Cemburu?

1967 Words
Pagi-pagi sekali gadis itu sudah bersiap-siap. Aisha yang kebetulan me-lintasi kamar adiknya mengangkat sebelah alisnya. “Pagi banget!” cibirnya. Airin yang sedang sibuk memasukkan bukunya ke dalam tas menoleh sekilas. “Aku piket, Kak.” Aisha hanya ber-oh ria. Lalu kembali berjalan menuruni tangga namun baru dua tangga yang terlewati, gadis itu menghentikan langkahnya. “Jangan lupa sarapan, Rin!” pesannya dan dijawab dengan 'ho-oh' oleh Airin membuat Aisha menggelengkan kepalanya. Gadis itu kembali menuruni tangga. Sementara Airin sudah selesai memasukkan bukunya, selanjutnya ia melihat lagi penampilannya yang agak berantakan pagi ini. Rambutnya yang kering, ia sisir rapi kembali lalu mencari-cari ikat rambut. Sampai bermenit-menit kemudian ia tak menemukan satu ikat rambut pun—membuatnya frustasi. Lalu menghela nafas dan melirik jam tangan. Selanjut-nya ia memutuskan untuk segera berangkat ke sekolah. “Mi.... nasi Airin dibekalin aja ya!” teriaknya dari tangga. Maminya meng-gelengkan kepala namun tak urung juga memasukkan nasi goreng ke dalam tempat bekal. “Dih...udah gede bisa siapin sendiri kali!” cibir Fadlan dan itu membuat Airin memonyongkan bibirnya. “Dih.... kakak juga kali. Udah gede harusnya tinggal sama istri bukan sama Mami!” ledek Aisha dan itu membuat Airin terkekeh. Kakaknya yang cantik itu dengan senang hati membelanya. Kali ini Fadlan menurunkan korannya sambil melotot ke arah Aisha yang dibalas cengiran. Mami sudah muncul dengan bekal dan nasi goreng dalam porsi banyak untuk mereka. Sejak Aisha akan menikah, Mami memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Mengingat masih ada Airin yang harus ia urus setelah kemarin-kemarin sempat diabaikan karena sibuk mengurusi bisnis. Setelah Aisha menikah, tentu saja Airin akan kesepian dan Mami tak ingin itu terjadi. Beliau ingin menemani Airin dan mengawasi Airin agar tak terjatuh pada lubang yang sama dengan kakaknya. Jadi tak heran jika beliau dan suaminya membatasi Airin dengan pergaulan dengan anak-anak yang memungkinkan untuk menjerumuskan anaknya. “Bully aja terus bully! Mentang-mentang udah mau nikah!” balas Fadlan sementara ketiga wanita lainnya terkikik geli. Semenjak Fadlan pulang kembali ke rumah, ia memang yang selalu menjadi korban bully di keluarganya. Apalagi Aisha akan menikah sebentar lagi yang otomatis ia akan dilangkahi. “Airin pamit dulu deh. Assalammualaikum!” pamitnya setelah mencium tangan Mami dan kedua kakaknya. “Waalaikumsalam.” Sepeninggalnya Airin, ruang makan itu tampak lengang hingga akhirnya, Fadlan mengangkat bicara. “Udah gak galau lagi dia?” Mami berdeham menatap putra dan putrinya yang saling memandang. Menyadari hal itu baik, Fadlan maupun Aisha sama-sama terkikik. “Airin udah gede, Mi. Gak apa kan?” tanya Aisha dengan lembut. Mami menatap Aisha dan Fadlan bergantian. Lalu menghembuskan nafas. “Pacaran?” Aisha mengangguk sekilas tapi saat tersadar akan sesuatu gadis itu meng-geleng. “Kemarin-kemarin sih iya, Mi. Tapi sekarang udah enggak kok.” Mami mengangguk-anggukkan kepalanya lalu memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Beliau mulai khawatir pada Airin. “Sama siapa?” Fadlan ikut menoleh pada Aisha saat Mami bertanya hal itu. Ia juga tak tahu siapa laki-laki yang dipacari adik kecilnya itu. “Eung....,” gadis itu nampak berpikir tapi tetap saja ia lupa namanya. “Yang Aisha tahu sih itu loh.....siapa tuh sahabatnya Kakak?” ucapnya dengan gembira menyambut kernyitan dahi Maminya. “Faiz?” tebak Fadlan dan benar saja, Aisha mengangguk cepat. Karena yang Fadlan tahu, sahabatnya hanya Fahri, Faiz, Wira dan Regan. Jika Fahri sangat tidak memungkinkan menilik keluarganya yang taat sekali pada aturan Illahi mengenai pergaulan perempuan dan laki-laki. Wira? Wira jelas di diskualifikasi. Lalu Regan? Sepupunya yang satu itu tak punya saudara laki-laki. “Adiknya Faiz yah?” tanya Mami. Aisha mengangguk-angguk. Ia meng-ingatnya karena pernah bertemu sekali dengan mantan pacar Airin yang wajahnya mirip sekali dengan Faiz. “Kalo keluarganya Faiz sih Mami percaya,” lanjut Mami. Beliau tahu benar bagaimana keluarga Faiz. Mama Faiz juga sahabatnya di kalangan wanita sosialita. Dan ia tahu mereka adalah keluarga baik-baik. Lalu fokus kedua anaknya beralih pada Maminya. “Tapi tetep aja, Mi. Fadlan gak setuju. Gimana pun kan Airin masih kecil. Dari pada pacaran gak jelas mending juga belajar yang rajin.” Aisha mengangguk-angguk. Ia juga tak mau adiknya sepertinya dulu. Cukup ia saja. “Iya sih. Tapi sekarang aja udah putus kan?” Aisha mengangguk. Fadlan juga demikian. “Asal jangan sampai terdengar Papi aja ya,” pesan Mami lalu membawa piring bekas makanannya ke dapur. “Iya, Mi. Nanti Fadlan coba ngomong sama Airin untuk gak pacaran lagi.” Aisha ikut mengangguk walau dalam hati ia cemas. Ia tahu bagaimana perasaan ABG seperti Airin yang sedang diterpa masa merah muda. Masa-masanya jatuh cinta pada lawan jenis. ♥♥♥ Entah angin apa yang membawanya ke tempat ini. Mungkin jika biasanya, ia menunggu di lapangan bola—tak jauh dari rumah Airin namun pagi ini, ia dan mobilnya berada di jalan raya dekat gerbang masuk kompleks perumahan mewah di mana rumah Airin salah satunya. Sudah dua hari ini ia memantau gadis itu dan sejauh ini, gadis itu aman-aman saja. Jelas saja aman karena gadis itu pasti diantar sopirnya untuk ke sekolah. Termasuk pagi ini. Ia segera menancap gas saat melihat mobil Airin keluar dari gerbang kompleks dan berbelok ke arah kanan. Ia mengikutinya dengan jarak beberapa mobil di belakang. Kalau sama persis di belakang tentu saja bodoh namanya. Airin pasti mengenali mobilnya. Namun pagi ini tidak lancar seperti biasanya. Tiba-tiba saja di pertengahan jalan, mobil Airin menepi di pinggir jalan dan itu membuat Akib ikut menepi pula namun agak jauh di depannya. Ia melirik dari kaca spion, apa yang sebenarnya terjadi. Gadis itu keluar dari mobil tampak tenang-tenang saja, membuat Akib bertanya-tanya. Hingga kemudian mobil jazz putih terparkir tepat di depan mobil Airin. Sebelah alisnya terangkat saat melihat Airin segera masuk ke dalam mobil itu. Jantungnya berdentam keras. Kemana Airin? Dengan siapa? Tiba-tiba rasa cemas melandanya. Tanpa tunggu lebih lama lagi, Akib menekan kencang pedal gasnya. Jalan demi jalan dilalui dan sejauh ini tak ada yang mencurigakan. Ia tahu benar jika mobil itu bukan milik Gara. Setahunya, mobil Gara jauh lebih mahal dari mobil itu. Tapi tidak menutup kemungkinan kan, jika itu mobilnya Gara? Namun entah kenapa, hatinya menyeru jika itu bukan Gara. Atau....ia saja yang tak tahu jika Airin punya banyak lelaki lain yang ada di dekatnya? Kepalanya menggeleng cepat. Ia sangat mengenal Airin. Hampir satu tahun mereka pacaran, tak sekali pun ia terlihat bersama laki-laki. Ah....tapi ia juga lupa jika Airin kerap bersama Gara dan sering pula menumpahkan perhatiannya pada Gara. Tapi ia tahu pasti jika Airin hanya menganggap Gara sebagai teman dan tidak lebih dari itu. Tapi.....hei.... apa ia lupa? Dulu kan Airin sudah memilikinya jadi tak perlu lelaki lain namun sekarang..... Airin sendiri? Tiba-tiba saja ia menepuk setirnya kuat-kuat. Rasanya tak rela melihat gadis itu dekat dengan lelaki selain dirinya. ♥♥♥ Sementara itu Airin malah asyik terkikik bersama Bayu. Ia sengaja minta diturunkan di tepi jalan untuk kemudian dijemput Bayu. Jika Bayu langsung menjemputnya di rumah, ia bisa pastikan Bayu akan disuruh pergi secara halus entah oleh Maminya atau Kak Fadlan. Yang jelas, kedua orang yang ia sayangi itu takkan mudah percaya pada orang asing. Ah, bukan karena itu lebih tepatnya adalah ia dianggap masih terlalu kecil untuk mengenal lelaki. “Ah iya, gue hampir lupa, Rin,” ucap Bayu setelah puas tertawa karena lelucon yang ia buat sendiri untuk merayu Airin. “Sepulang sekolah kemaren gue udah omongin ke Kak Cinthya, nanti kita ketemu sama dia habis pelajaran tambahan di sekolah.” Tiba-tiba saja perasaan tak enak melandanya. “Oh....,” hanya itu respon Airin saking speechless-nya. “Gue sebenarnya gak enak sih minta tolong ke dia. Lo tahu sendiri kan dia pacaran sama siapa? Gue agak segan sama pacarnya.” Airin mengangguk-angguk dengan hati tak nyaman. Ia memalingkan wajah-nya ke arah luar. “Kenapa bisa segan gitu?” tanyanya tanpa sedikit pun menutupi rasa penasarannya. “Waktu SMP kan gue pernah deket sama Kak Cinthya terus cowoknya dia ngamuk deh ke gue,” cerita Bayu lalu terkikik geli karena ingat masa lalunya. Airin menanggapinya dengan malas. Hatinya terasa panas sekali men-dengar kicauan Bayu. Ternyata, benar kata Akib saat mereka putus dulu. Laki-laki itu hanya menjadikan ia sebagai pelariannya. Tak pernah tulus men-cintainya. Dan mengingat itu entah kenapa membuat emosinya ingin meledak sekarang. Marah pada diri sendiri yang bodoh dan lugu. Sampai tak bisa membedakan mana yang benar-benar mencintainya atau yang pura-pura mencintainya. “Lo pernah suka sama dia?” tanya Airin--mengabaikan panas hatinya yang sudah membara kini. “Dulu sih. Yah...lo liat deh, cewek cakep gitu, cowok mana yang gak suka?” Dan kalimat itu membuat Airin bagai didorong terjun dari tepi jurang ke dalam lautan. Rasanya jleb banget. Namun ia juga tak menyangkal. Kakak kelasnya itu memang cantik. Jadi wajar saja kalau banyak yang suka dan bahkan tergila-gila seperti mantannya. Oh.... what the hell?! Kenapa harus selalu tertuju pada Akib diujungnya? “Ya sih,” jawab Airin seadanya. Ia sudah sangat enggan untuk menyambung pembicaraan ini dengan Bayu. Bayu yang menyadari keterdiaman Airin tersenyum tipis. “Lo juga cantik kok, Rin,” puji Bayu dengan tulus yang spontan saja membuat pipi Airin memerah. “Hanya saja untuk dijadiin pacar lo gak cocok,” lanjut lelaki itu lalu membelokkan setirnya menuju gerbang sekolah. “Cewek baik-baik kayak lo cocoknya langsung dinikahin bukan dipacarin,” tambahnya. Dan tak lama kemudian mobilnya berhenti setelah mencari parkiran yang masih kosong. Airin menoleh pada Bayu yang menatapnya dengan senyum manis. “Denger kata gue, kalo ada cowok yang ngajak lo pacaran, lo jangan pernah mau. Lo tahu kan kalau pacaran itu mendekati zinah. Dan lo juga pasti tahu zinah itu kalo dilakuin, dosanya besar,” ceramah Bayu yang membuat Airin terkikik geli. Bukan pada kata-kata Bayu tetapi mimik wajah Bayu yang lucu saat menyampaikan kultum singkat itu. “Heh! Dibilangin abang malah ketawa!” cibir lelaki itu. Airin hampir saja tersedak mendengar gurauan 'abang' yang ditutur oleh Bayu. “Sejak kapan lo jadi abang gue?” cibir Airin usai menghentikan tawanya. Gadis itu mengenakan tas sandangnya lalu berdalih membuka sabuk pengaman. “Tadi lah. Dan mulai sekarang lo harus panggil gue abang. Karena kalau gak....gue gak mau nemenin lo ke Kak Cinthya!” ancam Bayu dengan sorot mata lucu yang membuat Airin sebal setengah mati. “Ish! Bisa aja ngancemnya!” cibir Airin. Bayu hanya mengendikkan bahu sambil terkekeh kecil lalu membuka pintu mobilnya. BRAAAAKKKK Suara dentuman keras membuat Airin terlonjak dari bangkunya lalu segera keluar dan terpaku saat menyadari apa yang sedang terjadi. Pintu mobil Bayu ditabrak oleh mobil yang sangat ia kenal. Dan itu... mobil milik mantannya. Ia sempat ternganga lalu berjalan pelan menuju Bayu yang masih mematung dengan posisi duduk di bangku. Lelaki itu baru saja mengeluarkan sebelah kakinya dan untuknya, ia tak apa-apa tapi pintu mobilnya cukup tergoyah karena ditabrak dengan kuat. Airin memicingkan matanya saat sosok innocent penabrak pintu mobil keluar. “Aduh! Kena ya?” ucapnya dengan sorot panik dan cemas dibuat-buat. Airin mencibir dalam hati akan kelakuan Akib yang agak abnormal pagi ini. Entah kenapa ia menangkap jika Akib menabrak itu dengan sengaja. Bayu segera beranjak dari bangkunya dan menatap penuh prihatin pada mobil barunya yang baru saja ia dapatkan seminggu yang lalu. “Eung....gak apa-apa deh Kak,” ucap Bayu dengan pelan. Ia tak enak saat tahu Akib lah yang menabrak. Kalau saja orang lain, ia sudah pasti meminta diganti. “Gak bisa gitu dong, Bay! Pintunya kan rusak!” seru Airin. Gadis itu berjalan maju menuju pintu mobil Bayu yang masih terbuka lebar lalu mencoba menutup pintu itu. Dan benar saja saat diperhatikan.... posisi pintunya sudah miring. Sehingga untuk ditutup saja harus diangkat sedikit. Akib mendengus saat melihat gadis itu malah membela Bayu. “Yaudah... nanti gue ganti, Bay. Lo hubungin aja bengkel buat perbaikin ini pintu dan pembayarannya gue yang urus.” Airin menghela nafas dan menggelengkan kepalanya dengan menatap tak percaya pada Bayu yang mengiyakan saja ucapan Akib. Airin jengkel setengah mati pada lelaki yang kini malah sudah berjalan jauh dari mereka. “Sombong banget sih! Minta maaf aja kagak!” cibirnya agak keras. Ia sengaja melakukannya agar terdengar oleh Akib. Lalu gadis itu menoleh pada Bayu yang masih menatap pintu mobilnya dengan nanar. “Udahlah, Rin. Gak usah diperpanjang,” ucapnya mengalah lalu menarik lengan gadis itu untuk meninggalkan area parkiran. “Tapi gak bisa gitu dong, gimana pun juga dia yang salah. Dan orang yang salah itu wajib minta maaf,” sindirnya lagi dengan volume agak keras. Ia sengaja agar Akib mendengarnya. Dan kesengajaannya itu tanpa sadar membuat Akib mengepalkan kedua tangannya. Menahan agar tak meluapkan emosinya yang naik sampai ke ubun-ubun. Sepertinya ia salah telah menabrak pintu mobil Bayu hanya untuk melampiaskan rasa cemburunya. Eh...cemburu? Rasanya ia ingin menjedotkan kepalanya ke dinding saat ini juga. ♥♥♥   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD