Karena sudah terlanjur menyanggupi permintaan Zenon untuk melakukan empati, Xena tidak bisa lagi mundur sebab pria itu akan menghujaminya dengan banyak kata – kata yang membuat Xena menjadi tidak enak hati.
“Bagaimana cara melakukannya?” tanya Xena seraya menjauhi hantu wanita di hadapannya akibat tidak tahan mencium aroma busuk.
Zenon berpikir sejenak, mengingat – ingat teori tentang empati yang pernah dia baca di dalam buku peninggalan shaman terdahulu. “Kurasa tidak ada ritual khusus untuk melihat kehidupan lampau hantu. Kamu hanya perlu mengalirkan energi Yin mu kepada hantu itu sehingga energi kalian bisa menyatu.”
“Aku tidak mengerti.” Kata Xena.
Jari telunjuk Zenon lantas mengarah ke hantu di hadapan mereka. “Singkatnya, kamu hanya perlu menyentuh hantu itu.”
Tidak waras!
Jangankan menyentuh, melihat hantu dengan banyak belatung dan darah itu saja Xena sudah merasa enggan. Xena lebih baik melarikan diri saja daripada harus melakukan empati. Tapi, sebelum Xena ingin berlari keluar dengan memejamkan mata, Zenon telah lebih dahulu menahan tangannya.
“Nona Archer, janji adalah janji. Kamu sudah berkata akan melakukan empati, maka tidak boleh melarikan diri.”
“Kamu yang memaksaku!”
Zenon, “Siapa memaksa? Aku bahkan tidak mengancam kamu saat kamu menyetujui hal ini. Aku bahkan sudah setuju untuk membayar kompensasi.”
Tampaknya memang Zenon tidak akan membiarkan Xena melarikan diri. Pria itu bahkan sekarang menyeret lengan Xena agar berdiri lebih dekat dengan hantu. Xena mengerutkan kening tatkala bau busuk menyambar indra penciumannya, beberapa kali dia merasa cairan di perutnya ingin naik.
“Aku tidak mau menyentuhnya!”
“Kenapa?” Zenon menempelkan sebuah jimat di tubuh hantu sehingga hantu itu tidak bisa bergerak. “Kamu harus biasa menyentuh hantu, bukan hal mustahil apabila suatu saat dia menyentuhmu lebih dahulu.”
Xena memandang hantu itu dengan perasaan jijik. Dia mulai membayangkan momen di mana hantu seperti ini menyentuhnya saat dia tidak berdaya. Permukaan kulit Xena yang bahkan tidak pernah menyentuh debu itu langsung bergidik ngeri saat memikirkan hal itu.
“Aku benar – benar tidak mau menyentuhnya!”
Terlambat.
Jari telunjuk Xena sudah menyentuh permukaan kulit dari hantu wanita itu. Seketika Xena merasa kepalanya berputar cepat dan pandangannya berkedip – kedip.
Zenon berbisik pelan, “Pejamkan matamu selama beberapa detik.”
Tanpa bertanya, Xena segera melaksanakan perintah Zenon. Xena merasa kakinya tidak menapak di permukaan tanah selama beberapa saat, melayang seperti sebuah kapas ringan yang tertiup oleh angin kecil.
Sepasang telinga Xena perlahan mulai menangkap suara – suara asing yang tidak ia kenali. Terdapat suara pijakan kaki di atas panggung kayu, suara alunan musik latar, dan suara seorang wanita yang terdengar seolah tengah berlakon di atas panggung. Suhu udara yang tadinya terasa begitu panas pun merangkak turun dengan drastis seolah Xena sedang berada di musim dingin.
“Buka matamu.” Perintah Zenon.
Bulu mata Xena bergetar saat dia membuka matanya. Cahaya menyilaukan yang berasal dari Lighting panggung merasuki retina Xena sehingga dia harus menyipit sejenak sebelum bisa menyesuaikan diri.
Ketika sudah bisa melihat secara jelas, Xena membulatkan kedua matanya lebar – lebar. Ruang latihan yang gelap dan sepi telah berganti menjadi sebuah teater yang begitu ramai. Terdapat sebuah panggung kayu besar di ujung ruangan, kemudian ada kursi – kursi penonton berbaris di hadapan panggung.
Teater yang Xena lihat memanglah tidak besar, malah cenderung kecil. Ukurannya mungkin sama seperti ruang latihan yang sebelumnya Xena lihat, tetapi ada banyak ornamen mahal seperti kayu berukiran emas dan permukaan lantai yang dilapisi oleh marmer.
“Apa ini?” Lirih Xena tidak mengerti.
Zenon memegang tangan Xena dan mengajaknya berjalan – jalan. “Apa yang sekarang kita lihat hanyalah serpihan memori yang masih hantu di ruang latihan ingat. Kita tidak bisa mengubah apa pun di sini dan hanya mampu melihat.”
Xena melirik ke arah dua tangan mereka yang saling berpegangan. “Master Dominic, mengapa kamu memegang tanganku?”
“Sebenarnya hanya kamu yang bisa masuk ke dalam ingatan hantu. Tapi, aku juga bisa masuk dengan meminjam energi Yin-mu. Karena itu, aku harus terus memegang tangan Nona Archer agar tidak terlempar keluar. Nona Archer pasti tidak mau ditinggal sendirian, kan?”
Xena mengurungkan niatnya untuk menepis tangan Zenon saat mendengar penuturan pria itu. Sesungguhnya dia cukup lega bila Zenon ikut masuk bersamanya.
Pandangan mata Xena lantas beralih kepada sebuah papan informasi yang bertengger di dinding. Dari papan itu, Xena bisa tahu bahwa teater ini bernama ‘Golden Theater’. Sebuah teater yang terbilang cukup sukses di tahun 1920-an karena telah memunculkan berbagai macam bakat yang akan mengisi dunia perfilman di kemudian hari.
Sesungguhnya nama Golden Theater seringkali Xena dengar di dunia nyata. Dia juga tahu bahwa Golden Theater akan dihancurkan pada tahun 1950 dan Eryx Management membangun perusahaan di atas tanah hasil gusuran itu.
Ada yang bilang Golden Theater bangkrut beberapa tahun setelah ada seorang aktris berbakat di teater ini menghilang. Kalau tidak salah nama aktris itu adalah—
“Diane! Kamu mengucapkan dialog yang salah! Ulangi lagi!”
Seorang sutradara berteriak dari kursi penonton seraya mengibaskan naskah di tangannya, dia memperhatikan beberapa aktor dan aktris yang tengah berlatih untuk acara pementasan bulan depan.
Wanita bernama Diane yang sebelumnya di teriaki oleh sutradara membungkukkan punggungnya beberapa kali seraya meminta maaf. Meski begitu, senyuman di wajahnya yang rupawan tidak pernah sekalipun luntur.
Menurut Xena, Diane mempunyai wajah yang paling bersinar terang di antara para pemeran teater. Namun, ada sesuatu yang sedari awal mengganggu pikiran Xena, dia merasa seolah pernah melihat Diane di suatu tempat tapi tidak bisa memikirkan wajah wanita secantik itu di dunia nyata.
“Itu dia, hantu yang kita lihat di ruang latihan. Namanya adalah Diane.”
• • • • •
To Be Continued
2 September 2021