Pagi harinya Jesyca hanya bisa duduk di pojokan, bingung tentang apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia hanya bisa menatap pada sekumpulan orang yang masih mengelilingi jenazah Pak Baron dengan tangis yang entah tulus atau tidak, dia tak tahu itu.
Tuduhan pembunuh, terus dilayangkan oleh kedua istri lain Pak Baron padanya, dia hanya diam tak menjawab, membiarkan mereka bicara sesuka hati mereka.
Sejujurnya, dia benar-benar merasa bingung saat ini, beruntung hasil pemeriksaan Polisi menyatakan jika Pak Baron meninggal karena serangan jantung, bahkan tak ada ditemukan sidik jarinya pada tubuh pria tua itu, karena Jesyca benar-benar tidak menyentuh Pak Baron sedikitpun.
Akhirnya setelah segala persiapan selesai, jenazah Pak Baron dibawa oleh orang-orang menuju pemakaman di kampung itu, Jesyca pun turut serta mengantar jenazah pria yang hanya beberapa menit menjadi suaminya itu.
Namun Jesyca sedikit heran karena ke tiga istri Pak Baron yang tadi menangis di depan jenazah suaminya, tak ada yang ikut mengantar kepergian jenazah suami mereka ke liang lahat. Hanya ada dia dan para asisten rumah tangga dan beberapa warga yang mengantar hingga ke pemakaman.
Beberapa saat kemudian, pemakaman telah usai, Jesyca masih menatap gundukan tanah merah di depannya, semoga Tuhan melapangkan kubur bagi Pak Baron, begitu doa Jesyca untuk pria yang beberapa menit menjadi suaminya.
"Ayo pulang Non," ajak seorang asisten rumah tangga Pak Baron.
"Iya Bi."
Tiba di rumah besar Pak Baron, Jesyca menghentikan langkah kakinya yang baru saja naik ke teras, saat tiba-tiba tas jinjing miliknya dilempar ke arahnya.
"Pergi, dasar perempuan pembawa sial!" umpat seorang istri Pak Baron yang termuda dari pada dua yang lainnya, mungkin dia istri ketiga Pak Baron, begitu pikir Jesyca.
"Apa-apaan Risa!" ujar seorang wanita yang lebih tua, kalau dia, Jesyca tahu, dia istri pertama Pak Baron yang bernama Ajeng.
Bu Ajeng, seorang wanita lebih tua dari Mama Elvi, dia menghampiri Jesyca dan memapah bahunya. "Kamu tidak boleh seperti itu, Risa!" ujarnya membuat Jesyca heran dengan sikap Bu Ajeng.
"Bagaimanapun dia adik madu kita, rumah ini juga rumahnya, sama seperti dulu aku menerimamu dan Sista, kalian juga harus menerima dia!"
Jesyca menggigit bibirnya, dia benar-benar tidak menyangka jika istri pertama dari Pak Baron ternyata begitu baik.
"Ayo masuk Jesy, istirahat di dalam, kamu pasti juga syok dengan kepergian suamimu."
Jesyca tak menjawab, tapi langkah kakinya mengikuti ke mana Bu Ajeng membawanya masuk ke dalam rumah. Hingga tiba di sebuah kamar. "Kamu, istirahat saja dulu, mau bagaimana kamu nanti, kita bicarakan nanti malam," ujar Bu Ajeng.
"Terima kasih Bu, Bu Ajeng ternyata begitu baik," ucap Jesyca.
Bu Ajeng tersenyum begitu lembut, lalu mengusap bahu dari Jesyca. "Andai putriku masih hidup, pasti dia seusiamu," ucapnya.
Jesyca mengerutkan keningnya. "Bu Ajeng dan Pak Baron punya anak?" tanya Jesyca. "maaf, setahu aku kalau Pak Baron tidak memiliki anak dari ketiga istrinya."
"Putriku, bukan Pak Baron," jawab Bu Ajeng.
"Oh." Hanya itu respon dari Jesyca.
"Ya sudah kamu istirahat saja, tidak perlu dipikirkan bagaimana sikap dari Risa dan Sista, mereka di bawah kendaliku!"
Jesyca pun menganggukkan kepalanya, lalu sekali lagi dia mengucapkan terima kasih pada Bu Ajeng yang kemudian pergi meninggalkannya seorang diri di kamar yang asing baginya.
"Ya Allah, sekarang apa yang harus aku rencanakan untuk kelanjutan hidupku, aku sudah menjadi seorang janda, apakah statusku nanti tidak menyulitkanku mencari pekerjaan?" gumam Jesyca.
***
Pada malam harinya, seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu kamar Jesyca, dia pun langsung membuka pintu itu.
"Permisi Non, kata Bu Ajeng, Non diminta untuk makan malam," ujar asisten rumah tangga itu.
Jesyca pun menganggukan kepalanya, dia ingin pergi dari rumah itu, tetapi rasanya tidak enak jika dia pergi di saat baru saja Pak Baron yang telah menjadi suaminya meski hanya sebentar itu meninggal dunia, dia akan menunggu waktu yang tepat untuk pamit kepada ketiga istri mendiang suaminya.
Tiba di ruang makan, ada cukup banyak makanan yang tersaji di atas meja makan. Jesyca merasa heran, kenapa bisa seorang istri yang baru saja ditinggal meninggal oleh suaminya, makan dengan menu yang begitu banyak dan terbilang cukup mewah.
"Ayo makan Jesy, tidak perlu sungkan!" ujar Bu Ajeng.
Jesyca pun ragu-ragu duduk diantara ketiga istri Pak Baron, dia belum melakukan gerakan apapun, masih menatap pada banyaknya menu di atas meja makan.
"Kenapa? Heran dengan makanan-makanan enak ini? Tidak pernah makan makanan seperti ini?" tanya Risa yang sejak tadi begitu jutek pada Jesyca.
"Ya iyalah Risa, dia kan orang miskin, mana pernah makan makanan seperti ini?" sahut Sista, istri kedua Pak Baron.
"Sudah, sudah! Bisa tidak kalian diam, tidak perlu mencela seperti itu! Ini meja makan, kalian tidak ingat pertama kali kalian datang ke rumah ini, sama sepertinya, berasal dari keluarga miskin!" ujar Bu Ajeng dengan kesal membuat Risa dan Sista tak kalah kesal dari kakak madu mereka.
Sementara Jesyca hanya menunduk, merasa tidak enak karena kedatangannya menyebabkan pertengkaran diantara ketiga istri Pak Baron itu.
Risa pun dengan kesal langsung berdiri. "Aku kenyang," ujarnya, kemudian pergi meninggalkan meja makan begitupun dengan Sista yang melakukan hal sama seperti adik madunya.
Bu Ajeng lalu menatap tidak enak pada Jesyca. "Maafkan mereka ya," ucap Bu Ajeng.
"Iya Bu tidak apa-apa," jawab Jesyca.
"Ya sudah, kamu makan, meski sedih, kita tetap harus hidup!"
"Iya Bu," ucap Jesyca.
Tidak lama kemudian, Bu Ajeng pun pergi meninggalkan Jesyca di meja makan, sementara Jesyca dia benar-benar tidak selera dengan banyaknya makanan lezat di depannya, pikirannya masih begitu kalut dengan apa yang terjadi pada dirinya hingga dia berada di rumah itu saat ini.
Jesyca menghela napasnya panjang, dia harus pamit malam ini juga pada Bu Ajeng dan juga yang lainnya.
"Aku harus pamit malam ini saja, besok pagi, supaya aku bisa pergi sebelum mereka bangun," gumam Jesyca.
Namun, begitu dia berniat untuk bangkit dari duduknya, tiba-tiba kepalanya terasa pusing, hingga pandangannya mulai kabur.
"Kenapa aku?" gumam Jesyca yang merasa tidak beres dengan tubuhnya, dia bingung karena sebelumnya dia merasa baik-baik saja.
Tak bisa lagi menahan pusing di kepalanya, dia pun terjatuh ke lantai setelah pandangan matanya menggelap.
Dan saat itu, ketiga istri Pak Baron menghampirinya. Bu Ajeng langsung berjongkok dan memeriksa keadaan Jesyca.
"Bagaimana Mbak?" tanya Risa.
"Ya, dia pingsan," jawab Bu Ajeng.
Sista dan Risa pun tersenyum puas. "Bagus, sekarang tugas kita, kan?"
Kemudian, Sista memanggil seorang security rumah itu. "Bawa dia ke mobil!" perintahnya.
"Baik Bu," jawab si security itu yang langsung menggendong Jesyca dan membawanya ke mobil yang sudah di siapkan.
"Ingat, lakukan dengan bersih!" ujar Bu Ajeng.