00.00

1046 Words
Malam itu operasi Alya tetap dilaksanakan. Satu kejadian yang membuat hai kesal, di mana seorang suster yang ditugaskan untuk membawa infus selama perjalanan ke ruang operasi. Suster itu dengan tidak sengaja membawa infus dengan terbalik. Walaupun tidak sengaja, sama saja telah lalai. Kelalaian yang bisa saja berakibat fatal. “Maaf, saya terlalu terburu-buru, sehingga tidak tersadar dengan infus yang terbalik,” ujarnya. “Anda baru magang, ya? Sehingga bisa-bisanya lalai. Coba kalau semisal ada apa-apa dengan Mama saya, bagaimana?” kata Pricilla dengan emosi. “Mbak, saya mohon maaf, atas kelalaian suster. Kami masuk ke ruangan terlebih dahulu, ya,” kata dokter sembari menengok ke arah suster. “Sus, tolong infusnya diperbaiki, kalau seperti itu bagaimana cairannya bisa sampai di tubuh pasien,” Pricilla mengatakannya dengan sinis. Habis dirinya merasa kesal dengan suster yang masih saja belum memperbaiki posisi botol infus. Suster itu dengan menahan malu dan merasa bersalah pun hanya bisa menunduk sembari berjalan memegangi infus ke arah ruang operasi. Rasanya begitu aneh dengan malam ini. Dimulai dengan infus terbalik, sampai pukul sembilan pun operasi belum selesai. Lampu di depan ruang operasi tak kunjung nyala. “Pak, kenapa lama sekali?” ujar Pricilla sembari memegangi wajahnya. Duduk di depan ruang operasi bersama Pak RT dan ibu RT yang sejak awal terjadinya kecelakaan masih setia menemani di rumah sakit. “Berpikir positif saja, ya. Mungkin saja, masih tahap awal. Namanya juga operasi yang cukup besar, ’kan?” Ibu RT mengajak Pricilla ke masjid terdekat rumah sakit untuk berdoa dan meminta pertolongan dari Allah. Pricilla mengikuti saran dari Ibu RT untuk pergi ke masjid terdekat. Sedangkan, Pak RT tetap berada di depan ruang operasi untuk mengikuti perkembangan operasi. Selama kurang lebih setengah jam Pricilla berdoa kepada Allah. Setelah selesai, mereka berjalan kaki untuk kembali ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, operasi belum juga selesai. Bahkan, kata pak RT, sejak tadi belum ada dokter maupun perawat yang keluar dari ruangan. Pikiran Pricilla semakin galau tak menentu. Hatinya benar-benar rapuh dan terasa sakit. Memikirkan sosok ibunya yang sedang berjuang di dalam ruangan itu. Waktu tetap berlanjut, sampai akhirnya ada seorang dokter yang keluar untuk menemui pihak keluarga. “Pak RT, bisa ikut saya sebentar?” ujarnya. “Boleh, Dok,” jawab pak RT sembari mengikuti langkah kaki dokter yang menjauh dari Pricilla. “Pak, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sejak tadi, kami sudah berusaha agar infus bisa masuk ke tubuh dengan sempurna. Tapi, entah bagaimana infus tidak bisa masuk ke dalam tubuh,” kata dokter sembari mengelap peluh yang ada di dahinya. “Dok apakah itu pengaruh dengan salah satu Suster yang tadi terbalik membawa botol infus?” kata pak RT. “Saya kira tidak. Lalu apa operasi ini akan dilanjutkan atau bagaimana, Pak?” tanya dokter meminta saran. “Tolong dilanjutkan dan dicoba kembali. Kami telah bersusah payah untuk mencari dananya dan sekarang dokter ingin menghentikannya?” jawab pak RT sedikit emosi. Dokter mengangguk lalu kembali ke ruang operasi untuk melanjutkan proses operasi yang sejak tadi belum selesai, Sedangkan, pak RT dan ibu RT beserta Pricilla duduk di depan ruangan sembari menunggu hasil yang memuaskan. Menunggu kabar baik dari dokter yang masih ada di dalam. Tepat pukul sembilan malam, Anara menghubunginya. Menanyakan soal operasi Alya. Tapi, ya, begitu. Sampai detik ii belum juga ada kabar yang begitu membuat hatinya tenang. Anara mematikan ponsel sebelah pihak. Bukan tidak ingin menemani Pricilla yang sedang merasa cemas dan gundah. Justru, Anara memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Sekitar pukul setengah sepuluh, Anara telah sampai di rumah sakit dengan menaiki mobil pribadinya. Dia ke rumah sakit diantarkan oleh sopir yang bekerja dengan keluarganya. Anara langsung memeluk Pricilla. Berusaha untuk memberikan rasa nyaman dan tenang kepada sahabatnya. “Sabar, Sayang. Mama kuat di dalam. Kamu jangan rapuh,:” kata Anara sembari mengusap air mata sahabatnya. Anara mengajak Pricilla untuk pergi ke taman. Walaupun hanya beberapa menit, setidaknya bisa membuat pikiran Pricilla jauh lebih tenang. Walaupun, tetap saja hatinya begitu hancur. “Pris, lihat, di atas ada bulan yang begitu terang. Di ujung sana juga ada bintang yang begitu indah. Percayalah bahwa mereka ingin kamu tetap tersenyum,” Anara membantu Pricilla agar mendongak, melihat indahnya sinar benda langit di atas sana. “Lo kenapa ke sini? Besok lo harus sekolah,” ucapnya dengan menahan tangis. Pricilla teringat kala kecil suka melihat benda-benda langit bersama orang tuanya. Sampai hatinya begitu sakit kala kehilangan sosok ayah. Lalu, sekarang apa harus kehilangan sosok ibu? Apa dirinya harus tinggal seorang diri di dunia ini? Beberapa waktu kemudian, Anara mengajak Pricilla untuk kembali masuk ke rumah sakit. Sesampainya di depan ruang operasi, mereka belum lagi mendapatkan kabar. “Ya ampun sudah hampir jam sebelas malam. Kenapa lama sekali, ya, Pak?” lirih Pricilla sembari mengamati langit-langit depan ruangan. “Sabar dulu, ya?,” jawabnya dengan suara yang suah khas orang mengantuk. Pricilla menunduk sembari mengeluarkan air matanya. Merasa marah kepada Allah yang tidak adil terhadap hidupnya. Pricilla berpikir kenapa harus dirinya yang mendapati ujian seberat ini. Dosa apa yang membuatnya harus menerima ujian ini? Mungkin benar kata orang, Allah tidak akan memberi ujian melebihi batas kemampuan umatnya. Tapi, kenapa tidak bagi Pricilla? Mungkin, benar kata orang seseorang yang diberi ujian adalah orang terpilih dari Allah. Tapi, jika ujian sebesar ini, Pricilla tidak ingin menjadi orang yang dipilih. Tepat pukul dua belas malam, beberapa petugas medis dan dokter bedah telah keluar dari ruangan itu. Tapi, kabar yang paling pahit harus diterima oleh Pricilla. “Maaf, kami sudah bekerja sesuai dengan kemampuan. Tapi, Allah berkehendak lain. Ibu Alya meninggal dunia tepat pukul dua belas malam,” ucapnya sembari meminta maaf. Mendengar pernyataan itu, Pricilla hanya bisa menangis sembari berteriak memanggil ibunya. Benar, sekarang hidupnya telah hancur berkeping-keping. Anara mencoba untuk menenangkan sahabatnya. Anara mengambil ponsel dari tas kecilnya, menghubungi teman-temannya untuk memberitahu kabar duka ini. Mereka tidak menyangka akan kabar duka yang begitu mendalam hadir dari sahabatnya. Pak RT pun menghubungi salah satu warga agar bisa saling membantu mempersiapkan pemakaman di keesokan harinya. “RA GUE MAU KETEMU SAMA MAMA!” teriak Pricilla mencoba untuk melepaskan pelukan Anara. Anara melepaskan rangkulannya. Membiarkan Pricilla pergi ke dalam ruang operasi. Memeluk ibunya dengan erat untuk terakhir kalinya. Suasana yang begitu memilukan dan penuh air mata. “Ra, tolongin Mama, Ra,” lirih Pricilla yang menyebut nama Anara. “Tol .... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD