Kesepakatan Bersama

1129 Words
“Anders, lo ... Alasannya apa?” sahut Agnetha. “Sampai-sampai lo tidak setuju,” sambungnya. “Dengerin dulu makanya, jangan asal motong pembicaraan, Tha.” Anders berjalan ke luar dari teras. Membalikkan badan lalu tersenyum. “Gue enggak setuju kalau bukan angka dua. Makanya, ya sudah kita pakai angka dua. Sesuai saran dari Agnetha. Kim, Raynar, sama Davin kembali ke vila sebelum dikeroyok warga.” Anders melangkah ke arah vila sebelah kanan. Melenggang masuk untuk beristirahat. Besok, mereka harus kembali ke Jakarta sebelum disusul oleh guru-guru Go Publik. Di dalam vila, Anara, Agnetha, dan Pricilla beranjak ke kasur yang sama dengan ukuran besar. Mereka tertidur sekitar pukul sembilan malam, tentu saja setelah puas bermain ponsel. Padahal, hal itu merupakan salah satu pola hidup yang tidak sehat. Seharusnya, beberapa jam sebelum tidur, mereka harus menyingkirkan ponsel dan mematikan lampu untuk membuat otak jauh lebih tenang. Sehingga, bisa tertidur dengan istirahat yang berkualitas. Udara segar beradu dengan sinar mentari menyusup masuk ke kamar melalui jendela kaca dengan gorden warna putih tipis itu. Benar-benar penenang alami yang menyehatkan tubuh di pagi hari. Pricilla bangun lalu membuka gorden agar sinar matahari masuk ke ruangan dengan sempurna. “Morning, Prissy,” ucap Anara sembari mengucek mata. Pakaian tidur berwarna putih tulangnya terlihat lebih berantakan dari semula. Mungkin, memang belum disetrika dan terpakai untuk tidur. “Kenapa?” tanya Anara. “Kamu tidur kaya berubah jadi kipas angin,” sahut Pricilla sembari menyeret kursi untuk duduk di dekat jendela. Mencari sinar matahari pagi tentunya. “Memberi kedamaian,” jawabnya dengan berbangga hati. “Iya, memberi kedamaian, tapi dalam mimpi. Aslinya, sih ... lo lihat itu posisi bangunmu di mana?” tanya Pricilla sembari tertawa. Tangannya mengikat rambut dengan ikatan rambut berwarna putih. Sebelumnya, Pricilla menyisir rambutnya terlebih dahulu. “Eh, kok jadinya kaya begini,” katanya sembari memandangi Agnetha yang tertidur dengan posisi berlawanan dengannya. “Eh, cara lo tidur malu-maluin, Ra!” sambungnya dengan kesal. Tangannya memukul jidatnya pelan. Pricilla hanya tertawa lalu beranjak. Mengambil air untuk mencuci wajahnya. Saat ini, dia sedang mendapati tamu bulanan, sehingga masih bisa meninggalkan kewajibannya sebagai umat beragama. “Pris, lo kok enggak bangunin, gue belum sholat. Mana sekarang waktu buat salat sunah,” celetuknya sembari mengelap wajah dan lengan dengan handuk kecil miliknya berwarna biru muda. “Ya ... memang sih membangunkan orang untuk beribadah ada pahalanya. Tapi, mana gue tahu kalau lo lagi enggak halangan. Lo sih semalam enggak bilang kalau butuh alarm hidup,” jawabnya sembari mengambil baju dari dalam tas ransel. Pricilla melenggang pergi ke kamar mandi. Membersihkan diri dari ingus dan keringat yang lengket. Sedangkan, Anara menjalankan salat dua rakat yang sebenarnya sudah terlambat. Tapi, mau bagaimana lagi, daripada tidak menjalankan kewajiban sama sekali. Diterima atau tidak itu urusan Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha untuk tetap menjalankan perintahnya. Semoga saja ibadahnya pagi ini diterima oleh Allah. “Eh ini anak tidur kek kebo. Susah banget bangun,” kata Anara belum melepas mukena berwarna putih. Tangannya membangunkan Agnetha yang masih terlalu nyaman berbalut selimut tebal berwarna putih. “Tha, bangun atau gue guyur?” Agnetha terbangun dari tidurnya. Menatap Anara yang masih anggun dengan mukena. Walau bibirnya begitu dingin dan tampak sengit. “Ra, lo salat duha? Duh, ini jam berapa?” ujarnya sembari menatap jam di dinding. Kakinya buru-buru lari ke arah kamar mandi. Mencoba membuka pintu tapi tidak bisa. Apa perlu kekuatan super? “Kamar mandi lagi dipakai sama Pricilla. Lo kalau mau, bisa gunakan air keran depan vila,” kata Anara melipat mukena dan sajadah. “Gila, malu lah gue!” teriaknya. Agnetha mengambil handuk yang tersampir di kursi. Handuk kecil milik Anara. Mungkin, terburu-buru akibat waktu yang terus berjalan. Sedangkan, dirinya belum menjalankan ibadah kepada Sang Pencipta. “Pris, cepetan, gue mau ambil air wudhu,” katanya sembari memukul pintu beberapa kali. Tidak lama kemudian, Pricilla telah keluar dari kamar mandi. Memakai kaos hitam dan celana kulot panjang dengan warna hitam pula. Berjalan ke arah ranjang lalu membalikkan badan. “Makanya kalau bangun itu pagi.” Pricilla dan Agnetha merapikan barang-barang masing-masing. Tujuannya agar siang nanti tidak terlalu ribet dengan urusan pakaian. Siang nanti, mereka harus kembali ke Jakarta. Kembali pada rutinitas menjadi siswa dan siswi yang selalu dianggap biang masalah. Dua jam kemudian, mereka keluar dari vila. Tepatnya sekitar pukul sepuluh pagi. Ternyata, anak-anak cowok telah menunggu sejak pukul tujuh pagi. Mereka dengan asyik bersenandung diiringi gitar dan ukulele. Memang, hal yang sederhana, tapi mampu menghilangkan penat dan bisa dijadikan tempat untuk melakukan self healing. “Lama amat, kita sampai dapat puluhan lagu dan habis beberapa bungkus camilan,” sindir Raynar dengan ciri khasnya. “NAMANYA JUGA CEWEK!” teriak Anara dengan keras dan tampak jutek. Mereka duduk di teras vila yang disewa anak cowok. Duduk bersama untuk melanjutkan pembahasan yang sama dengan hari kemarin. Sebuah keputusan yang benar-benar harus disepakati dan tidak ada pergantian lagi. “Oh iya, untuk angka kedua kita bahas dan harus final,” kata Davin sembari meletakkan rokok di atas tempat yang sesuai. “Dav, tolong dong rokoknya. Kita tidak mau menjadi korban perokok pasif. Kaku kan tahu, sebagai perokok pasif juga mendapatkan efek yang bahaya untuk kesehatan,” kata Pricilla sembari menatap satu batang rokok yang masih menyala. Davin mengambil rokoknya lalu dimatikan. Kemudian, membuangnya di tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka duduk. Setelah itu, dia masuk ke dalam vila untuk membuat tujuh gelas teh manis. “Sudah gue buang itu rokok. Nih, gue bikinin teh,” katanya dengan satu kali tarikan napas. Mereka menikmati teh manis hangat buatan Davin. Benar-benar penghangat tubuh kala hidup di daerah Puncak seperti saat ini. Cuaca yang sedikit dingin begitu memberikan udara segar, tapi tidak nyaman di kulit tubuh. Memang, tadi sempat ada sinar matahari, tapi sekarang telah bersembunyi dibalik kabut. “Anders, setuju kan sama yang kemarin?” tanya Anara. “Gini, biar tidak lama-lama. Kita sepakati saja angka kedua yaitu dua. Biar tidak rumit dan menjadi beban pikir yang tiada henti. Lelah hayati,” jawabnya. “OKE!” teriak Agnetha dengan riang. Mereka menikmati udara Bogor yang begitu menenangkan dan menyejukkan. Hanya dalam waktu tidak lebih dari dua jam, mereka harus bisa dengan hati yang lapang mencari pelampiasan untuk rasa resah atau masalah yang hinggap. Agar benar-benar merasa bahagia. Tidak lama kemudian, tepatnya pukul dua belas. Mereka menjalankan salat empat rakaat di sebuah masjid terdekat. Setelah selesai salat, mereka memutuskan untuk segera melakukan perjalanan kembali pulang. Mereka terlalu asyik dengan jalan raya yang tidak begitu ramai. Sampai-sampai tidak sadar dengan kondisi Kim yang sempat mimisan. “Akhirnya, sampai juga di Jakarta,” kata Agnetha. Padahal, baru memasuki wilayah perbatasan. Tempat mereka tinggal masih berkisar waktu satu jam lagi. “Masih jauh dari rumah,” sahut Pricilla yang sedang memakai alis. “Alis lagi, alis lagi,” ejek Anara. Shit ...!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD