10. Pesta Topeng

1848 Words
"Gala, kamu yakin mau cerai?" Dulu. 21 tahun usia Galaksi waktu itu. Dia datang kepada Mami Rana dan memberitahukan apa keputusannya, tanpa menceritakan bagaimana kehidupan rumah tangganya. "Gal, dalam pernikahan itu wajar yang namanya berantem. Wajar kalau salah satu dari kalian bikin kesalahan, dan ...." Tak berlanjut sebab papi datang, meminta Galaksi untuk bicara empat mata dengan beliau. Ya, dulu. Tentang pernikahan, Galaksi pernah gagal. Namun, dia tidak menyesal telah menyudahi sebuah hubungan yang sakral. Hanya saja .... "Maaf kalau kelihatannya seperti itu." Translate: Seperti orang gagal move on. Hari ini. Ancala berbaik hati untuk tetap tinggal di apartemen yang katanya Galaksi mau beres-beres. Mau menjual apartemen ini juga. Dan yang dibenahi adalah barang Galaksi selama dia menduda di sini, sedangkan barang bawanya saat bersama Bu Sally dulu, konon sudah dienyahkan semua, hanya barang Bu Sally saja yang apik tersimpan di sana sejak pernikahan mereka masih anget-angetnya. "Kalau dulu, sekitar empat tahunan setelah bercerai ... saya masih suka." Digenggamnya tangan Ancala. "Ke sini-sini, saya kasihan ...." "Makanya tempat ini jadi penampungan barang mantan?" sarkas Ancala. Agak sinis auranya. Genggaman itu Galaksi eratkan. "Ya." Ancala menelisik, jujur atau tidak laki-laki itu. Namun, Ancala bahkan tidak mengenal seorang Galaksi bagaimana jika dia sedang jujur atau berbohong. Dihelanya napas berat. Ditatapnya genggaman tangan di atas pangkuan. Di samping Ancala duduk sudah ada tas dan koper besar yang berisi barang-barang Galaksi. Sementara tas kecil di sisi Ancala yang lain .... "Aku pernah buang barang-barang itu, tapi kenapa Bapak simpan sebaik ini?" Ah, iya. Barang Ancala. Tatapan Galaksi pun beralih ke sana. "Karena kamu nggak benar-benar ingin membuangnya." Ancala terdiam. "Sok tau," cebiknya, melengos. Galaksi senyum. "Jangan dibuang." Dia mendekat dan itu membuat Ancala kembali memandangnya, dengan tangan yang masih erat digenggam. "Saya beli itu sambil mikirin kamu." Yeah, dulu. Ancala menggigit bibir bagian dalamnya. Tentang dia dan Galaksi .... *** Tertanda, Ancala di usia 17 tahun, dulu. "Papa, Cala nggak mau ikut." "Lho, terus Cala tega biarin Papa datang sendirian ke pesta kantor kita, Sayang?" Bibir Ancala mengerucut. Well, mama memang sudah tiada, dan papa amat setia hingga sejak menduda di usia yang bisa dibilang masih muda itu enggan menikah lagi. Ancala pernah memotivasi papa agar setidaknya punya gandengan buat diajak ke pesta macam ini, supaya tidak mengganggu Ancala yang sudah puber. Dia itu malu kalau mengekor papa terus, dikira 'anak papa' nanti di sekolahnya--kata lain dari anak mami. Ancala juga sudah mulai punya kehidupannya sendiri, dan itu sangat menyenangkan baginya yang 17 belas tahun, meski teman-teman Ancala tidak banyak, tetapi dia punya schedule-nya sendiri untuk diri sendiri. "Cala ... ayo, toh di sana Cala bisa main nanti." "Main? Apanya yang main? Di pesta itu, kan, pasti nggak ada anak seumuran aku. Udah gitu, nggak kenal juga." "Tapi konsepnya pesta topeng, lho. Nggak kenal juga bisa jadi akrab, kan, kalau ada topengnya? Kapan lagi Papa ngizinin Cala datang ke pesta-pesta orang dewasa kayak gini, hm?" Meski sebetulnya, pesta yang disebut adalah perayaan ulang tahun Bumantara Group. Di mana saat tim pusat memberikan kebebasan berpendapat kepada bawahannya, kebanyakan karyawan memberi masukan tentang konsep pesta topeng. Diundi mana yang paling banyak vote-nya, maka papa Ancala selaku pendiri pun membubuhkan tanda tangan persetujuan. So, digelarlah pesta topeng itu hari ini. "Ya udah, Cala ganti baju dulu." Masih dengan bibir mengerucut. Sementara papanya tersenyum. "Pakai yang Papa belikan, Sayang. Ada di ranjang." "Oh, jadi itu dari Papa?" Baiklah. Ancala melenggang. Dulu. Di kamar, berbagai paper bag telah tersaji. Ancala sudah lihat itu, tetapi dia letakkan lagi di sana setelah mengetahui apa isinya, Ancala mencari papa yang kebetulan juga sedang ingin menemuinya. Eh, papa tiba-tiba mengajak Ancala datang ke pesta Bumantara. Well, gaunnya lengan panjang, kalian jangan berharap Ancala diizinkan memakai mini dress. Meski demikian, tetap elegan dan tampak jenis gaun yang pas untuk usianya. Putih. Sebagaimana topengnya di sana, putih juga. Ada kotak sepatu yang Ancala simpan isinya, dia kurang suka karena modelnya flatshoes. Ancala ganti dengan sepatu hak tinggi yang dia sukai sebab dengan sepatu itu, Ancala jadi terlihat lebih dewasa. Warnanya nude. Oke, Ancala memoles wajah. Dia pandai ber-make up walau tidak semahir para MUA. Setidaknya, Ancala bisa. Terakhir, topeng yang tadi, Ancala kenakan saat ini. Oh, ya, rambut Ancala digelung dan membiarkan area tengkuknya terlihat. Sederhana saja. Dengan sisa sekian helai di area pelipis mempermanis. Done! Ancala pun meraih tas pemberian papa yang kebetulan sewarna dengan sepatu hak tingginya. "Masya Allah, Nak ... cantik betul. Apa kita nge-date aja, ya, berdua?" Malu-malu baper, Ancala mencubit manja lengan papanya. "Papa bisa aja." Terkekeh, Bumantara pun menggandeng putrinya, lalu dipersilakan masuk ke mobil yang telah ditunggui oleh sang sopir. Ya, hari itu .... 17 tahun usia Ancala, pesta topeng pertamanya. Saat papa menaiki panggung berpodium, lalu Ancala diperkenalkan, bahwasanya .... "Kali ini saya tidak datang sendiri, ada putri saya di sini." Namun, tidak disebut namanya, tidak pula diminta naik ke panggung, dan tidak ditunjuk, hanya diberi spoiler macam itu sebab saat di mobil tadi Ancala sudah memberi syarat; bila dia ikut maka jangan sampai di-notice. Ancala malas berbasa-basi pada yang menyapanya nanti. Jadi, ketika di perjalanan, Ancala minta diturunkan, lalu dia naik taksi. Tentunya diizinkan selagi taksi itu berjalan di depan mobil pak sopir agar bisa tetap diawasi. Ancala mendadak memberi ide seperti itu, yang mau tidak mau papanya turuti walau sempat terjadi perdebatan. Oh, Bumantara memang belum memperkenalkan secara resmi sosok anaknya saat itu. Justru pernah menyengaja dirahasiakan dulu dari khalayak publik. Meski sebagian ada juga yang sudah tahu, tetapi aman-aman saja. Well, Ancala meneguk jus jeruk yang ada. Topeng sangat membantunya jadi lebih percaya diri di tengah keramaian orang-orang tak dikenali. Hingga sepersekian detik berlalu, saat semua orang fokus kepada papanya, tatapan Ancala jatuh pada sosok yang berdiri sendirian sebagaimana dirinya. Tidak membaur. Meneguk minuman yang tersaji, lalu mencicipi kue. Satu hal yang pasti, garis rahangnya elok sekali. Dengan padu padan hidung bangirnya ... Ancala terpikat barang sejenak. Memandang lurus sosok tersebut. Mana tahu bila berbalas. Orang itu membelokkan pandangannya, tepat jatuh di diri Ancala. Tak dinyana, tatapan mereka bersinggungan karenanya. Dengan jarak sekian meter, di bawah atap yang sama. Ancala refleks berpaling, menimbulkan ritme berbeda di dadanya. Pun, pipi panas merona. Malu. Ketahuan sedang memperhatikan. Sekiranya rona di pipi hadir karena itu, bukan lain hal. Yeah, itu saja. Waktu berlalu, acara sambutan pun selesai. Detik demi detiknya mengantarkan Ancala pada rasa pegal. Dia lantas mencari bangku, kiranya meja mana yang belum--atau setidaknya--tidak diisi oleh sekelompok orang. Dapat! Duduklah Ancala di sana, yang tak lama bangku sebelahnya diisi oleh sosok pria bertopeng hitam persis gerangan yang Ancala perhatikan sebelumnya. Si rahang elok plus hidung mancung. Oh, bulu matanya indah ternyata, dengan lensa cokelat khas Asia. Detik itu, mereka bertatapan. Lagi. Dengan jarak yang jauh lebih tipis dari semula. "Sendirian?" Oh, bukan. Bukan suara Ancala. Melainkan ... laki-laki itu. "Iya ...." Agak gugup dan kikuk, tetapi Ancala samarkan sebisa-bisa, toh dia memakai topeng di sini. "Masnya juga ... sendiri?" Tampak menyesap minumannya sejenak, lalu menoleh kepada Ancala. "Iya." Bertatapan lagi. Lampu sedang redup saat itu, sengaja. Temanya betul-betul dibuat agar ada karyawan yang cinlok sepertinya, atau memang agar lebih deep. Alunan musik penyanyi lokal pun memeriahkan sesi hiburan, Bumantara Grup tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana untuk idola tersebut. Ini setahun sekali. Dan baru saat itu Ancala ikut di acara perusahaan papanya. Orang-orang di meja lain ikut bernyanyi, bahkan tangannya ada yang melambai-lambai ke atas. Konon, diundangnya penyanyi tersebut sebagai momen pengganti dansa di acara pesta topeng kebanyakan. Sangat dipersilakan bagi karyawan atau tamu yang ingin menyumbang lagu. Seperti saat ini, di depan sana. Sedangkan pada salah satu sudutnya, ada Ancala yang duduk berdua dengan seorang pria. "Kenapa nggak ikut berbaur?" "Kamu kenapa?" Pertanyaan Ancala dikembalikan. "Mungkin sama kayak Masnya." Mereka tertawa, seberkas kekehan saja. Gi-gila. Ganteng banget. Batin Ancala mengakui ketampanan pria di sisinya. Ah, siapa namanya? Tak sempat Ancala tanyakan, sebab lelaki itu pamit dan beranjak. Dulu. Papa sampai me-notice semu malu-malu di pipi Ancala sepulang dari pesta topeng itu, pun mesem-mesemnya. Hingga hari-hari esok, Ancala jadi lebih bersemangat. Jadi ingin mencari tahu tentang pria itu, meski ibarat kata; bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Mencari satu orang di sekian ratus karyawan. Sayang, Acala masih 17 tahun. Sementara itu .... Hari berganti. "Cantik jepitnya, Cal. Beli di mana?" Papa basa-basi, hal yang membuat Ancala mencebik. "Iya, dong. Kan, Papa yang beliin. Segala ditanya." Sambil oles-oles selai kacang pada roti. Ancala memakai seragam putih abu, dia juga memakai jepit rambut pink yang papa belikan, paket jepit ini baru saja datang kemarin. "Oh, ya?" Gerak tangan Ancala terjeda, menatap papanya. "Kapan Papa belinya, ya? Kok, nggak inget?" Malah bicara seperti itu papanya. Ancala auto mematung, tetapi tak acuh. Itu baru soal jepit. Hingga di suatu waktu, minggu selanjutnya, Ancala mendapatkan paket tanpa nama pengirim lagi. Kali itu Ancala betul-betul kepikiran sebab ketika paketnya datang dan Ancala terima, ada papa yang bertanya, "Beli online lagi, Cal?" Tak tahu apa-apa, papa benar-benar bukan orangnya. Oh, rasanya seperti diteror, padahal isi paketnya bagus dan lucu-lucu. Saat Ancala buka, isinya boneka beruang putih. Sungguh, dari siapa? Yang mana kini, hari itu telah jauh berlalu, melewati banyak kisah yang tinggal kenangan dan sempat terlupa, barang-barangnya ... tepat di sisi Ancala, apik disimpan dalam sebuah boks sedang. Di apartemen Galaksi. Suaminya sendiri. Ancala menggigit bibir bagian dalamnya. Itu .... Dulu. *** "Jadi ... gimana menurut kamu?" Adalah detik di saat obrolan soal barang Ancala telah selesai. Berganti dengan rentet kata dari Galaksi yang memberi sebuah penawaran. Galaksi menginginkan hubungan suami istri yang sesungguhnya dengan Ancala, dimulai dari hari ini. Setelah mengambil tindakan tegasnya untuk yang pertama di antara mereka, tentang membuang jauh-jauh segala hal terkait masa lalunya, tentang memulai yang sebenar-benarnya, meski belum ada patah kata tentang perasaan. Soal itu masih abu-abu bagi Ancala, tetapi di satu sisi dia juga merasa bila sebetulnya Galaksi memiliki rasa yang sama dengannya, bahkan sejak dulu? Sayang, Ancala belum berani menegaskan, Galaksi pun baru berani memulai. Mungkin, bertahap? "Cala?" Remasan di tangan pun mengerat, seakan Galaksi menginginkan perhatian Ancala lebih daripada sebelumnya. "Iya." "Iya apa?" "Iya ... udah." Hening lagi. Bertatapan lagi. Namun, kali ini ... Ancala bubuhkan dengan angguk dan senyum di bibirnya. Setidaknya, omongan Galaksi yang pernah gagal berumah tangga, lalu tak ingin gagal untuk kedua kali, Ancala percayai. Perihal Bu Sally, kenapa baru diambil tindakan tegasnya saat ini? Sebab Galaksi merasa kasihan, di atas rasa yang pernah ada di antara mereka. "Kalau boleh tahu, dulu cerainya karena apa, Pak?" Lagi, berpandangan. Dengan posisi yang sudah sama-sama berdiri, sudah sama-sama membawa barangnya sendiri, di mana Ancala memeluk boks barangnya, lalu Galaksi menarik koper dan menggedong tas besar di punggung. Magrib telah tiba. Dan Ancala diajak langsung pulang saja, toh rumahnya dengan apartemen itu tak terlalu jauh. Jadi, aman. Bisa magriban di rumah. Namun, bagaimana ini? Rasa penasaran Ancala mendesak, bahkan saat mereka sudah memutuskan untuk beranjak, menghambat gerak. Ehm. "Karena kita udah suami istri ...." Ancala jadi salah tingkah sebab pertanyaannya belum dijawab, meski tatap sudah saling bersua. "Boleh, dong, kalau istrinya pengin tau lebih banyak soal suami ...." Malah jadi suara cicitan, Ancala menunduk. Deg-degan. Ritmenya melebihi batas normal kinerja jantung manusia. Fine! Diakui, bahwa sekarang ... karena sudah jatuh dan cinta, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD