hilang sejak kecil.” Ingatan Lidia terlempar pada masa kecil Xena yang selalu bertingkah tidak sabaran, dia seringkali berjalan kaki saat pulang dari sekolahnya akibat supir yang menjemput terlambat lima menit dan tampaknya sifat seperti itu masih melekat kuat sampai sekarang.
Xena mengalihkan topik karena tidak suka membicarakan masa kecil. “Mama, siapa pendonor mataku? Kalian belum memberitahuku sampai sekarang.”
Lidia membutuhkan waktu beberapa saat untuk membalas. “Apakah itu penting? Siapapun dia, yang terpenting adalah kamu bisa melihat lagi nanti.”
Xena terdiam sejenak, meskipun dia turut merasa bahagia tatkala mendengar ada seseorang yang sudah meninggal bisa menjadi pendonor untuknya, Xena tetap penasaran tentang bagaimana si pendonor meninggal. Ayahnya merupakan seseorang yang mempunyai pengaruh besar di dunia, memanipulasi kematian seseorang bukanlah perkara sulit. Karena itulah Xena curiga mungkinkah Adryan Archer memakai kekuasaannya untuk mendapatkan donor secara paksa.
“Setidaknya beritahu aku penyebab dia meninggal.”
“Rumahnya mengalami kebakaran. Walau tubuhnya tidak terbakar, dia terlalu banyak menghirup asap beracun sehingga langsung meninggal begitu pemadam kebakaran membawanya ke rumah sakit. Dokter bisa memberikan korneanya kepadamu karena dia mendaftarkan diri ke dalam lembaga donor.”
Xena tidak tahu harus membalas seperti apa. Jika dia bersyukur atas donor yang ia terima, sama saja seperti dia bergembira di atas kematian orang lain sehingga pada akhirnya Xena tidak lagi membicarakan pendonor agar tidak membuat suasana hatinya buruk.
Lidia melirik arloji di tangannya dan terlihat kaget saat melihat jam sudah menunjukkan pukul lima sore. “Ah, Xena! Mama harus segera pergi.”
“Kemana?” tanya Xena.
“Bibimu, Laura yang tinggal di New York datang ke London untuk menjengukmu. Dia akan sampai di bandara jam tujuh, karena itu mama harus segera pergi agar bisa tepat waktu menjemputnya.”
Lidia membereskan barang – barang miliknya yang tergeletak di atas meja ke dalam tas. Dia mengecup singkat kening Xena dan berkata. “Helios akan datang jam 9 malam nanti untuk menjagamu disini. Besok pagi mama dan Bibi Laura yang ganti menjagamu.”
Xena mengangguk paham. “Aku mengerti, mama berhati – hatilah di jalan.”
Setelah memberikan salam perpisahan kepada Xena, Lidia langsung bergegas pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Xena seorang diri dengan keheningan yang terkadang membuatnya tidak nyaman.
Akhir – akhir ini, Xena selalu merasa ada banyak pasang mata yang kerap melihat ke arahnya ketika dia tinggal seorang diri. Dia memang tidak bisa melihat, tetapi aura akan kehadiran seseorang dapat dia rasakan begitu jelas.
Meski begitu, Xena tidak terlalu ambil pusing dan mengira mungkin itu adalah efek samping dari kebutaannya, yaitu selalu merasa ada orang yang memperhatikan padahal tidak ada.
Xena akhirnya memutuskan untuk tidur sambil menunggu Helios datang. Saudaranya itu pasti sedang melakukan pemotretan dan berkata akan datang saat jam 9 malam hanyalah sekadar omong kosong. Seorang model papan atas seperti dirinya mungkin baru bisa pulang setelah tengah malam.
Kesadarannya lantas melayang menuju alam mimpi, begitu lelap sampai tidak menyadari saat suster datang untuk mengganti infus. Tepat setelah suster berjalan meninggalkan ruangan, Xena tiba – tiba mendengar bisikan di salah satu telinganya.
“Bukankah dia bagian dari kita? Mengapa masih bisa terlihat?”
“Bukan … dia masih manusia.”
“Tapi energi Yin-nya sangat kental, bagaimana mungkin masih manusia?”
“Dia pasti lahir di hari hantu dan bertepatan dengan bulan purnama sehingga lahir dengan energi Yin yang besar.”
“Jika kita memakannya, maka kita bisa naik tingkat dan mendapatkan wujud padat.”
“Benar! Benar! Kita hanya harus memakannya.”
Suara – suara itu terus bergema di dalam ruangan, membuat Xena tersadar dari tidurnya dan mendapati tubuhnya terasa kaku. Untuk sekadar mengangkat jari saja dia tidak mampu dan hanya bisa merinding ketakutan begitu suara – suara itu bergerak mendekatinya.
“Siapa? Siapa disana? Helios, apakah kamu menyalakan televisi?” Xena bertanya dengan gemetar, berharap akan mendengar suara Helios yang membenarkan pertanyaannya.
Namun, sekujur tubuhnya langsung membeku begitu suara itu mulai berbicara.
“Dia dapat mendengar kita!”
“Kikiki … akan jauh lebih enak memakannya saat dia ketakutan.”
Xena berusaha keras menggerakan seluruh anggota tubuhnya, tetapi dia seolah tengah dipaku di tempatnya tidur. “Pergi! Pergilah! Siapa kalian?!”
“Heh .. Lihat, dia mulai berteriak ketakutan.”
“Kik … kik…”
Mereka tertawa keras disamping telinga Xena, menertawakan seorang manusia yang tampak ketakutan dan panik di dalam hati.
Suhu dingin menjalar pada kedua tangan dan kaki Xena, ia merasa seperti ada belasan tangan sedingin salju tengah memegang sekujur tubuhnya dan membuatnya semakin ketakutan.
“Pergi!! Jangan menyentuhku! Siapa kalian?! Bagaimana caranya bisa masuk kesini?!! Pergi! Pergi sialan!”
BRUK!
Xena yang akhirnya mampu menggerakan tubuhnya lagi langsung berontak dan terjatuh dari tempat tidur, membuat jarum infus pada tangannya terlepas secara paksa.
Dia meringis, merasakan perih menjalari bekas infus yang terlepas. Darah mengalir deras dari tangannya, mengotori lantai dan semakin membuat suara – suara itu menggila. Samar – samar, Xena bisa mendengar ada sesuatu yang menjilati darahnya di permukaan lantai.
“Manis! Darahnya sangat manis! Aku bahkan merasa seperti dilahirkan kembali!”
“Energi Yin yang sangat melimpah! Kita pasti bisa mendapatkan wujud padat bila menghabisi seluruh darahnya.”
Napas Xena memburu, dengan tubuh gemetar dia berusaha menyeret tubuhnya menjauh, mengabaikan rasa sakit di tangannya. Namun, dia tidak bisa melarikan diri terlalu jauh karena ada tangan yang menahan kakinya dan membuat Xena histeris.
“Lepaskan! Lepas!” Xena menendang apapun yang ada dihadapannya, tanpa sengaja turut menendang tempat tidur besi milik rumah sakit sampai menimbulkan suara ribut.
Klak!
Pintu ruangan terbuka lebar, menampakkan sosok Helios yang terlihat panik setelah mendengar suara ribut dari dalam kamar Xena. Pria itu menjadi lebih khawatir saat melihat Xena duduk di pojok ruangan dengan darah terus mengucur deras dari tangannya.
“Xena, apa yang terjadi?!” Helios berlari menuju tempat Xena, memeluk adiknya yang ketakutan dan tidak bisa berhenti gemetar.
“Helios? Helios! Ini benar – benar kamu?” Xena meraba wajah Helios, berusaha memastikan bahwa orang dihadapannya benar – benar Helios.
“Ini aku Helios.”
“Heli, ada seseorang … mungkin banyak orang tadi datang ke kamarku dan berkata ingin memakanku. Mereka … mereka berusaha menarik tangan dan kakiku. Siapa itu, Helios? Apakah kamu melihat mereka?”
Helios mengerahkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan tidak mendapati adanya orang lain di dalam ruangan. Xena juga sudah berhenti mendengar suara – suara menyeramkan yang sebelumnya terus berbisik di sebelah telinganya.
“Xena, kamu hanya sendirian sejak awal.”
• • • • •
To Be Continued
4 Juni 2021