Ikoy-ikoy

1312 Words
Cuaca siang hari yang begitu terik membuat suasana di dalam kelas terasa panas. Tambah lagi, ruangan yang tidak memiliki kipas angin dan berada di lantai dua. Kondisi belakang gedung yang gersang membuat tubuh seakan mendidih. “Ada apa lagi?” jawab guru itu dengan tatapan tajamnya. Terlihat keringat di pucuk hidungnya. Dia melangkah ke tempat duduknya. Membuka buku tulis miliknya yang berciri khas untuk menulis daftar siswa yang melanggar peraturan di dalam kelas. “Bu, itu Agnetha dan Anara bagaimana?” sahut Pricilla dengan hati-hati. Dia takut jika perkataannya akan membangunkan singa dari tidurnya. Sebenarnya, guru Bahasa Mandarin yang saat ini berada di kelasnya memiliki sifat yang lemah lembut dan tidak banyak bicara. Tapi, percayalah tipe orang seperti ini akan sangat dahsyat jika sekali mengeluarkan amarahnya. Guru itu tidak menjawab. Tangannya masih sibuk dengan bolpoinnya. Tidak lama kemudian, dia berjalan ke arah papan tulis dengan membawa spidol tiga warna; merah, biru, dan hitam. Dia menuliskan beberapa kata dalam Bahasa Mandarin. Kata-kata sederhana yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. “Kalian, tulis kata-kata di buku tugas. Kalau sudah, bawa ke depan!” perintahnya. Pricilla masih duduk diam di bangkunya. Menopang dagu dengan tatapan mata yang tidak serius mengikuti pembelajaran. Rasanya tidak nyaman untuk mengikuti kegiatan di sekolah yang membosankan. Khususnya, cara mengajar guru yang terlalu monoton. Tiba-tiba terdengar suara menggema dari beberapa orang yang sudah khas di telinga anak-anak kelas. “Kebanyakan bacot lu mah,” kata Anders yang terdengar dari dalam kelas. Setelahnya, diiringi tawa yang menggema dari mereka. “Kim, bagaimana lu jadi mudik?” tanya Raynar. “Ini lagi perjalanan mudik ke kelas.” Kim menjawab sembari melenggang ke depan pintu kelas. Menarik knop pintu kelas dengan sedikit kasar sampai menimbulkan suara yang keras. “Kim, kowe lagi ndagel?” Raynar tertawa dengan mengerem kakinya tepat di belakang Kim yang kakinya masih terdiam di sana. Beberapa saat kemudian, guru yang berada di dalam kelas berjalan ke arah pintu. “Walah, iki awak e dhewe uwis nggugah singa,” (Aduh, kita sudah membangunkan singa) ujar Raynar yang melihat seorang perempuan mendekat ke arahnya. “Dari mana kalian?” tanyanya. Kim yang berada di barisan paling depan pun memundurkan kakinya satu langkah. Tepat saat itulah, Raynar terjungkal ke belakang. Terpental punggung Kim dengan kaki yang sempat terinjak pula. Beruntung, ada Anders dan temannya yang lain menjadi tameng tubuh Raynar. “Duh, Gusti!” teriak Raynar dengan logat Jawa. Secara langsung, Kim menatap Raynar yang sedang berdiri dengan tubuh di jaga oleh Anders agar tidak terjatuh ke lantai. Tapi, tatapan siswa dan siswi di dalam kelas membuat Anders melepaskan kedua tangannya. Jadilah, Raynar benar-benar terjatuh ke lantai. Aksi itu membuat seluruh isi kelas tertawa sampai terpingkal-pingkal. Mereka berempat berjalan masuk ke dalam sebelum gurunya marah-marah dan memberi hukuman. Sedangkan, Raynar masih mengeluh karena punggung yang masih terasa sedikit nyeri. Beranjak lalu menyusul teman-temannya masuk ke dalam kelas dengan langkah kaki yang tertatih. Waktu berjalan sesuai dengan detikannya. Tapi, terasa lebih cepat. Jam pulang eekolah telah tiba dengan ditandai bunyi bel yang begitu panjang. Sekitar pukul dua siang, tujuh anak SMA itu pergi ke sebuah warung yang dijadikannya tempat nongkrong. Duduk dengan rapi tanpa memesan camilan ataupun hanya sekadar minuman kopi. “Ray, kenapa lu?” tanya Anara dengan senyuman mengejek Raynar yang sedang m3nahan rasa nyeri di punggungnya. “Lara iki awak. Mbok pikir apa?” (Sakit punggungku, kamu pikir apa?) jawab Raynar sembari memegangi tubuh belakangnya dengan kedua telapak tangannya. Teman-teman yang lain hanya tertawa mengingat kejadian yang penuh dramatis. Tidak lama kemudian, Pricilla memberikan usul agar hari ini mereka tidak hanya dipermalukan. Dia memberikan pendapatnya untuk membantu orang lain secara acak. Seperti yang sedang trending saat ini. “Boleh, sih. Tapi, Pris bagaimana kalau kita lakukannya di dunia nyata saja. Ya, supaya tidak salah sasaran.” Anders menanggapi saran dari Pricilla. Kegiatan menolong yang terlihat acak ini pun disetujui. Ada beberapa l3mbar uang dengan berbagai nominal pun telah disediakan. Mereka kumpulkan sisa uang saku masing-masing untuk membantu orang lain. Walaupun secara acak, bukan berarti mereka tidak melihat kondisi orang lain. Mereka berjalan ke jalanan untuk mengamati tingkah laku para pengguna jalan ataupun rakyat yang sedang duduk santai di teras rumah. Rumah yang kebetulan mereka dirikan di tepi jalan raya. “Hai Adik,” sapa Pricilla dengan anak kecil yang sedang melintas di depannya. Anak kecil dengan buku tulis yang terlihat kumuh dan satu pensil. “Iya Kak?” jawabnya dengan suara yang bergetar—mungkin—ketakutan. “Mau buku tulis baru?” jawab Pricilla dengan tersenyum ramah. Anak kecil itu hanya tersenyum dengan manis sembari menganggukkan kepalanya. “Kakak belikan. Tapi, buku ini boleh untuk Kakak?” “Jangan Kak. Buku ini memang kotor. Karena aku ambil dari tempat sampah. Justru buat aku buku ini jauh lebih berharga daripada buku bersih yang akan kakak belikan untukku. Sebab, di dalam buku ini ada banyak ilmu yang pemiliknya tuliskan di dalamnya.” Gadis itu memeluk bukunya dengan erat di dekapannya. Melangkah pergi meninggalkan Pricilla. Pricilla tersenyum dengan manis. Membalikkan badan lalu mengejar gadis kecil itu. Mencekal pundaknya agar tidak kabur dari pandangannya kembali. “Dik, ikut Kakak beli buku tulis di seberang sana atau mau beli sendiri?” tanya Pricilla. Melihat anak itu yang menunduk dengan mata yang melirik ke arahnya, m3mbuat Pricilla mengerti akan maksud dari gadis itu. “Tenang, buku ini tetap menjadi milikmu,” sambung Pricilla dengan meraih lengan gadis itu. Mereka berjalan menyeberangi jalan raya. Masuk ke toko buku untuk membeli satu pak buku tulis seharga dua puluh lima ribu rupiah. Kemudian, menyeberangi kembali jalanan. Pricilla menatap sendu gadis kecil itu yang memiliki keinginan untuk sekolah. Gadis yang seharusnya masih kelas tiga sekolah dasar harus belajar tentang materi anak usia sekolah menengah pertama dari buku kumuh tadi. Mau membantu pun Pricilla tidak bisa. Mungkin, dengan buku seharga dua puluh lima ribu bisa membantu gadis itu belajar menulis. Gadis itu telah menghilang dari sorot matanya sejak dua menit yang lalu. “Oke, target selanjutnya lu aja,” kata Anders sembari menunjuk Anara dengan dagunya. “Lainnya nongki saja,” sambungnya dengan membuang asap rokok dari mulutnya. “Nders, rokok bisa dibuang enggak? Gue ogah ikut mati karena rokok lu itu,” kata Agnetha sembari duduk di sebelah Davin. Tapi, Davin tampak menolak untuk didekati oleh Agnetha. Anara berjalan menyusuri tepi jalan. Kakinya berdiri di bawah lampu merah. Kala lampu menyala warna merah, dia menyeberangi jalanan untuk mencari target kedua. Seseorang yang akan mendapatkan keberuntungan di hari ini dari mereka. Sistem berbagi kali ini memang acak, jadi terserah mau kepada siapa ia memberikan sedikit bantuan. Kebetulan, ada seorang tukang becak yang sedang mangkal di tepi jalan. Duduk di bangku dalam becaknya sembari menggunakan bekas tutup nasi kotak untuk mengipasi tubuhnya yang dipenuhi keringat dan rasa panas matahari. “Assalamualaikum, Pak. Bapak di sini sampai kapan? Ini sudah sore loh,” kata Anara sembari tersenyum dengan sangat ramah. Mencoba untuk bersikap akrab agar targetnya bisa percaya kepadanya. “Ya, sampai saya dapat uang yang cukup untuk membelikan makan malam keluarga, Mbak,” jawabnya sembari mengusap pipinya yang dialiri peluh keringat. “Bapak, saya ada uang dua ratus ribu. Semoga cukup untuk membeli makan malam ini, Bapak jangan capek-capek kerjanya.” Anara memberikan dua lembar uang berwarna merah. Kemudian, berpamitan untuk meninggalkannya. Bapak tukang becak itu benar-benar memiliki hati yang mulia. Mengantar penumpang dengan bayaran hanya seikhlasnya. Itu, penuturan dari beliau sendiri. Anara kembali bergabung dengan teman-temannya. Mereka memutuskan untuk pergi dari tempat. Kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan mengerjakan tugas-tugas yang belum terselesaikan. “Pricilla!” teriak ibunya dari dalam gubuk reot itu. “Iya, Ma. Enggak usah teriak. Kuping anaknya masih normal ini,” jawab Pricilla sembari melepas sepatunya. “Dari mana saja?” selidiknya. “Nongkrong kaya biasanya. Ma, Pricilla mau cerita. Tapi, setelah mandi sama makan,” kata Pricilla sembari lari ke kamar mandi. Kakinya berlarian di atas tanah. Sebab, rumah reotnya masih beralas tanah tanpa ubin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD