Aksi Malam Kedua

1708 Words
Dua hari kemudian, walaupun cuaca sangat gelap disertai hujan besar, tidak menyurutkan ketekadan Pricilla dalam mencari tahu tentang Kim. Dia memutuskan untuk menyelidiki seorang diri di malam itu. Walaupun, tetap saja akan ada banyak masalah yang harus dihadapinya nanti, dia tetap tidak goyah dengan keputusannya. Benar, dia rela berjalan di bawah derasnya air hujan malam ini. Hanya memakai mantel plastik berwarna hijau berjalan ke arah rumah Kim. Melangkah dengan hati-hati agar todak terpeleset akibat tanah yang licin akibat air yang menggenang. Akhirnya, dia berhasil sampai di rumah Kim. Tepat di samping rumah mewah itu, Pricilla membuka mantelnya. Berusaha dengan keras agar bisa mencari jawaban dari pertanyaan yang ada di kepalanya. Apa rahasia besar dari seorang Kim? Pricilla mencoba membuka pintu jendela dengan menggunakan paku. Perlahan, tanpa menimbulkan suara apa pun. Begitu terlihat rapi selayaknya seorang kriminal yang sedang beraksi. Beberapa menit kemudian, jendela telah berhasil dibuka. Melihat ke dalam kamar, ternyata tidak ada siapa-siapa. Benar-benar seperti diberi ruang untuk memperlancar aksinya. Tapi, tetap saja harus berhati-hati agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Pricilla menggeledah ruangan itu untuk kedua kalinya. Berharap bisa menemukan satu bukti agar menjawab semuanya. Mulai membuka laci kamar dan lain-lain, tapi tetap saja tidak menemukan apa-apa. Sebenarnya, di mana Kim menyembunyikan obatnya? Pricilla yakin, seseorang dalam gangguan jiwa pasti akan mengonsumsi obat tersebut. Tapi, kenapa tidak juga menemukan di kamarnya? “Ke mana Kim menyembunyikan bukti-bukti yang m3ngarah dengan surat itu?” lirihnya bermonolog sambil menggeledah laci-laci yang ada di kamar itu. Pricilla menatap ke atas almari. Terlihat seperti ada botol yang terlihat begitu aneh. Apakah itu obat Kim? Tapi, kenapa harus diletakkan di atas sana? Pricilla mencari benda yang bisa digunakan untuk memanjat dan mengambil botol itu. Melihat ada bangku yang biasa digunakan untuk kerja, dia menyeretnya dengan perlahan lalu meraih botol itu. Betapa kesalnya, ternyata hanya sebuah botol tempat makan untuk kucing dan sebotol vitamin kucing. Tidak putus asa, Pricilla mencoba untuk mencari cara lain. Dia memutuskan untuk keluar dari kamar melalui jendela. Dia terpikirkan untuk seolah-olah menjadi tamu. Mempunyai alasan agar bisa masuk ke rumah Kim dengan berpura-pura meminta bantuan Kim dalam menyelesaikan rumus matematika yang belum dipahami. Mungkin, dengan cara itu bisa memperlancar aksinya. Berjalan ke arah depan untuk mengetuk pintu. Tapi, musibah kecil harus dilaluinya. Lantai yang begitu licin membuatnya tergelincir lalu terjatuh. Ponggangnya begitu ramping benar terasa nyeri. Tapi, tidak juga menyurutkan semangatnya untuk mencari tahu tentang kondisi Kim yang sesungguhnya. Dia tetap mengetuk pintu sembari memegangi pinggangnya yang masih terasa nyeri. “Assalamualaikum,” kata Pricilla sembari mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tapi, tidak juga mendapatkan respons dari pemilik rumah. Pricilla tetap menunggu beberapa saat. Akhirnya, ada seorang wanita yang keluar dengan mengenakan daster berwarna hijau bermotif bunga. Mungkin, dia asisten rumah tangga yang bekerja bersama keluarga Kim. “Waalaikumsalam, maaf, ya. Saya tadi lagi di dapur, Mbak mau bertemu dengan siapa?” tanyanya dengan begitu ramah. “Iya, Bu, tidak apa. Saya mau bertemu dengan Kim. Apakah Kim ada?” jawab Pricilla dengan raut wajah yang terlihat ramah dengan senyuman yang begitu manis. “Sebentar, ya.” Perempuan itu berbalik badan. Melangkah menjauh dari sorot mata Pricilla. Entah, dia pergi ke ruang sebelah mana. Rumahnya memang begitu besar dan mewah. Berbeda dengan rumahnya yang hanya sepetak itu. Tidak lama kemudian, perempuan itu kembali datang. “Mbak, silakan masuk. Tuan Kim berada di ruang paling belakang, dekat kolam,” katanya. Pricilla melangkah menuju ruangan yang telah disebutkan oleh perempuan itu. Langkah yang cepat agar segera bisa bertemu dengan temannya itu. Benar, Kim sedang duduk seorang diri di sana. Menatap pemandangan malam kota dari ruangan yang berdinding kaca itu. Di depannya terdapat meja berbentuk lingkaran. Di atasnya terdapat minuman jus jeruk jika dilihat dari warnanya. “Kim, gue enggak ganggu, kan?” tanya Pricilla dengan suara yang lirih. Takut kedatangannya mengganggu pemilik rumah. Padahal, sebelumnya dia telah mencoba seperti maling yang telah berhasil. Sayangnya, dia tidak mengambil barang satu pun. “Enggak, kok. Silakan duduk, Pris,” katanya. Pricilla pun duduk di bangku yang masih kosong. Menatap ke arah kolam sembari memikirkan kata-kata yang akan dikeluarkan dari mulutnya. “Lo ke sini hujan-hujanan?” tanyanya dengan raut wajah seperti orang yang sedang khawatir. “Tadi, sih, di jalan masih terang benderang. Ada bulan dan bintang juga terlihat, walau samar. Tapi, pas udah di tengah jalan, langsung aja hujan turun. Beruntung gue bawa mantel,” jawab Pricilla sedikit berbohong agar tidak ketahuan olehnya. “Ha ha, ya, cuaca juga gak tentu sekarang. Oh iya, ada apa? Kenapa ke sini malam-malam begini?” tanyanya sembari beranjak. “Gue mau minta tolong, ajari gue matematika,” jawab Pricilla sembari memandangi punggung Kim yang telah berjalan ke arah depan. Dai terlihat mengangguk untuk merespons perkataannya. Beberapa menit kemudian, dia telah kembali dengan membawa handuk kecil berwarna biru dan segelas air teh hangat. Menaruh ke meja lalu memberikan handuk itu ke Pricilla. “Lo basah rambutnya. Lo keringkan dulu, biar enggak masuk angin,” katanya lalu duduk kembali. “Terima kasih,” jawab Pricilla sedikit kikuk. Rasanya, seperti seorang yang bersalah besar. Dia begitu keterlaluan dalam menyelidiki sebuah rahasia yang sebenarnya memang privasi dari Kim. Lalu sekarang, dia malah memberikan sebuah handuk dan minuman hangat agar Pricilla tidak sakit akibat air hujan. Ah, rasanya benar-benar merasa bersalah. Apa harus menyudahi semua ini dan membiarkan masalah ini? “Bagaimana sama usaha donat lo?” tanyanya. “Oh iya, alhamdulillah. Uangnya belum gue bawa, besok deh gue kasih.” Pricilla mengelap rambutnya yang masih basah itu. Benar terasa canggung harus mengelap rambutnya yang basah di depan laki-laki. Walaupun, dia sahabatnya sendiri, tetap saja Kim seorang laki-laki normal. Detak jantung Pricilla semakin memburu kala melihat Kim tampak aneh. “Eh, kamar mandi di mana?” tanya Pricilla sembari melepaskan handuk dari rambutnya. Kim menunjukkan salah satu ruangan yang terdekat dari kolam. Pricilla bergegas untuk masuk ke ruangan itu. Mengeringkan rambut basahnya di dalam kamar mandi, jauh lebih baik. Berjaga-jaga daripada terjadi sesuatu yang akan disesalinya seumur hidup. Selama beberapa menit dia mengeringkan rambut itu. Akhirnya, rambut telah begitu jauh lebih baik daripada saat masih basah dan meneteskan air. “Handuk lo, gue taruh di dalam kamar mandi,” kata Pricilla sembari duduk kembali. “Oke,” jawabnya sembari menikmati jus jeruk miliknya yang masih seperempat gelas. “Minum dulu,” sambungnya sembari meletakkan gelas di atas meja lagi. Tidak lama kemudian, seorang perempuan dan laki-laki paruh baya berjalan beriringan. Pakaian yang dikenakan begitu rapi dan terlihat formal. Pricilla, lupa jika orang tua Kim memang orang terpandang di kota ini. Mereka mendekat ke arah Kim dan Pricilla duduk. Tas berwarna hitam elegan itu terlihat mewah di genggaman perempuan itu. Menambah keanggunan dan kecantikan yang terpancar dari dirinya. Mereka telah berhenti pada jarak kurang lebih dua puluh senti meter. “Kim, dia siapa?” tanya wanita itu. Seorang perempuan yang memang sudah dikenal oleh Pricilla. Tapi, mungkin beliau lupa dengan dirinya. Sebab, baru pertama kali Pricilla bertamu di istana ini. “Pricilla, Ma. Dia pernah kok ke sini,” kata Kim sembari tersenyum ke arah ibunya. Wanita itu mengangguk. “Ya, sudah lanjutkan lagi kegiatan kalian,” katanya sembari berbalik badan. Keduanya telah pergi dengan meninggalkan senyuman manis. “Kim, apa gue boleh ke depan sebentar?” tanya Pricilla dengan hati-hati. Takut jika akan ada rada curiga dari Kim. “Mau apa? Lo nyari apa sebenarnya?” Pricilla terdiam mendengarnya. Mati kutu dan tidak bisa menjawab. Serasa kehabisan kata-kata untuk memberikan umpan balik. “Duduk, gue mau ngomong,” kata Kim. Mau tidak mau, Pricilla harus duduk kembali. Benar, rasanya telah tidak karuan lagi. Apa sebenarnya Kim mengetahui rencananya? Kenapa Kim tahu dengan isi kepalanya? “Kalau lo mau tahu sesuatu. Lebih baik lo tanya sama gue. Jangan tanya sama orang lain atau malah berbuat bodoh selayaknya maling yang masuk sembarangan ke kamar orang. Gue tahu, kok, lo udah dua kali masuk ke kamar gue. Asal lo tahu, di kamar gue ada kamera tersembunyi.” “Eh, Kim, aduh ... Maaf, ya. Gue enggak ada maksud untuk .... “ “Sekarang, tanyalah. Apa yang ingin lo tahu tentang gue?” tanya Kim memotong kalimat yang diucapkan dari mulut Pricilla. Pricilla menunduk. Menyalahkan diri sendiri yang telah berbuat bodoh. Dirinya memang cerdas, tapi kenapa bisa-bisanya tidak berpikir panjang. Di dalam otaknya hanya ada pemikiran konyol selayaknya anak kecil yang apa-apa harus segera terlaksana. “Lo enggak perlu menyalahkan diri. Sekarang, tanyakan saja.” “Maksud surat ini apa?” kata Pricilla sembari menyerahkan surat yang radinya ia taruh di dalam saku celananya. “Oh ini ... Lo, jangan kaget atau merasa apa. Karena, gue sudah menerima semuanya.” Kim beranjak pergi meninggalkan Pricilla. Berjalan ke arah kamarnya untuk mengambil sesuatu. Pricilla kembali menatap kolam dengan perasaan yang tidak karuan. Marah, kesal, dan menyalahkan dirinya sendiri. “Ini obat gue. Jadi, gue bisa depresi karena .... “ Tiba-tiba, ibu Kim datang membawa makanan. Ada tiga jenis makanan yang dibawanya dengan nampan. Meletakkan di meja lalu menyuruh Pricilla agar menikmatinya. Tapi, mata Pricilla masih menunjukkan rasa penasarannya. “Makan dulu, nanti keburu dingin,” kata Kim sembari bergeser agar ibunya bisa bergabung. “Nak, nanti pulangnya biar Mama yang antar, ya. Sekalian, ada urusan di luar sebentar,” kata ibunya Kim sembari mengambil dua sendok nasi ke piring Pricilla. Rasa tidak enak semakin meningkat di hati Pricilla setelah mendengar dan mendapatkan perlakuan baik dari ibunya. Tambah lagi, Kim yang tidak marah akibat ulahnya. Pricilla mengangguk sembari tersenyum. Pikirannya mengatakan, mungkin memang dia harus berhenti mencari tahu tentang hak ini. Mungkin, menunggu sampai Kim benar-benar ingin menceritakannya sendiri kepadanya dan teman yang lain. Dia tidak perlu mengurusi privasi orang tanpa seizin orangnya. Beberapa waktu kemudian, Pricilla pulang bersama dengan ibunya Kim. Sekitar pukul setengah sembilan malam, Pricilla telah sampai di gang depan tempat tinggalnya. Tidak lupa mengucapkan terima kasih lalu melanjutkan jalan untuk sampai di gubuk sederhananya. “Kamu dari mana?” tanya Alya dengan cemas. “Tenang saja, Ma. Prissy, tadi ke rumah teman,” jawabnya. “Itu adonan donat yang tidak tenang. Sejak tadi belum juga selesai,” jawabnya sembari berlalu ke arah dapur. Meninggalkan putrinya dengan perasaan yang sedikit kesal, tapi juga ada rasa cemas di hatinya. “Aduh, donat lagi donat lagi,” keluhnya dengan suara yang lirih. Lalu, dia melangkah masuk ke rumah untuk segera membantu ibunya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD