Part 1
Hena adalah wanita yang sederhana. ia melanjutkan strata satunya di salah satu universitas kecil di Jakarta, walaupun kampus yang kecil, tapi Hena bercita-cita menjadi designer yang terkenal.
Hena hanya memiliki Ibu serta adiknya Atom. Ibunya memiliki warung makan yang kecil di stasiun. Hena kuliah dengan hasil keringat ibunya yang menjual makanan di stasiun setiap hari, saat ini Hena sudah memasuki semester 7 dan sebentar lagi ia akan praktek menjahit.
Di depan stasiun, Hena membantu ibunya berjualan keliling, walaupun ibunya tak mengizinkannya untuk berjualan keliling, tapi Hena berniat membantu ibunya agar jualannya bisa cepat habis dan bisa kembali ke rumah beristirahat. Jika saja ia saat ini bekerja, tentu saja ia akan melarang keras ibunya untuk berjualan di usianya saat ini.
****
Setelah selesai berjualan, Hena mendapatkan telfon dari Disa untuk menemuinya di cafe dekat kampus.
"Bu, Hena ke kampus dulu, ya," tutur Hena, kepada sang Ibu yang kini sedang melayani beberapa pelanggan.
"Kamu langsung pulang saja, Nak. Tidak perlu kemari, lagian kuliah kamu lebih penting," kata Ibu Amanda.
"Iya, Bu!" Hena lalu mencium punggung tangan sang Ibu.
Hanya memakan waktu beberapa menit, Hena sampai di cafe dengan dandanan yang sangat biasa. Apalagi ia berkeringat karena harus berkeliling stasiun menjual makanan.
"Ada apa, Dis?" tanya Hena. Duduk di hadapan sahabatnya.
"Peni sama Mona ingin bertemu kita disini, ga tau mereka mau ngomong apa." jawab Disa.
"Kirain ada mata kuliah susulan, lo ngagetin gue aja tau ga, padahal gue lagi di stasiun bantuin nyokap." kesal Hena.
Di menit kemudian Mona dan Peni sudah sampai di cafe dengan penampilan yang begitu menarik. Mereka adalah orang kaya, tentu saja cara berpakaiannya akan mengikuti kekayaan orang tua mereka.
"Mereka pasti bakal pamerin barang mereka lagi." kata Hena.
"Sepertinya sih, tapi biarlah yang penting kita dapat makanan gratis." tutur Disa.
Mona dan Peni duduk dihadapan Hena dan Disa yang sedang menatap kedua sahabat mereka yang sangat sombong.
"Ada apa, Mon? Kenapa kalian memanggil kami kesini?" tanya Disa.
"Gue cuma mau traktir kalian kok, gue abis gajian." tutur Mona.
"Keren donk... Baiklah." kata Disa.
"Tapi, ada apa dengan penampilan lo, Hen? Lo bau banget, lo seperti abis berendem di air comberan tau ga," kekeh Peni.
"Bau? Ga ada yang bau kok dari Hena." sambung Disa membela sahabatnya.
"Maklum, Hena kan miskin, jadi ga usah di bahas." tutur Mona memperjelas.
"Oh, iya lupa." kata Peni.
Hena begitu marah kepada kedua sahabatnya yang selalu mengolok-ngoloknya dengan nada sombong yang tak bisa ia terima, mungkin kemarin-kemarin ia bisa menerimanya, tapi saat ini, ia benar-benar marah.
"Ada apa dengan tatapan lo, Hen?" tanya Mona.
"Sepertinya, Hena marah karena kita ngomong gitu tadi, sorry ya, Hen, kita bukannya mau ngehina lo, tapi penampilan lo beneran ga banget." kata Peni.
"Kalian makan saja sendirian, selera makan gue udah hilang." kata Hena beranjak dari duduknya dan keluar dari cafe.
"Kalian apaan sih, jangan gituin Hena mulu donk, kalau kalian manggil kami kemari hanya buat menghina Hena, mending gue ga usah datang deh." tutur Disa, lalu beranjak dari duduknya. Menyusul langkah kaki Hena yang kini menghilang bak di telan bumi.
Mona dan Peni mengangkat kedua bahu mereka karena tidak perduli.
****
Hena mengingat apa yang di katakan ibunya, agar dia tak ke stasiun lagi untuk membantu, jadi Hena memilih berjalan-jalan ke sungai untuk menghirup udara segar.
Sampai disana, Hena menangisi dirinya sendiri dengan duduk di tepian sungai.
Hena tak menyangka, jika Peni dan Mona selalu berusaha menjatuhkannya, tak di kampus dan tak di luar kampus.
"Ngapain lo duduk di sini?" tanya Disa.
"Disa? Ngapain lo ke sini?"
"Gue ga nyaman bareng mereka berdua, kebangetan banget mereka."
"Mereka 'kan emang gitu," kata Hena.
"Trus, lo ga lanjutin bantuin nyokap lo?"
"Ga deh, nyokap ngelarang gue ke stasiun soalnya di sana banyak preman yang sering ngegodain gue."
"Apa para preman itu ga kapok abis lo pukulin? Mereka ga ada kapoknya, ya,"
"Mereka mana bisa kapok."
"Iya, ya, wong mereka buta hati gitu."
"Husss... Ga baik ngomongin orang."
Disa tertawa pelan.
****
Enggar kini sedang di perjalanan menuju ke aula hotel di mana ia akan mengadakan acara pertunangannya dengan Cika yang sudah menjadi kekasihnya setahun belakangan ini.
Enggar dan Cika bergelut di bidang yang sama di perusahaan arsitektur dan beberapa anak cabang lainnya.
Enggar adalah CEO dimana perusahaannya begitu banyak di beberapa bidang pekerjaan yang berbeda dan Cika adalah salah satu direktur eksekutif di perusahaan yang di rintis oleh orang tua mereka.
Sebelum sampai di aula hotel, Enggar di culik oleh seseorang dan di pukuli sampai babak belur.
Enggar merasa dirinya akan jatuh, tak ada cahaya ketika dirinya di Pukuli Habis habisan. Tubuhnya melemah, seakan lututnya tidak bisa menumpuh beban berat tubuhnya.
Enggar harus bertunangan dengan Cika, tapi di dalam perjalanan ia mendapatkan masalah ketika ia harusnya ke aula hotel.
Enggar di Pukuli sampai babak belur dan di culik oleh beberapa preman.
Preman itu adalah suruhan saingan Enggar di perusahaannya yang mengincar posisi CEO, tapi Enggar pun tak tau siapa.
Jika, ia membiarkan Enggar menikahi Cika itu akan semakin membuat Enggar kuat dan memiliki posisi paling aman sebagai CEO.
Di aula hotel suasana begitu heboh karena sudah lewat 2 jam, tapi enggar belum juga hadir di aula, Cika merasa sangat gelisah karena para tamu sudah bertanya-tanya.
Ibu Cika datang dan memberikan kabar kepada putrinya tentang keadaan Enggar.
"Apa maksud, Mama? Ini kan hari pertunangan Cika dan juga Enggar, tak mungkin Enggar jatuh di bukit, Ma, ga mungkin."
"Tapi, Nak, mobilnya di temukan di sana, polisi sedang mencari jazadnya sekarang." kata sang Ibu.
"Apa?" Cika tak bisa menahan kesedihannya, ia melepas semua kalung serta ikatan rambutnya yang sejak tadi membuatnya begitu terlihat menawan dan berjalan menyusuri koridor.
Cika menangis dengan terseduh-seduh, ketika di hari bahagianya dan mimpinya bisa bertunangan dengan lelaki yang dicintainya, Cika harus berduka atas hilangannya Enggar.
****
Sudah hampir jam 9 malam, Hena sedang dalam perjalanan kembali kerumahnya, karena Hena sejak tadi di rumah Disa sahabatnya mengerjakan sebuah tugas kelompok.
Di dalam perjalanan tak sengaja Hena melihat mayat berbaju putih yang sedang mengapung di sungai.
Hena terkejut dan begitu takut, mayat siapa yang sedang mengapung dengan setelan jas warna putih. Kelihatannya bukan pria yang berasal dari kampung sini.
Apalagi suasana di jalan sudah sangat sepi, Hena pulang kerumah dan memanggil ibunya yang sedang menyiapkan jualannya untuk besok.
"Ibu, ada mayat di sungai." kata Hena.
"Apa? Mayat? Kenapa kamu tak memanggil warga?"
"Warga sudah pada tidur, Bu, Hena tak mau mengganggu mereka, kita tolongin yuk, Bu." tutur Hena menarik lengan Ibu Amanda dan kembali ke sungai.
Ibu Amanda begitu ragu, jika ia menyelamatkan mayat itu sendirian, tapi jika ia memanggil warga itu akan menjadi cerita dan gosip yang tak ada hentinya di kampung ini dan itu akan melelahkan.
Hena menyelam ke sungai dan menarik jas mayat lelaki itu ke tepian sungai dan ia membaringkannya di rerumputan.
"Ini mayatnya, Kak?" tanya Atom.
"Kamu jangan berisik, nanti tetangga dengar." kata Hena.
"Tapi, mayat ini begitu tampan dan sepertinya Atom pernah melihatnya."
"Dia masih hidup, Nak." kata Ibu Amanda.
"Apa? Masih hidup?" tanya Hena kepada ibunya sembari memegang nadi mayat itu dengan pelan dan ternyata nadinya masih berdenyut.
"Ayo, Bu, kita bawa ke rumah sakit." kata Hena sembari memboyong lelaki itu kerumah sakit.
Beberapa jam berlalu, Hena, Atom dan ibunya masih berada di rumah sakit menunggu lelaki itu yang kini sedang menjalani pemeriksaan.
"Apa kita harus lapor polisi, Bu?" tanya Hena.
"Ga perlu, Nak, setelah dia sadar kita bisa mengantarnya kembali kerumahnya, jika kita lapor polisi itu akan sangat merepotkan." kata Ibu Amanda.
"Apa kalian wali pasien?" tanya dokter.
"Iya, Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Hena.
"Pasien baik-baik saja." jawab Dokter.
"Alhamdulillah."
"Saya akan meresepkan obat setelah pasien bangun dan sadarkan diri, kalian bisa membawanya pulang." kata dokter sembari melangkahkan kakinya menuju ruangannya.
Hena, ibunya serta Atom masuk kedalam ruangan pemeriksaan untuk melihat keadaan lelaki yang tak mereka kenal sebelumnya.
"Bagaimana, Bu? Kita samperin aja? Atau, kita tinggalin aja? Dia kan baik-baik saja, Bu!" tutur Hena.
"Kamu jangan jadi orang yang tak bertanggung jawab gitu, Nak!" ujar Ibu Amanda.
"Baiklah, setelah itu kita pulang, Hena udah ngantuk, Bu."
"Kita harus menunggunya sadar dulu, Ndo." sambung Ibu Amanda.
"Orang ini ngerepotin banget sih."
Beberapa menit kemudian lelaki yang mereka tolong akhirnya sadar dan melihat ke 3 orang yang tak dikenalnya.
"Kalian siapa dan aku di mana?" tanya lelaki itu.
"Kami menemukanmu di sungai dan kami menolongmu kemari, kamu bisa pulang setelah membayar biaya rumah sakit." ujar Hena.
"Aku siapa? Aku memangnya harus pulang kemana?" tanya lelaki yang di tolongnya.
"Kamu jangan becanda deh, kami juga harus pulang." kesal Hena.
"Aku siapa? Maksud kamu?"
"Bagaimana ini, Bu? Apa kepalanya kecedot pintu?"
"Tenanglah, Nak, Ibu sedang berpikir."
Hena mendengus kesal, jika saja ia bisa melempar lelaki ini kembali ke sungai, mungkin bisa ia lakukan, karena sangat merepotkan mengurusnya.