Oke, Namira sudah menghapuskan nama Shawn dari daftar rencana hidupnya. Namira memang seperti ini. Dia selalu terus terang pada apa yang dia inginkan. Meski kebanyakan dari keinginan itu memang tidak terwujud. Tapi Namira punya optimisme yang tinggi jadi kegagalan dua puluh kali tidak membuatnya menyerah.
Perempuan dengan nama lengkap Namira Syarina itu menghempaskan dirinya ke kasur single ukuran 200 x 90 itu. Atau biasa lebih dikenal dengan nama kasur nomor 4, kasur paling kecil. Namira sudah sangat bersyukur saat mendapatkan kosan ini karena sudah dilengkapi dengan peralatan penting di dalamnya. Jadi Namira tak perlu lagi membelinya meski bisa dibilang kondisi kasur dan lemarinya sudah pantas untuk diganti.
"Bersyukur," itulah yang selalu Namira ucapkan pada dirinya sendiri ketika dia hendak mengeluh dengan hidup. Sebab memang tak ada yang akan berubah dengan 'mengeluh' kan?
Getar ponselnya menyentak Namira. Hampir saja dia tertidur. Namira buru-buru mengocek tas bututnya, mencari benda canggih yang juga tak kalah butut. Namira sudah menggunakan ponsel ini sejak dia kelas 2 SMA. Untung saja layarnya masih bagus. Untuk mengganti screen protector saja Namira harus berpikir berpuluh-puluh kali. Uang 10 ribu Rupiah bisa untuknya makan satu kali. Atau bisa untuk menyetok mie instan selama empat hari. Lumayan.
"Halo Nek.." Namira menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Neneknya menelfon. Pasti neneknya rindu dan juga khawatir padanya. Selama tiga puluh menit Namira habiskan untuk bercerita pada neneknya itu tentang bagaimana kehidupannya di kota dan bagaimana teman-teman baru yang ia temui. Sejenak Namira merasa lupa pada semua beban pikirannya. Ia berjuang untuk Neneknya dan Namira bahagia melakukan itu.
...
Namira menatap layar komputernya. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya sejak tadi. Namira harus mulai terbiasa dengan cara kerja yang cepat di perusahaan ini. Namira tak ingin menjadi terlalu tertinggal karena ia berasal dari kampung dan dari universitas yang tidak ternama. Tapi panggilan Putri memaksa Namira mengalihkan perhatiannya dari layar komputer.
"Ini loh Mir, pacarnya Pak Shawn.." Putri menunjukkan layar ponselnya pada Namira. Di layar tampak seorang perempuan cantik tengah tersenyum pada kamera dan dia benar-benar cantik. Atau bahkan sangat cantik. Namira memang bertemu banyak sekali perempuan cantik sejak datang ke kota. Tapi perempuan di layar ini punya kecantikan yang berbeda.
Namira membaca dalam hati nama akun istagram itu. Adrnanaomi.
"Namanya Naomi.."
"Cantik." Kata itu terucap dari mulut Namira. Perhatian Namira kemudian tertuju pada foto lainnya yang ada di sana. Tampak di sana Shawn berdiri berhadapan dengan Naomi. Shawn tersenyum sangat tulus menunjukkan betapa bahagianya dia. Meski di sana Naomi sedang menunduk entah melihat apa.
Apa kalian mendengar ada suara retak? Ya, itu suara hati Namira. Dia sudah melupakan Shawn kemarin. Tapi kenapa Putri harus mengingatkannya lagi akan Shawn hari ini?
"Cantik banget kan? Liat deh mereka cocok banget. Ya ampun kalau pasangan Pak Shawn secantik ini sih aku ikhlas. Soalnya mereka cocok banget."
Namira mendengarkan ocehan Putri dengan bibir yang terjulur panjang. Apa Putri tidak melihat Namira patah hati?
"Katanya mereka udah bareng sejak SMA, terus--" Namira tak mendengarkan lagi celotehan Putri tentang kisah cinta Shawn dan Naomi. Membuat sakit hati saja. Jadi Namira pilih fokus pada pekerjaannya dan itu membuat Putri kesal beberapa menit kemudian karena baru sadar kalau Namira mengacuhkannya dan dia mengoceh sendiri seperti orang gila.
...
Sudah seminggu lebih Namira bekerja di perusahaan ini. Tapi Namira tak pernah melihat Shawn lagi setelah hari itu. Wajar sih mengingat Shawn bekerja di lantai paling atas sementara Namira berada di sudut antah barantah. Shawn pasti sibuk dan ya, tak ada alasan juga Shawn datang ke divisinya mengingat sudah ada manager di sana yang akan melapor semua pekerjaan ke Shawn.
"Bodoh. Dasar nggak tau diri." Namira mencibir dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia masih memikirkan Shawn. Jelas-jelas beda kasta mereka sangat jauh. Jelas-jelas Shawn adalah sesuatu yang jangankan menyentuh, melihatnya saja Namira tak bisa leluasa. Perempuan dengan rambut dijalin itu menghela napas. Selama seminggu ini Namira memang tidak lagi makan di kantin. Namira harus berhemat jadi dia membawa makanan dari rumah. Makan di kantin bisa untuknya bertahan sampai malam. Jadi Namira lebih baik menghemat uangnya.
Karena dia tidak ke kantin, jadi Namira memilih untuk menikmati angin di taman kantor. Sebenarnya ini bukan taman di divisinya. Namira juga tak sengaja datang ke sini kemarin. Dia diminta mengantar sebuah dokumen ke divisi lain kemarin dan tak sengaja matanya menangkap balkon taman ini. Karena pintu akses ke sana tak dikunci, jadi Namira masuk. Tempatnya sangat sejuk jadi Namira putuskan untuk istirahat makan di sini.
Makanannya belum habis. Tapi pemandangan di depan sana menarik perhatian Namira. Jadi ia menumpu kedua tangan dan dagunya di pagar pembatas, menatap gedung-gedung menjulang di seberang sana.
"Hmm.."
Namira tersentak kaget. Ia langsung mengedarkan pandangan ke segala penjuru dan menemukan seseorang berada di atas sana. Memang masih ada balkon taman di atas sana. Namira menyipitkan matanya untuk melihat siapa yang ada di sana. Matanya membesar saat menyadari bahwa orang di atas sana adalah orang yang selama beberapa hari ini ada di dalam pikirannya. Shawn. Pria itu di atas sana.
Namira langsung bersembunyi secara refleks. Padahal sebenarnya tak ada juga alasan untuknya bersembunyi. Shawn juga tak melihatnya karena pria itu sepertinya sedang sangat fokus dengan ponselnya di telinganya. Namira mengambil kotak bekalnya kemudian berlari meninggalkan tempat itu. Jangan sampai dia tertangkap di sana. Namira belum mau dipecat.
...
Satu persatu pegawai sudah meninggalkan kantor. Tapi Namira masih di kursinya dengan layar komputer yang masih menyala.
"Duluan ya, Mir. Udah deh besok aja lanjutin.." Putri menepuk bahu Namira.
"Nanggung sedikit lagi.." Putri menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruangan itu. Kini benar-benar hanya Namira saja yang ada di sana.
Namira membuang napas pelan kemudian mencoba untuk tetap fokus pada layar komputernya. Angka-angka yang ada di sana sudah membuat kepalanya pusing sejak tadi. Tapi Namira belum mau meninggalkan kubikelnya karena ia bertekad menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Esok entah berapa banyak lagi pekerjaan yang akan datang menghampiri. Prinsip Namira adalah jangan menunda-nunda pekerjaan.
Namira baru mematikan komputernya saat jam sudah menunjuk di angka setengah 9. Hebat memang dia bisa bertahan padahal matanya sudah perih. Namira memastikan sekali lagi kalau tak ada barang yang tertinggal. Ia kemudian mematikan lampu ruangan sebelum menutup pintu.
"Neng Mira, lembur lagi?" satpam yang bertugas malam ini menyapa. Namira tersenyum pada pria paruh baya itu.
"Iya, Pak, sedikit."
"Rajin banget Neng Mira lembur."
"Nggak rajin kok, Pak. Menyelesaikan kewajiban aja. Bapak udah makan?"
"Udah. Neng Mira udah makan?"
Namira mengangguk. Makan siang. Makan malam sih belum. Boro-boro. Saat sedang mengobrol dengan Pak Satpam, Namira menangkap sosok Shawn di balik kaca, berjalan cepat dengan PA nya seperti biasa. Tanpa Namira sadari, ia mengikuti sampai Shawn menjauh.
"Liatin apa Neng? Pak Presdir ya?"
Namira malu tertangkap basah. "Hehe, iya, Pak. Ganteng orangnya. Masih muda juga tapi udah sukses banget. Salut liatnya."
Pak Satpam bernama Jamin itu pun tersenyum dan mengangguk. Ia membenarkan kata-kata Namira. Shawn memang panutan semua orang di sini. Masih muda tapi sudah sangat sukses. Orangnya juga terkenal ramah dan suka menolong. Pak Shawn juga katanya tidak suka membeda-bedakan kasta entah itu karyawan sudah berpengalaman dengan pangkat tinggi atau hanya karyawan dengan pangkat rendah.
Tapi tetap saja kalau soal hati pasti tidak bisa disamakan.
"Pak Shawn ini anak pertama ya, Pak?" akhirnya Namira bertanya. Sebelumnaya Namira tak benar-benar ingin tahu tentang kehidupan Shawn. Tak ada gunanya dan Namira takut kalau dia jadi makin patah hati pada pria yang tak bisa digapai itu.
"Oh bukan, Neng. Pak Shawn itu anak ketiga. Beliau kembar."
"Kembar?" Untuk hal satu ini Namira benar-benar tidak tahu. Tidak ada yang pernah bilang kalau Shawn kembar. Apa jangan-jangan pria yang tempo hari Namira temui itu bukanlah Shawn tapi kembarannya?
"Iya kembar. Anak Pak Javier dan Buk Risa yang pertama laki-laki, sudah menikah dan sudah punya anak. Yang kedua perempuan, sudah menikah dan sudah punya anak juga. Lalu Pak Shawn dan kembarannya. Yang paling kecil laki-laki. Namanya Tuan Jalen. Tuan Jalen ini CEO di perusahaan games. Bisnis yang baru dikembangkan selama dua tahun terakhir oleh G-Company."
Namira berikan anggukan refleks. Memang keren-keren anak-anaknya Pak Javier dan Buk Risa ini.
Namira melangkah menjauhi gedung tempatnya bekerja. Ia menoleh sekilas ke belakang. Bahkan dia sudah sejauh ini gedung perusahaannya tampak masih menjulang tinggi seolah tepat berada di depannya. Dan bisa-bisanya dia naksir pada pemimpin di gedung besar penghasil uang triliunan itu.
Namira mempercepat langkahnya dan berakhir menjadi berlari saat rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Namira sepertinya harus membeli payung besok. Akhir-akhir ini memang sudah mulai masuk musim hujan.
...
"Tuan, mau langsung pulang?" pertanyaan supir menyentak Shawn dari lamunannya. Ia sedang menatap serius pada layar ponselnya sejak hampir sepuluh menit yang lalu. Apa yang ada pada benda pipih itu sampai seorang Shawn bisa menatapnya begitu lama? Apalagi kalau bukan foto Naomi. Shawn memang sangat cinta sekali pada perempuan cantik satu itu.
"Pak mampir ke Milqueen dulu ya.."
"Baik, Tuan.." Shawn menyimpan ponselnya kemudian mengarahkan pandangan ke luar jendela. Tepat saat mereka hendak melewati halte bis, perhatian Shawn tertuju pada sosok mungil yang berdiri memeluk diri di halte itu. Sepertinya ia kedinginan karena hujan memang sedang deras.
Shawn melirik jam tangannya. Sudah hampir jam 9. Apa itu salah satu pegawai di perusahaannya?
"Pak, stop.."
Mobil itu berhenti. Shawn kembali menoleh ke belakang. Kenapa juga dia menghentikan mobilnya?
"Kenapa, Bos?" tanya Theo, PA Shawn.
"Itu karyawan kita?" tanyanya.
Theo mengerutkan kening kemudian menoleh ke arah tadi Shawn menoleh. Jelas Theo tak tahu. Bagaimana dia bisa tahu? Ada banyak sekali pegawai di perusahaan mereka. Dan di sekitar sini juga perusahaan mereka bukanlah satu-satunya perusahaan yang ada.
"Saya kurang tau, Bos. Ada apa?"
Shawn menggaruk alisnya. Sebenarnya kalaupun itu pegawai di perusahaannya, tak ada juga kewajiban bagi Shawn untuk mengurusnya. Bukan tanggung jawab Shawn juga untuk mengantar perempuan itu pulang. Tapi entah kenapa hari ini hati Shawn tergerak untuk berbuat baik pada pegawainya itu.
"Kamu jemput dia," perintah Shawn pada Theo yang berhasil membuat Theo melongo seperti orang bodoh selama beberapa detik. Sebelum Shawn sempat menatapnya dengan tatapan yang tak ingin Theo bayangkan, ia bergegas turun dengan payung--menghampiri perempuan dengan rambut dijalin itu.
Tak lama keduanya masuk ke dalam mobil.
"Maaf merepotkan, Pak. Saya jadi nggak enak.." perempuan itu berkali-kali minta maaf. Ia bahkan menunduk tak berani menatap Shawn yang duduk di belakang.
"Nama kamu siapa?" Shawn membuka mulutnya setelah mobil berjalan selama beberapa menit.
"Hah?"
Theo menghela napas. Perempuan ini memang lemot sekali sejak tadi. Theo harus banyak sabar memang. Entah apa yang akan terjadi nanti. Seingatnya Shawn sangat tak suka dengan orang lemot.
"Oh sa-saya Namira, Pak.." Namira menjawab dengan agak terbata. Siapa yang tak akan terbata jika yang bertanya adalah Presdir di perusahaan tempat kita bekerja.
"Kamu pegawai di G-Empire?"
"I-iya, Pak.."
"Divisi apa?"
"Hah? Oh, saya pegawai baru Pak. Saya di Divisi Adm, Pak.."
Shawn manggut-manggut. Shawn kemudian tak bertanya lagi. Suasana di dalam mobil berubah senyap. Namira tak berani membuka mulutnya juga. Mobil berhenti di sebuah toko kue. Namira hanya melihat saja saat Shawn dan Theo turun. Shawn tampak memilih-milih kue di dalam sana. Jangan tanya bagaimana kondisi jantung Namira saat ini.
"Nak Namira aslinya dari mana? Orang Sunda ya?" pertanyaan bapak supir menyentak Namira dari lamunan.
"Eh hehe, iya, Pak. Saya dari Jayagiri, Lembang."
"Wah saya juga Sunda, Nak. Saya asli Tasik.."
"Wah nggak nyangka Pak. Salam kenal ya, Pak."
"Iya, Nak Namira. Di Jakarta tinggal sama siapa?"
"Sendiri, Pak.." Namira dan Pak supir yang ternyata bernama Sutresna itu mengobrol ringan. Namira ceritakan bagaimana dia bisa datang ke Jakarta dan beruntung dapat bekerja di perusahaan sekelas G-Empire. Pak Sutresna ternyata sudah hampir 35 tahun tinggal di Jakarta dan sejak dua puluh tahun yang lalu ia sudah mengabdi di keluarga Gomez.
"Pak Mahesa sekeluarga sangat baik sekali. Sampai anak-anaknya, Tuan Javier, Tuan Arkan, Non Rachel, semuanya baik-baik juga. Istrinya Tuan Javier juga baik banget. Nggak heran juga kenapa anak-anaknya baik-baik dan sukses semua."
Perlahan sebuah senyuman terukir di sudut bibir Namira. Pandangannya kemudian terpaku pada sosok yang baru keluar dari toko kue. Cukup lama Namira menatap Shawn. Dan sebuah pemikiran muncul tanpa bisa dicegah di dalam kepalanya.
Tak ada salahnya kan jika ia mengagumi Shawn? Ia hanya akan mengagumi saja dan tak akan lebih dari itu. Shawn memang pantas untuk dikagumi. Namira berjanji rasanya pada Shawn hanya akan sebatas rasa kagum saja.
***