Hell banget! maki Airin dalam hati. Bayu malah lebih senang mengantar Cinthya dari pada dirinya. Pergi sama siapa, pulang sama siapa, dumelnya masih belum puas. Ia menendang-nendang kaleng bekas di depannya lalu mengeluarkan ponsel. Di dompet uangnya tinggal goceng lagi. Mau naik apa ia pulang ke rumah?
Aha! Gara!
Supir gratisnya selain Mang Didi. “Lo dimana?” tanya Gara. Ponselnya sudah nangkring ditelinga sementara Akib masih terpaku menatapnya. Meski tak begitu jelas namun Akib yakin jika itu suaranya Airin. “Yaudah. Gue jemput. Lo tunggu disana. Terus Bayu?”
Akib menajamkan pendengarannya namun sayangnya ia tak menangkap apapun selain suara samar-samar milik Airin. Lelaki itu langsung memasuki mobil-nya dan satu rencana melintas di kepalanya. Dia....harus ngikutin kemana perginya Gara. Maka dengan cepat ia ikut menaikki mobilnya lalu menggas. Setidaknya meski nanti tak bisa berbuat apa-apa, ia harus memastikan Airin baik-baik saja. Haah...ada apa dengannya sebenarnya?
Ia memerhatikan sekeliling. Dari arahnya, ia tahu Gara akan kemana. Entah kenapa ia terpikir pada kafe yang akan dikunjungi Acin hari ini. Tapi....
Memori tadi berputar ulang. Acin bilang akan bertemu Bayu di kafe itu lalu Airin datang bersama Bayu pagi tadi. Ada apa sebenarnya?
Hatinya menerka-nerka namun saat akan tiba di depan kafe ia menyembunyikan mobilnya di antara mobil lain lalu ikut melangkah. Sementara itu Gara yang merasa diikuti hanya tersenyum tipis. Bukannya tak tahu tapi ia hanya terlalu tahu. Bukti nyata ada di depan matanya. Ia menarik senyumnya. Sepertinya ia akan membuat Akib benar-benar menyesal setelah ini. “Airin!” serunya dengan kencang. Ia sengaja. Airin menoleh lalu melambai-kan tangannya. Gadis itu menunggu mobilnya berhenti tepat di depannya.
“Cepet banget sih?” takjubnya. Ia takjub karena tak sampai sepuluh menit Gara sudah muncul. Lelaki itu malah mengacak-acak rambutnya yang membuat ia melotot dan kesal seketika. “Tuh kan Gar! Aiisssh!” desisnya lalu mencoba memperbaiki tatanan rambutnya tapi dihancurkan lagi oleh Gara.
“Buruan naik!”
Airin berjalan memutar sambil menggerutu kesal. “Awas lo ya!” ancamnya setelah menutup pintu mobil dengan kencang. Gara mencak-mencak dibuatnya. “Baek-baek nutupnya,” ucapnya tak terima mobilnya diperlakukan kasar. Airin malah cuek bebek sambil membuang meka ke jendela. Matanya melotot saat tak sengaja melihat sosok Akib yang sedang juga melihat kearahnya. Lelaki itu nampak kaget lalu menutup kaca mobil dan segera berlalu. Airin menerka-nerka apa yang terjadi. “Lo mau main game lagi gak kayak dulu?”
Airin menoleh sambil memincingkan mata. Jangan bilang Gara tahu kalau ada Akib tadi!
“Dia kayaknya perlu ditabok dulu biar sepenuhnya sadar,” ucap lelaki itu dengan menggebu.
♥♥♥
“Dari mana aja?” tanya Fadlan saat menjumpai Airin yang baru memasuki rumah. Laki-laki itu menyedekapkan tangannya sambil menatap tajam adiknya.
“Tadi ngerjain proposal bareng temen,” jawab gadis itu dengan lembut. Lalu berlari kecil menaikki tangga. Ia sudah sampai di depan kamarnya dan kaget saat ada yang menepuk bahunya. Saat ia menoleh ternyata Fadlan. “Apalagi, Kak?” tanyanya setengah merengek. Ia lelah dan ingin istirahat tapi kakaknya ini meng-ganggu sekali.
“Kakak mau ngomong sesuatu boleh?” tanya Fadlan. Airin mengangguk saja lalu membuka pintu kamarnya. Gadis itu meletakkan tasnya sembarangan yang mengundang Fadlan mencibir kelakuannya. “Anak gadis kok malas sih,” cibir Fadlan. Mau tak mau Airih menghela nafas lalu mengambil tasnya dan meletakkan di tempat semestinya. Kalau saja Aisha yang menasehatinya seperti itu, pasti akan dibalikkan kata-katanya. Karena dibanding ia, masih Aisha lah yang lebih malas.
“Kakak mau ngomong apaan?” tagihnya tak sabar. Seluruh tubuhnya sudah minta diguyur air dingin.
“Siapa laki-laki yang pernah pacaran sama kamu?”
Airin tergagap saat akan membuka mulut. Ia mengatupkan mulutnya lagi. Kakaknya tahu dari mana? Matilah ia!
“Siapa?” tagihnya dengan kedua tangan terlipat di depan d**a.
Airin menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Lalu menarik nafas pasrah. “Kakak kelas Airin,” jawabnya.
“Namanya siapa?” runtut Fadlan masih belum puas akan jawaban Airin. Airin mendesis dan membuat Fadlan terkekeh kecil. Ia tahu adiknya itu malu sekaligus kesal. Laki-laki itu dengan lembut mengelus kepala Airin. “Siapa?”
Gadis itu menunduk. “Akib,” jawabnya pelan lalu mendongak, menatap kakaknya dengan sebal.. “Lagian Airin udah gak pacaran lagi sama dia.
Fadlan mengangguk-angguk. Masih enggan melepas tangannya dari kepala Airin. “Kalau kakak bilang jangan pacaran dulu sebelum lulus kuliah, kamu mau nurutin kemauan kakak?”
Airin menatap mata tajam kakaknya yang nampak serius. Ia bingung harus menjawab apa karena takut tak bisa memenuhi permintaan kakaknya itu.
“Kakak hanya takut kamu dipermainkan laki-laki. Dengar! Tak semua laki-laki itu baik seperti kakak,” tutur Fadlan yang narsis diujungnya membuat Airin ter-gelak seketika.
“Iya emang! Cuma kakak doang yang masih bujangan umur segini!” cercanya yang membuat Fadlan ingin mengetuk kepala adiknya seketika. Airin terkikik puas. Lalu ia menghela nafa dalam. “Airin janji gak bakal pacaran sampe lulus kuliah tapi..... kak Fadlan harus janji juga buat nikah sebelum Airin lulus kuliah,” seru Airin dengan semangat lalu tertawa terpingkal-pingkal.
“Gak sampe kamu lulus kuliah juga kakak pasti udah nikah!” seru Fadlan tak mau kalah saat melihat wajah adiknya yang meremehkannya.
“Yakiin?” goda Airin sambil mengedip-edipkan matanya. Fadlan tergelak sambil mengacak-acak rambut Airin.
♥♥♥
Airin menatap nanar pada Aisha yang sedang duduk di pelaminan bersama kakak iparnya—Wira. Gadis itu sesekali mengusap air matanya yang jatuh. Tak menyangka jika di hari bahagia kakaknya, ia malah menangis. Sedih karena setelah ini tak serumah lagi dengan kakaknya. Tak ada celotehan yang akan membelanya dan tentunya akan mem-bully Fadlan. Mengingat bully-an itu ia terkekeh lalu mencari kemana sosok kakak laki-lakinya itu.
Kak Fadlan, panggilnya dalam hati. Semalaman ia merenungi nasib kakak-nya yang satu itu. Laki-laki itu dilangkahi dua adiknya. Kak Fadli yang ternyata sudah menikah diam-diam. Ia kaget tentu saja. Tapi ia yakin yang lebih kaget adalah Fadlan. Haaah....bayangkan saja, sekian lama tak bertemu dan sekalinya bertemu Fadli malah sudah menikahi anak orang. Ia, Aisha dan Mami tentu saja tak menyangka jika Fadli yang akan menikah duluan. Karena kelakuan lelaki tengil itu yang suka mempermainkan wanita. Sementara Fadlan malah sebaliknya. “Rin...,” panggil seseorang di sampingnya. Gadis itu menoleh lalu nampaklah Gara dimatanya. Laki-laki itu berstelan jas. Ganteng sih tapi tetap saja dimata Airin, mantannya lah yang paling ganteng. Aish, desisnya dalam hati. Ia heran kenapa tak hanya hatinya, seluruh organ tubuhnya kini seolah-olah hanya memikirkan Akib.
“Apaan?” sergahnya.
“Gue liat tadi lo nangis terus ketawa sendiri. Lo kesambet?” tanyanya dengan datar. Tangan Airin melayang untuk memukul kepalanya. Gara tergelak karena bisa menghindar pukulan itu.
“Lo kok gak pulang-pulang sih?” sebalnya lalu mendengus. Soalnya nih cowok, seharian ini menguntitnya.
“Kan bokap lo cuma percaya sama gue buat jagain lo,” nyinyir Gara. Airin memasang wajah seolah-olah ingin muntah. Gara terkekeh geli melihatnya.
“Lo apain bokap gue ampe ngizinin lo buat jagain gue?!” cibir Airin sambil menggelengkan kepalanya. Gara mengacak-acak konde gadis itu saking gemasnya yang mengundang pelototan sang pemilik. “Gara! Aisssh....konde gue!” teriaknya agak keras. Ia tak perduli pada orang-orang di sekitarnya yang ia pedulikan hanya penampilannya. Gadis itu mencak-mencak sambil memukuli Gara yang melindungi kepalanya dengan menahan menggunakan tangannya karena kepalanya dipukuli Airin. Sementara itu sosok lain terpaku saat mendengar teriakan kecil itu. Sontak ia menoleh dan kaget saat melihat Airin dan Gara. Sejak tadi ia mencari sosok gadis itu mengingat ini adalah pernikahan kakaknya dan sekalinya ketemu....hatinya mencelos. Dalam sekejab saja ia berencana ingin pulang secepatnya.
“Bang!” panggilnya pada Faiz yang sedang melambaikan tangan ke arah Fadlan. Faiz menoleh dengan sebelah alis terangkat. “Pulang!”
“Kenapa?”
Akib menghela nafasnya. Ia tak tahu harus memberi alasan apa. Ini sulit karena berkenaan dengan hatinya. “Pulang aja,” rengeknya yang membuat Faiz geli menatapnya. Sudah gede masih merengek kayak anak kecil! cibirnya dalam hati.
“Nanti. Abang mau ketemu temen lama dulu,” tatarnya dan dibalas hembus-an kesal oleh Akib. Faiz terkekeh lalu tangannya merangkul bahu Akib. Laki-laki itu membawanya menuju teman lamanya.
♥♥♥
“Airin mana?” bisik Fifa pada Fadlan. Fahri yang berdiri di sebelahnya menarik lengan wanita itu untuk mendekat padanya saja dan jangan pada sahabat-nya. Fadlan terkekeh kecil melihat perlakuan posesif Fahri pada istrinya. Ia juga ingin seperti itu. Tapi sayangnya, calonnya tak ada. Barangkali Allah lupa menulis-nya.
“Suami kamu tuh yang ini,” sindir Fahri agar istrinya sadar. Fifa terkekeh geli sambil menepuk lengan suaminya. Ia juga tahu. Tapi kan yang menjadi kakaknya Airin ya si Fadlan ini. Sementara sahabatnya sendiri sedang duduk di pelaminan.
“Paling lagi sama anak temennya Papi. Si Gara,” tutur Fadlan. Lalu ia me-nangkap Faiz dalam penglihatannya. Tangannya melambai membalas lambaian tangan Faiz. Sahabat lamanya itu berjalan mendekat dan saat dekat, ia segera memeluknya sambil beberapa kali menepuk bahu Faiz.
“Apa kabar lo?” tanyanya saat melepas pelukan dan Faiz beralih memeluk Fahri.
Faiz terkekeh. “Alhamdulillah, baik. Lo gimana? Kapan nikah? Gue denger-denger lo dilangkahi dua orang tahun ini,” kalimat Faiz itu sukses membuat Fifa dan Fahri terkikik puas. Fadlan di-bully lagi. Sementara yang di-bully juga ikut terkikik. Ia tak tahu harus berkomentar apa mengenai nasibnya tahun ini.
“Lama gak ketemu selera humor lo naik dikit,” puji Fahri. Faiz malah cengengesan. Itu bukan pujian melainkan sindiran.
“Sara mana?” tanya Fadlan yang heran karena Faiz terlihat sendiri.
Faiz terkekeh lalu memperkenalkan laki-laki yang dibawanya pergi hari ini. “Dia ada urusan. Jadi sebagai gantinya gue bawa adek gue. Masih inget kan?”
Fadlan dan Fahri saling melirik lalu keduanya tertawa sementara Akib me-masang muka bodoh karena tak mengerti padahal ia yang sedang ditertawakan.
“Ini yang bikin lo gagal jadi anak tunggal kan?” tanya Fahri usai tertawa. Faiz terkikik sambil menganggukkan kepalanya. Ia membenarkan ucapan Fahri.
“Kib, kenalin nih ini Fadlan dan yang ini Fahri.”
Akib tersenyum tipis. Ia mengangkat tangannya saat Fadlan mengulurkan tangan ke arahnya. “Akib, Bang,” ucapnya dan cukup menyentak kesadaran Fadlan. Ia merasa nama itu tak asing.
“Udah kuliah, Kib?” tanya Fahri.
“Belum Bang. Tahun depan insya Allah. Sekarang masih kelas 12 SMA,” jawabnya dengan sopan. Diam-diam ia memerhatikan bola mata Fadlan yang sama persis dengan bola mata milik Airin. Cokelat bening.
“SMA mana?” seru Fahri dengan bersemangat.
Akib yang baru saja akan membuka mulut mendadak mengatupkan mulutnya lagi saat Fadlan memanggil sosok yang ia perhatikan sejak tadi. Ia ter-diam saat sosok itu mendekati mereka bersama sosok laki-laki lain.
“Nih, adek Abang yang paling kecil. Dia SMA juga tapi masih kelas sebelas kan Rin?” tanya Fadlan tanpa rasa bersalah sama sekali. Lelaki itu melirik Airin dan memberi kode untuk bersalaman dengan Akib. Fadlan sengaja! Ia ingin melihat reaksi keduanya. Baru saja tangan Airin terulur ke arahnya, Akib segera menyela.
“Oh. Kalo ini kenal kok Bang. Dia anak OSIS,” tutur Akib dengan dingin tanpa melihat Airin sama sekali.
Wah, songong juga, pikir Fadlan sambal menahan tawa ketika melihat muka masam adiknya. Sementara Gara sudah geram melihat tingkah lakunya.
“Jadi kalian satu sekolah?” Fahri malah nampak tertarik. “Kapan-kapan boleh dong jemput Airin ke rumah buat berangkat bareng,” tambahnya yang sontak saja membuat Akib dan Airin langsung terbatuk-batuk. Padahal tak ada makanan atau minuman apapun yang membuat mereka tersedak. Fadlan menahan senyum-nya diam-diam.
“Bang! Jatah antar-jemput Airin kan jatahnya Gara,” sungut Gara tak terima yang menyulut tawa pada empat orang dewasa itu.
Fahri mengangguk-angguk kepalanya seraya mengacak rambut Gara. “Gue lupa. Lo kan supirnya!”
"Hahahahahahaha!"
Kampreeeet, maki Gara dalam hati.
♥♥♥
“Yang tadi ya, Rin?” celetuk Fadlan. Gadis itu mengernyit tak mengerti. Ia menoleh pada kakaknya yang mengipas-ipas tubuhnya yang gerah usai acara resepsi pernikahan Aisha-Wira selesai. “Mantan,” seloroh Fadlan setengah meledek. Ia terpingkal-pingkal saat melihat wajah masam milik Airin.
“Malesin ih,” gumamnya lalu memilih naik menuju kamarnya. Ia sudah ingin melepas kebaya ini sejak tadi siang.
“Ciye-ciye yang ketemu mantan!”
Fadlan masih terpingkal. Akib. Ganteng sih. Wajar saja kalau adiknya tak bisa menolak pesona lelaki itu. Namun seperti ada hal yang aneh saat ia menatap tiga pasang bola mata itu. Mata Airin, Gara dan Akib. Masing-masing menyimpan hal terpendam yang membuat sikap penasaran Fadlan naik. Tapi kemudian ia tepis jauh-jauh. Kenapa ia harus mengurus hal-hal tak penting seperti itu? Toh adiknya saja tak begitu perduli kan? Atau hanya berpura-pura tak peduli?
♥♥♥