BB. 10

2011 Words
Seiring berjalannya waktu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan kini kehamilan Renata sudah memasuki bulan kelahirannya, perut yang sudah semakin membesar membuat wanita tersebut mengelusnya dengan bahagia. "Awskhh." Renata merintih kesakitan ketika perutnya merasakan sakit yang luar biasa, Ghea yang memang mengambil cuti untuk bersantai di rumah langsung menghampiri Renata yang sudah terduduk di sofa ruang tamu mereka. "Ren kenapa?" tanya Ghea dengan wajah penuh kekhawatiran, Renata terus mengerang kesakitan sambil mengelus perutnya "Kayanya gue mau lahiran Ghe," ucap Renata dengan nafas yang sedikit tersenggal. Kram perut yang pernah ia rasakan ini berkali-kali lipat rasanya, hingga wanita tersebut mengeluarkan airmata di sudut matanya. "Gue buatin teh anget dulu ya," ucap Ghea, baru saja mau beranjak pergi namun tangannya di tahan oleh sang sahabat. Bodohnya Ghea juga kenapa ia malah reflek ingin membuatkan teh hangat. Renata berkata, "Ghea langsung kerumah sakit, gue kaya nya udah mau lahiran enggak butuh teh hangat, butuhnya dokter." Ghea yang sedikit panik segera mengambil kunci mobil, setelahnya ia langsung membopong Renata perlahan ke dalam mobil. Ia melajukan mobil dengan kecepatan penuh tentunya dengan hati-hati juga. "Gheaa sakitt!" Renata terus mengerang merasakan sakit di perutnya. Cengkaraman yang kuat jelas membekas meras di lengan Ghea. "Tahan Ren, dikit lagi sampai," ujar Ghea menenangkan. Tak selang berapa lama, syukurlah mereka sampai. Ghea langsung memarkirkan mobilnya di depan rumah sakit dan langsung belari ke dalam rumah sakit untuk meminta bantuan suster untuk membawa Renata. "Sabar Ren, suster lagi ngambil ranjang," ucap Ghea dengan raut wajah yang benar-benar khawatir, tak lama beberapa suster langsung menghampiri mobil mereka dan membawa Renata yang sudah sedikit pucat. Renata langsung di bawa ke ruangan bersalin dengan Ghea yang setia menemani dan berjalan cepat sambil mendorong ranjang temoat Renata di baringkan. "Sabar ya Re," ujar Ghea menenangkan, tangannya di genggam erat oleh sang sahabat membuat Ghea sedikit sesak melihat perjuangan bagaimana seorang ibu. "Sakit Ghe." Renata menitihkan airmata, ia benar-benar merasakan sakit yang luar biasa, tanpa sadar Ghea juga ikut menangis ia terus menggenggam tangan sahabatnya dengan erat. Renata langsung di periksa oleh dokter yang akan menangani ia lahiran. "Ini baru pembukaan 3 bu," ucap sang Dokter, sedangkan Renata harus menahan lagi sakit atas kontraksi yang ia rasakan. Ghea memutuskan untuk menempatkan sang sahabat kedalam ruangan yang terbaik, ia tak peduli soal biaya asal sahabatnya dan calon ponakannya nyaman. "Gue harus ngabarin Om Diki," gumam Ghea ketika berada di depan ruangan Renata. Renata kini mulai sedikit relax menjelang lahirannnya, sudah berjam-jam wanita tersebut hanya merasakan pulas yang luar biasa kini sang Dokter kembali mengecek apa Renata sudah bisa melahirkan atau harus menunggu kembali."Tolong, perisapkan semuanya," ucap sang Dokter kepada para suster yang mendampingi nya. Renata sudah memasuki pembukaan 10, dimana Renata merasakan ingin buang air besar, kontraksi yang lama, rasa mulas yang benar-benar sakit. Setelah sekiranya sudah di siapkan semua, sang Dokter kini Membimbing Renata untuk mengejan. "Dok tolong pangil teman saya, saya ingin di temani sama dia," ucap Renata. Sang Dokter berkata, "Sus tolong panggilkan temannya." Suster hanya mengangguk dan melangkah keluar ruangan. "Silahkan Mbak masuk, pasien ingin di temani oleh anda," ucap Suster. Ghea menarik nafas lalu menghembuskannya secara perlahan tanpa ragu ia kini masuk ke dalam ruangan bersalin. Renata menatap kehadiran Ghea yang kini mendekat ke arahnya setelah menggunakan baju steril. "Ghe..." Renata memanggil dengan raut wajah yang sendu membuat Ghea benar-benar ingin menangis. "Lu kuat!" Ghea hanya bisa semangati sang sahabat, ia menggenggam tangah Renata untuk meyakinkan kalau ia bisa. Tak lama kemudian. "Awkhhhhhh." Renata berteriak karena sakit yang luar biasa, tangisan nya kini pecah saat ia harus mengejan.  Ghea hanya bisa memegang erat tangan sahabatnya, matanya memejam ketika setiap kali renata mengeratkan pegangannya. Ghea seolah merasakan sakitnya. Renata menggelengkan kepalanya dengan air mata yang berderai, Ghea mengeratkan genggamannya untuk menguatkan sang sahabat. "Tarik nafas, lalu hembuskan secara perlahan." "Hayu Bu dikit lagi." sang Dokter kembali mengintruksi kepada Renata, nafas ia sudah benar-benar tersenggal, seolah menguras semua tenaga, ia hampir menyerah namun mengingat gimana ia mempertahankan anaknya dari niatan menggugurkan. "Kita berjuang bersama nak, bantu mama," batin Renata. Kini ia kembali mengejan dengan sekuat tenaganya untuk melahirkan sosok malaikat kecilnya. "Ya Allah permudah sahabatku," batin Ghea berdoa, air matanya keluar dari sudut mata melihat betapa besar pengorbanan seorang ibu terlebih sahabatnya. Sang Dokter kembali berkata, "Sedikit lagi Bu." Renata hanya mengikuti perintahnya ia mengejan kembali dengan sekuat tenaganya. "Oek oek oek." Suara tangisan dari malaikat kecilnya mulai terdengar, Renata bernafas lega dengan nafas yang tersenggal, ia tersenyum, Ghea pun langsung membuka matanya dan menatap penuh bahagia ke arah sang sahabat. Bayi Renata langsung di taruh di atas Renata untuk mengenalkan ibunya, setelah itu lalu di bawa oleh suster untuk di bersihkan. Renata berkata, "Akhirnya Ghe." Ghea langsung memeluk tulus sahabatnya. Wanita tersebut menatap Renata dan berkata, "Makasih ya Ren udah berjuang buat lahirin ponakan gue." Dengan mata yang berkaca-kaca. "Makasih udah nemenin juga Ghe," balas Renata, ia menggenggam tangan sahabatnya dengan erat selayaknya Renata sangat berterimakasih kepada Ghea. Ghea berkata, "Santuy ah." Mereka berdua lalu tertawa kecil. "Selamat bu anaknya laki-laki, Sehat, ganteng, sempurna," ucap sang Dokter. Ia langsung memberikan kembali bayi kepelukan Renata. Tangisan bahagia ia tumpahkan saat melihat malaikat kecilnya kini sudah bersih. "Ghe," ucap Renata, Ghea hanya menaikkan alisnya seolah bertanya kenapa fokus ia masih kepada sang ponakan yang benar-benar terlihat tampan. Renata berkata pelan, "Boleh telpon bokap gue gak suruh kesini." Ghea jelas menatap kaget, baru niat ia ingin menelepon ayah Renata namun kini Renata yang memintanya secara langsung. Tanpa pikir panjang Ghea langsung mengangguk dan menelepon. Renata sudah berada di ruang perawatan,. "Halo Om." "Iya ada apa Ghea?" "Om, Rena sudah melahirkan dan Rena nyuruh saya untuk ngabarin Om dan apa bisa Om datang kesini?" Renata hanya menatap sendu ia khawatir kalo sang ayah tak mau datang. Raut wajah Gheea pun sedikit cemberut, dengan berkata iya saja ketika seolah mendapat jawaban. Telepon mati secara sepihak membuat Renata menatap penasaran. "Gimana?" tanya Renata. Ghea diam mebisu, tak ada jawaban dari bibir sang sahabat hanya menunduk seolah bersedih, Renata menghela nafasnya kasar lalu tersenyum kecut. "Apa segitunya papah enggak mau ketemu gue Ghe?" tanya Renata kembali dengan raut wajah cemberut. Cklek. Suara pintu terbuka membuat kedua wanita tersebut terdian sejenak. Renata pikir itu suster atau Dokter namun suaranya sangat ia kenal. "Asallamuallaikum." Renata jelas terdiam menatap kaget ketika mengetahui siapa yang datang. Renata berkata, "Mamah, Papah." Renata langsung menoleh ke arah Ghea yang kini hanya menaikkan kedua alisnya lalu tersenyum jahil. Renata nengernyitkan dahi atas senyuman tersebut sebelum ia menganga karena tersadar "Lu bohongin gue ya?!" seru Renata. Ghea hanya tertawa menanggapi perkataan sang sahabat Ghea menjawab, "Hehe ya maaf prank dikit biar ada drama-dramanya gitu." "Sejak kapan?" tanya Renata seraya interogasi sang sahabat. Ghea menjelaskan, "Sejak lu mules mau lahiran, gue ngabarin bokap lu dan pas gue ke toilet sebentar tadi gue udah telepob bokap lu kalau lu udah lahirab." "Mana cucu mamah," ujar Heti - Mamah Renata. Renaat tersenyum getir menatap kedua orang tuanya terutama menatap sang ayah. "Cucu tante jagoan," ucap Ghea. Heti menatap Renata yang kini mengangguk seraya mengiyakan perkataan dari Ghea. "Pah, cucu kita jagoan," ucap Heti. Tanpa pikir panjang ia langsung menggendong sang cucu Diki - Papahnya Renata terdiam melihat sang putri terbaring di ranjang dengan sesekali menatap sang cucu yang sedang si gendong sang istri. "Pah, boleh Renata minjem suara Papah untuk meng-adzani anak Renata Pah?" tany Renata lembut, sang papah yang mendengar langsung merasakan sesak di hatinya perjuangan putrinya sangatlah berat, sang mamah dan Ghea menatap sendu ke arah wanita yang kini tersenyum getir seolah memohon. "Pah." Sentuhan tangan sang istri dan anggukan kecil seraya memohon untuk menuruti permintan sang anak, tak lama kemudian bayi yang lagi di pegang Heti langsung di alihkan ke sang suami. Renata jelas tersenyum tulus. Sang papah mulai meng-adzani putra dari sang putri. "Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Asyhadu allaa illaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah Hayya 'alashshalaah Hayya 'alalfalaah Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Laa ilaaha illallaah." Suara tangisan bayi membuat Renata menitihkan airmata yang begitu menyedihkan namun membahagiakan sambil menatap sang Papah yang sedang meng-adzani anaknya. Tanpa terkecuali, sang papah yang meng-adzani juga ikut menitihkan air mata nya. Sesak sekali rasanya anak perempuannya harus melewati masa yang tak terduga ini. Ruangan terasa penuh haru saat itu, seolah Renata ingin menghentikkan waktu melihat sang papah yang begitu tulus kepada anaknya. "Pah, terimakasih," ungkap Renata. Diki berjalan mendekat, bayi Renata telah di gendong kembali oleh sang mamah. "Maafin Papah juga ya nak, kamu sudah berjuang sendiri," ucap sang Papah, ia tak bisa lagi menahan membendung rasa rindu nya terhadap anak perempuan satu-satunya. Diki mengelus lembut rambut sang anak, ia benar-benar sangat rindu. Diki berkata, "Maafin papah belum bisa jadi papah yang baik untuk kamu." Terasa sesak ketika kata itu di lontarkan oleh Diki, Ghea terdiam seraya memikirkan juga sang ayah. Renata tersenyum tipis, tanpa pikir panjang Diki memeluk sang putri dengan sangat tulus. Heti terlihat lega dan tersenyun bahagia suami dan anaknya kini sudah saling memaafkan. "Masya Allah pah liat dia ganteng banget," ucap Heti, Diki hanya tersenyum sambil menoel hidung sang cucu. Diki bertanya, "Mau kamu beri nama siapa dia nak?" Renata seolah terdiam memikirkan, ia lupa bahwa ia belum menyiapkan nama untuk sang anak. "Aku bingung, apa boleh Papah dan Mamah yang beri nama saja," ungkap Renata, Heti menatap sang putri dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan sesekali ia menatap sang suami yang kini tersenyum. "Lu boleh nyumbang juga," cetus Renata menatap sahabatnya. Ghea bertanya, "Wah serius?" dengan antusiasnya, Renata hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Waktu sangat cepat berlalu tak terasa memang terlebih jika sedang bersama orang-orang terkasih untuk melewatkan waktunya. "Nak Ghea makasih ya sudah menjadi sahabat Renata," ungkap Heti menatao Ghea dengan tulus. Ghea tersenyum tipis lalu berkata, "Sama-sama tante. Lagi juga Renata orangnya baik pantas kalau di jadikan sahabat ya walau sedikit menyusahkan." Renata yang mendengar langsung melotot tajam ke arah sahabatnya yang kini tertawa meledek. "Pasti kamu sulit ya nemenin ibu hamil dengan banyak ngidamnya," ujar Heti. "Enggak kok tan, enggak sama sekali," jawab Ghea tulus. Renata menatap ke arah sang ayah yang kini sibuk dengan handphone, sang mamah dan Ghea pun mengikuti arah pandang wanita tersebut. "Pah, sibuk apa si?" tanya Heti ke sang suami. Diki yang mendengar langsung menghentikan aktifitasnya dengan handphone, ia melihat ke arah ketiga wanita yang kini menatapnya. "Iya Om sibuk amad," cetus Ghea. "Ada pekerjaan mendadak ini," jawan Diki. Handphonenya kini ia kantongkan, ia berjalan ke arah sang istri dan putrinya. Renata bertanya, "Papah bolos kerja?" "Eng–" Heti menyela, "Iya Papah mu bolos kerja karena mau lihat cucunya." Diki hanya tersenyum tipis namun yang di katakan sang istri ada memang benar adanya. Renata menatap sendu ke arah sang papah. "Terima kasih ya Pah," ujar Renata. "Iya nak, mamah kamu ngada-ngada Papah emang mau libur kok enggak bolos kerja," balas Diki. Renata mengangguk sambil tersenyum tipis, ia sangat tahu sang papah akan mengelak jadi Renata hanya mengiyakan saja. Tak lama kemudian, kedua orang tuanya izin untuk pulang terlebih dahulu. Kini tinggal mereka berdua lagi, dua sahabat yang saling menemani dan melengkapi. "Ren, gue mau beli kopi dulu ya," ucap Ghea. "Nitip burger dong," ujar Renata. Ghea membalas, "Beef apa chicken?" Renata terdiam ketika mendapat dua pilihan. "Dua-duanya boleh gak?" tanya Renata. Ghea bertanya, "Eh emang boleh ya makan burger? Kan lu habis lahiran?" Renata hanya menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal sambil menghendikkan bahunya yang membuat Ghea menepuk jidatnya. "Ya udah si beliin aja, kalau enggak boleh entar lu yang di marahin," kata Renata. Ghea melotot tajam ke arah sang sahabat, apa ia bilang? Kalau enggak boleh dia yang bakal di marahin. "Enggak, enggak, enak aja lu! Lu yang makan gue yang kena omel," ketus Ghea. Renata jelas tertawa melihat raut wajah kesal bercampur cemberut dari sang sahabat. "Enggak Ghe, gue yang tanggung jawab," ujar Renata sambil menaikkan kedua alisnya Wanita dengan rambut sebahu dan poni ala korea tersebut hanya menghela nafasnya dengan kasar. "Ya udah gue beli dulu," ujar Ghea, Renata hanya mengangguk. Sang bayi tertidur di ranjang bayi yang di letakkan di samping ranjangnya. Renata tersenyum tipis melihat raut wajah sang bayi, ia tak menyangka kini ia berstatus menjadi seorang ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD