Bima adalah putra Mama Elvi satu-satunya, dia kakak tiri Jesyca yang kurang menyukainya sejak dahulu.
"Lebih baik kamu pergi dari sini!"
Jesyca tahu, Bima memang tak menyukainya sejak awal, Bima yang sudah remaja waktu itu memang tak menyetujui pernikahan Mama Elvi dan Ayah Alvian dulu.
"Tapi Bang ...." Jesyca menatap ragu pada jendela di depannya.
Jendela kamarnya ditralis, tentu tak akan mudah melepas tralis itu, dan posisi kamarnya berada di lantai dua dengan tepian yang sedikit menjorok ke luar karena sebelumnya kamar itu hanya sebuah rooftop yang dirubah menjadi kamar untuk Jesyca setelah pernikahan Ayah Alvian dan Mama Elvi dulu.
Bima berdecak kesal. "Itu gampang," ujar Bima. "tralis ini aku yang memasang minggu lalu, kau ganti baju saja, ini urusanku," tunjuk Bima sambil menunjukan sebuah obeng pada Chika. "cepat, jangan pakai lama mikirnya, mau kamu nikah sama tua bangka itu?"
Dengan cepat Jesyca mengangguk, kemudian berniat menutup kembali jendelanya sebelum Bima mencegahnya.
"Mau apa?" tanya Bima dengan nada kesalnya.
Dengan pipi merona, Jesyca menjawab ragu, "Mau, em mau ganti baju Bang."
Bima menggelengkan kepalanya. "Lama, aku mau buka ini, kau langsung ganti bajumu dan kemasi barangmu," ujar Bima yang mulai mencopot tralis besi di depannya.
"Cepat, jangan melamun, susah ini berdiri di sini." Bima menoleh ke bawah, takut ada yang memergokinya.
"Tapi Bang," ujar Jesyca ragu-ragu.
"Kau pakai dalaman, kan?" tanya Bima. "sudah sana, tenang saja, aku tak akan melihatmu." Pria itu menunduk dan berusaha fokus dengan pekerjaannya.
"Ck, jangan kelamaan mikir, satu jam lagi, rombongan tua bangka itu akan datang, atau kau mau menikah dengannya, menjadi istri ke empatnya?" tanya Bima.
"Nggak Bang."
Kemudian, akhirnya Jesyca mengangguk, lalu mulai mengemasi beberapa pakaiannya, dompet dan paling penting ijazahnya.
Setelah semua masuk ke dalam tas, dia langsung mengganti pakaiannya tak peduli dengan keberadaan Bima di belakangnya, dia hanya mengganti pakaian yang dikenakan olehnya, dengan sebuah celana jins panjang dan juga kaos dan jaket.
Saat sedang berganti pakaian Jesyca mendengar Bima menggeram dan mengumpat. "Sial," ujar pria itu membuat Jesyca merasa serba salah.
"Sudah Bang," ujar Jesyca setelah selesai berganti pakaian.
Bima mengangguk, lalu mengangkat teralis jendela kamar itu yang sudah selesai berhasil dia lepas. "Ah berat juga, bantu aku!" ujarnya.
"Iya Bang," jawab Jesyca.
"Ya sudah, ayo turun!"
Jesyca langsung melihat ragu ke luar jendela, dan juga ke bawah. "Tinggi banget Bang, Jesy takut."
Bima menghela nafasnya dengan kasar. "Keluar dulu, nanti aku pegang, cepatlah, keburu ketahuan!" Bima mulai kehabisan kesabarannya.
Ragu-ragu Jesyca mengangguk, lalu segera memberanikan diri keluar dari jendela kamar yang cukup tinggi itu, dengan berpegangan tangan pada Bima, gadis itu turun dari lantai dua rumah ibu tirinya dengan menyusuri tepian dinding dan turun dari pagar pembatas.
"Ayo lompat nanti aku tangkap!" ujar Bima meyakinkan Jesyca yang mungkin terlihat ragu untuk turun.
"Iya Bang." Kemudian, gadis itu pun segera melompat ke bawah.
"Happp ...." Jesyca memejamkan matanya begitu kencang, sesaat kemudian dia membuka kembali matanya dan dia langsung terdiam karena tatapannya bertemu dengan tatapan seseorang di bawahnya.
"Cepat bangun, berat ...," ujar Bima.
"Maaf Bang." Jesyca kemudian bangkit, dan mengambil tas jinjing miliknya begitupun dengan Bima.
"Ayo kabur dari kebun belakang, motorku di sana."
"Tapi Bang," ujar Jesyca ragu, dia kembali melihat ke arah kamarnya.
"Ck ... kamu mau nikah?" tanya Bima dengan nada kesalnya.
"Nggak tapi kenapa Abang mau nolongin Jesy?Abang kan benci sama Chika."
"Gak penting, yang penting sekarang kamu mau bebas gak?"
Jesyca langsung mengangguk. "Iya Bang, mau!" jawabnya.
Kemudian, gadis itu menerima uluran tangan Bima dan mereka pun lari dari tempat itu.
***
"Bang capek," ujar Jesyca sambil menyeka peluhnya, dia merasa sudah cukup jauh berlari menyusuri hutan.
"Ck ... baru juga sebentar, keburu mereka sadar kamu kabur, ayo cepat!"
Jecyca langsung melihat ke belakangnya yang dia pikir sudah cukup jauh. "Aku benar-benar capek Bang, di mana motor Abang?"
"Di ujung hutan sana, ayo!"
Bima menghela nafasnya, dia pikir, adik tirinya benar-benar kelelahan, "Ayo naik!" ujarnya.
Jesyca mengerutkan keningnya, gadis itu kemudian menatap punggung pria yang kini membungkuk di depannya.
"Cepat naik, kita gak boleh membuang waktu."
Jesyca masih menatap bingung pada punggung laki-laki di depannya, meski dia menganggap laki-laki itu kakaknya, tetap saja mereka bukan saudara kandung dan sudah sama-sama dewasa, di gendong, artinya dia harus memeluk pria itu dan dia malu, belum pernah sedekat itu dengan pria manapun.
"Kamu tuh lelet banget sih, cepat naik atau kamu mau tertangkap hah!"
"Kamu mau dipaksa nikah sama kakek-kakek dan jadi istri ke empatnya?" Bima benar-benar mulai kehabisan stok sabarnya.
Mata Jesyca langsung membulat, dan akhirnya meski ragu, dia kemudian naik ke punggung Bima.
"Berat Bang?" tanya Jesyca, namun tak dijawab oleh Bima.
"Kenapa Abang mau menolongku? Abang kan benci sama aku?"
Lagi-lagi Jesyca hanya bisa menghela napasnya. Bima, pria itu tetap diam. "Dulu saat kita baru pernah ketemu, aku seneng banget, akhirnya aku punya seorang kakak."
"Tapi Bang Bima jarang ngomong, terus kalau aku dekati, Abang langsung pergi."
Lama dalam gendongan Bima, lama-lama mata Jesyca terasa berat, hingga perlahan gadis itu menutup kedua matanya.
Flashback on
Saat itu Jesyca melihat ada seorang laki-laki bermata abu-abu dengan rambut hitamnya tampak sedang menikmati secangkir kopi dan membaca koran di meja makan, dia Papa Dimas, Papa Jesyca di masa lalu.
Tak lama kemudian, datang seorang anak kecil laki-laki yang mirip sekali dengan Papa Dimas dia Jason.
"Papa main bola yuk," ujar anak kecil laki-laki itu, Jason.
"Nanti ya Jason, Papa mau ke kantor."
Lalu ada seorang wanita cantik yang menggendong balita cantik yang lagi-lagi mirip Papa Dimas, dia Mama Difa dan adik kecil Jason, Difia.
"Ayo Pa main," rengek Jason lagi.
"Sayang main sama Kak Chika aja tuh," ujar Mama Difa sambil menunjuk ke arah Jesyca, begitupun Jason yang menatap Jesyca dengan alis yang bertaut.
"Itu bukan Kak Chika, Kak Chika tidak pernah menangis seperti itu."
Lalu Jesyca melihat mereka semua beranjak pergi, Jesyca pun bangkit dari duduknya dan mengejar mereka.
"Papa, Mama, Jason jangan tinggalkan Chika, Papa, Chika ikut Papa, papa ...."
Flashback off.
"Papaaa ...."
"Jesy, hei bangun!"
Jesyca membuka matanya, rupanya hanya mimpi, mimpi yang sama seperti biasanya.
"Turun Bang!" ujar Jesyca, meminta turun dari gendongan Bima.
"Kau tak apa? Sebenarnya kau ini kenapa, setiap tidur sering seperti ini memanggil Papa, Papa siapa? Bukankah kau memanggil si benalu itu Ayah?"
Mendengar pertanyaan Bima, Jesyca lebih memilih diam, lalu dia melihat ke sekelilingnya, sepertinya masih di hutan.
"Kapan sampainya Bang?"
"Itu di bawah tinggal turun, kalau mereka mengejar lewat jalan setidaknya butuh 1 jam sampai sini, ayo turun!"
Jesyca pun mengangguk, lalu kembali mengikuti Bima. Sejujurnya ini adalah interaksi terpanjang selama mereka kenal 10 tahun lalu.
"Itu motornya!" tunjuk Bima pada sebuah motor bebek yang biasa dipakai pegawai perkebunan. Bima memang bekerja di perkebunan, itu yang Jesyca tahu terakhir kali.
"Ayo cepat naik ke motor, mereka pasti sudah sadar akan kepergianmu."
Tanpa pikir panjang Jesyca langsung mengangguk, kemudian naik ke motor bebek milik Bima.
"Kita mau kemana Bang?"