"Tidak, kami sudah ajukan waktu dan mereka memberi waktu 2 bulan." Bu Ajeng tampak panik saat ini.
Arron tersenyum tipis, sebelumnya, dia memang berniat mengakuisisi Perusahaan itu. Kemudian, Arron memberi kode pada pengacaranya.
"Klien saya sudah membeli 30 persen saham Perusahaan suami anda 1 tahun yang lalu, di saat yang sama, suami Anda meminjam dana, untuk pengembangan usahanya pada klien saya, dengan menjaminkan aset miliknya, dan ini sudah jatuh tempo, bahwan lewat 6 bulan seperti yang dijanjikan."
Arron hanya tersenyum tipis. Niat awalnya, dari hutang itu, dia akan mengakuisisi Perusahaan itu dan mengambil kendali penuh atas Perusahaan Baron meski Baron masih menjadi pemilik perusahaannya itu.
Namun, karena Baron meninggal dunia, maka itu lebih baik, dia bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi. Perusahaan itu akan sepenuhnya berpindah kepemilikan menjadi miliknya.
"Tidak bisa seperti itu, kami pasti akan bayar, tolong beri kami waktu, 2 bulan." Bu Ajeng menatap pada ketiga madunya.
"Bagaimana caranya? Cari pinjaman di Bank? Apa jaminannya? Dia?" Arron menunjuk pada Jesyca.
"Nama suamimu sudah di blacklist oleh pihak Bank, karena itulah dia meminjam pada Klien kami, dan saham kalian sudah turun sejak semalam, jadi kalian tidak bisa melakukan apapun selain menyerah," ujar si Pengacara.
Bu Ajeng langsung terduduk lemas. Dia benar-bebar bingung saat ini, dia sudah melakukan berbagai usaha. Dia bahkan baru mengetahui hutang-hutang suaminya, saat jenazah sang suami berangkat ke liang lahat. Karena itulah, dia dan kedua madunya tidak ikut mengantarkan kepergian suaminya itu.
"Gimana nih?" tanya Risa.
"Gak tau, yang penting aku gak mau miskin."
"Semua gara-gara dia kabur," kesal Risa yang langsung menghampiri Jesyca dan menamparnya.
"Kau, semua gara-gara kau kabur semalam!" ujar Risa pada Jesyca yang tengah memegang pipinya.
Jesyca pun menahan geramnya, lalu dia membalas satu tamparan Risa padanya. "Aku akan tuntut kalian semua, pertama, pernikahan paksa yang kalian lakukan padaku, kedua, kalian mau menjualku, aku gak akan tinggal diam!" ujarnya.
Mendengar itu, Arron tersenyum tipis. Perlawanan Jesyca, menandakan bahwa wanita itu tak mudah ditindas, sungguh berbeda dari sikap wanita itu sebelumnya.
"Kalian urus semuanya," ujar Arron pada ketiga orangnya, lalu dia menghampiri Jesyca. "kita pergi!" ajaknya.
"Ah iya."
Jesyca menghela napasnya, dia melihat ke arah ketiga istri Pak Baron yang lainnya, lalu dengan yakin, dia pun pergi meninggalkan mereka untuk mengikuti Arron.
"Sejak kapan kau tahu kalau aku istrinya Pak Baron?" tanya Jesyca setelah mereka keluar dari rumah Pak Baron.
"Tunggu, kenapa kau tidak bicara formal lagi denganku?" tanya Arron.
"Ck, setelah aku pikir-pikir, aku kan belum resmi bekerja denganmu, jadi bicara seperti ini lebih nyaman."
Arron hanya menghela napasnya. Dia bersiap masuk ke dalam mobilnya sebelum Jesyca menahan lengannya.
"Katakan dulu, sejak kapan kau tahu soal Pak Baron dan aku?" tanya Jesyca lagi.
Jesyca langsung menepis tangan Jesyca dari lengannya, dia tak suka sembarangan disentuh. "Kau lupa, kau yang menyebut namanya, setelah itu, aku langsung cari tahu, jika tidak ... mana mungkin aku percaya denganmu," jawab Arron yang kemudian masuk ke dalam mobilnya.
Jesyca pun berdecak, kemudian dia menyusul Arron masuk ke dalam mobil yang sama dengan pria itu.
"Hei, kenapa kau duduk di sini?" protes Arron karena Jesyca duduk di sampingnya. "duduk di depan!" perintahnya.
"Ck, kita perlu bicara!" ujar Jesyca yang kemudian menyuruh sopir untuk menjalankan mobilnya.
Mendapati Jesyca yang bersih keras, Arron menyerah, dia enggan berdebat, lalu memilih menggeser duduknya ke tepi.
"Katakan, apa benar dia berhutang padamu?" tanya Jesyca.
"Kau kira aku bohong?" tanya balik Arron.
"Pantas kau mau menolongku, ada udang di balik batu," gerutu Jesyca.
"Kalau kau tak mau bekerja padaku, bebas saja, kau turun dan kembali ke rumah itu!" ujar Arron.
"Apa, tidak-tidak, em aku mau bekerja denganmu!" Jesyca menghela napasnya, dia tak mau kehilangan kesempatan pekerjaan bagus di Aksara Global.
"Kita mau ke mana?" tanya Jesyca kemudian.
"Ke hotel lagi, kita ke Jakarta!"
"Jakarta?" tanya Jesyca tampak begitu terkejut.
"Ya, Perusahaanku di sana!"
Jesyca menatap penuh binar pada Arron, impian pertamanya adalah ke Jakarta, dari sana, dia juga bisa memulai mencari keluarga Papa Dimas.
***
Jesyca menatap penuh semangat pada ramainya Bandara Ibu kota. Akhirnya, dia menginjakan kakinya kembali di kota itu setelah 15 tahun.
"Aku kembali," gumamnya.
Jesyca tersenyum, dia menatap ke sekelilingnya dan dia langsung panik saat melihat Arron sudah berjalan cukup jauh darinya.
"Tunggu!" serunya.
Arron terus berjalan, sampai dia berada di Parkiran, pria itu langsung masuk ke dalam mobilnya.
Melihat itu, Jesyca panik dan dia bergegas berlari, lalu masuk ke dalam mobil milik Arron. "Kenapa jalanmu cepat sekali?" tanya Jesyca kesal, napas wanita itu masih begitu cepat.
"Kau yang lelet, kau harus melatih cara jalanmu, aku butuh asisten pribadi yang cepat geraknya."
Jesyca berdecak, lalu dia melihat ke sekelilingnya. Sebuah mobil mewah yang waktu itu jadi pembicaraan karena dimiliki seorang anak pejabat.
"Apa ini yang namanya mobil robocon?" tanya Jesyca.
"Apa itu robocon?" tanya Arron tak mengerti.
"Gak boleh sebut merek kalau gak diendors," ucap Jesyca.
Arron hanya menggelengkan kepalanya, lalu dia mulai menjalankan mobilnya.
"Kau tidak pakai sopir?" tanya Jesyca.
"Kadang-kadang," jawab Arron.
"Oh ya, ini udah malam, kira-kira aku harus ke mana?" tanya Jesyca. "aku gak mungkin bisa cari kosan di jam segini."
"Aku juga gak ada kenalan di sini, maksudnya ada, tapi aku lupa." Jesyca menghela napasnya panjang.
"Kau pernah tinggal di sini?" tanya Arron.
"Hm, saat kecil aku di sini, sampai ...." Jesyca tak lagi melanjutkan kata-katanya, wajahnya langsung berubah sedih saat teringat dengan kehidupannya di masa lalu bersama dengan keluarga Papa Dimas, dan juga teman-teman masa kecilnya, terutama Farel.
Sementara Arron menyadari perubahan wajah dari Jesyca yang kembali tampak sendu membuat dia merasa jika wanita itu memiliki masa lalu yang pahit.
"Untuk sementara, kau tinggal denganku, kau harus pahami segala kebiasaanku dan segala tugas-tugasmu!" ujar Arron mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kau dengar?" tanya pria itu sekali lagi.
"Ah ya, tentu saja, aku mendengarnya. Aku akan belajar dengan cepat, percaya deh, kamu pasti nggak akan menyesal punya asisten pribadi sepertiku," ucap Jesyca.
Arron tersenyum tipis, dalam hatinya dia berbicara, 'Jika kau bisa bertahan hidup satu hingga tiga bulan menjadi asisten pribadiku, maka aku akui, kau cukup kompeten!'
Tidak lama kemudian, mobil Arron berhenti di sebuah basement sebuah apartemen, pria itu langsung melepaskan sabuk pengamannya dan tanpa mengetakan apapun, Arron segera turun dari mobilnya.
Sementara Jesyca langsung paham, jika Bosnya itu tidak banyak bicara, tapi menuntutnya untuk mengerti segala tindakan pria itu. Wanita itu pun segera turun dari mobil mengikuti Arron masuk ke dalam Apartemennya.
Di dalam lift, Jesyca sekali-kali melirik pada Arron, pria itu tampak begitu tampan dengan garis rahang yang tegas, bukan hanya itu, sorot mata pria itu juga begitu membidik lawannya, tajam sekali.
"Tunggu."
Jesyca begitu panik saat melihat Arron keluar dari lift. Sepertinya dia terlalu banyak berpikir, sehingga tidak menyadari jika lift sudah terbuka. Dengan langkah kaki cepat, dia langsung menyusul sang Bos, hingga sampailah pria itu memasuki sebuah unit apartemen yang baru saja dibuka pintu olehnya.
Jesyca memasuki unit apartemen itu penuh kekaguman, desain interiornya begitu mewah. 'Keren,' batinnya.
"Aku mau istirahat, kamarmu ada di sana!" Arron menunjuk sebuah pintu kamar di dekat dapur.
"Ah ya," ucap Jesyca.
"Dengar, malam ini, aku akan langsung tidur, kau silakan istirahat, yang penting, besok pagi kau siapkan roti bakar untukku, tanpa selai, dan segelas jus buah, apa saja, tanpa gula!" ujar Arron.
"Apa, em maaf apa itu artinya aku mulai bekerja besok?" tanya Jesyca.
Lagi-lagi Arron tak menjawab, pria itu langsung berlalu meninggalkan Jesyca masuk ke dalam kamarnya yang berada di samping ruang tengah Apartemen itu.
Melihat bagaimana sikap Arron, Jesyca pun menghela napasnya panjang. "Sepertinya aku harus bersabar menghadapi Bos seperti dia," gumam Jesyca sebelum wanita itu melanjutkan untuk memindai seluruh apartemen.
Sementara itu dalam kamarnya, Arron berdiri di depan cermin washtafel kamar mandinya, pria itu kembali memikirkan keputusannya untuk merekrut Jesyca menjadi asisten pribadinya.
"Apa dia berkepribadian ganda?" gumam Arron penasaran. Bagaimana sikap Jesyca yang kadang terlihat sedih, namun dalam sekejap wanita itu terlihat seperti tidak punya beban hidup.
Hingga kemudian, sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya, pria itu langsung melihat pada ponselnya.
Mata Arron langsung membulat, dia juga berdecak kesal. "Ck, apa dia punya mata-mata?"